Razia Telepon Genggam hingga Lemparan Batu
Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dilanda kerusuhan pasca-Pemilihan Presiden 2019. Meliput peristiwa ini membawa risiko tinggi, mulai dari terkena razia telepon genggam, lemparan batu, hingga potensi sasaran amuk massa.
Kota Pontianak, Kalimantan Barat, dilanda kerusuhan pasca-Pemilihan Presiden 2019. Meliput peristiwa ini membawa risiko tinggi, mulai dari terkena razia telepon genggam, lemparan batu, hingga potensi sasaran amuk massa.
Hari Rabu (22/5/2019) pukul 05.00, dering rentetan pesan Whatsapp (WA) yang masuk bak alarm yang membangunkan saya dari tidur. Dengan mata separuh terpejam, saya mengecek pesan-pesan yang masuk ke beberapa grup WA wartawan yang saya ikuti. Isinya, informasi adanya sekelompok massa yang membakar pos polisi.
Oleh karena masih setengah mengantuk, saya mengira peristiwa itu terjadi di Ibu Kota. Sebab, di Jakarta situasi sedang panas waktu itu. Saya tidak sampai habis membaca pesan yang masuk.
Mungkin saya juga sudah dikuasai asumsi, kecil kemungkinan terjadi kerusuhan semacam itu di Pontianak hanya gara-gara menyikapi hasil pemilihan presiden (pilpres). Sebab, selama ini, situasi memanas hanya terjadi saat pemilihan kepala daerah dengan menguatnya persaingan politik identitas. Tidak demikian pada pilpres.
Saya pun tidak memedulikan isi WA dan melanjutkan tidur. Saat saya bangun pukul 06.00, saya tergerak untuk kembali mengecek telepon genggam. Kali ini saya membaca pesan dengan teliti. Ternyata, peristiwa pembakaran pos polisi itu memang terjadi di Pontianak, tepatnya di Kecamatan Pontianak Timur.
Pemicu kejadian ini diduga akibat kesimpangsiuran informasi di media sosial tentang adanya korban jiwa dalam bentrokan di Jakarta. Hal ini memancing emosi massa di Pontianak. Mereka meluapkan amarahnya dengan membakar pos polisi di Pontianak Timur.
Saya pun bergegas mandi, lalu menuju lokasi kejadian. Saya berniat mengambil jalur yang melewati Jembatan Kapuas I. Namun, ternyata jembatan ini ditutup aparat TNI-Polri. Saya terpaksa berganti jalur yang agak jauh, yakni melalui Jembatan Kapuas II untuk menuju Jalan Tanjung Raya II.
Saya memacu kendaraan ke arah lokasi kejadian di Tanjung Raya II. Di situ, tampak sekelompok orang tengah memblokade jalan. Mereka menutupi wajah dengan kain. Di tangan mereka tergenggam kayu. Masyarakat yang akan melintasi jalur itu terpaksa berputar mencari rute lain.
Situasi berubah menjadi tidak aman. Saya mencoba menghubungi beberapa teman jurnalis. Ternyata, baru sebagian kecil yang sampai lokasi. Itu pun diam-diam. Saya kemudian memarkir kendaraan di halaman Rumah Sakit Yarsi.
Setelah itu, saya jalan kaki menuju lampu merah Jalan Tanjung Raya II. Rupanya, di situlah pusat kerumunan massa. Saya berjalan perlahan tanpa mengeluarkan kamera dan tanda pengenal jurnalis. Wajah orang-orang yang saya lewati penuh kecurigaan.
Ada beberapa warga lain berhasil melintas dan mengambil gambar. Namun, mereka dikejar massa dan diminta menghapus video dan foto yang diambil tersebut.
Saya kemudian menghubungi salah satu teman jurnalis yang saat itu berada di depan sebuah warung untuk memantau aksi massa. Saya dan beberapa jurnalis lain kemudian menghampirinya. Kami duduk mengamati situasi tanpa mengeluarkan kamera. Massa membakar kayu dan ban.
Beberapa saat kemudian, ada seseorang yang menghampiri dan bertanya, ”Kalian jurnalis, ya?”
”Ya, Pak,” jawab kami.
”Oke. Silakan di sini, tapi jangan merekam,” kata orang itu.
”Baik, Pak,” jawab kami.
Namun, sejurus kemudian, datang beberapa orang lain menghampiri kami dan langsung berbicara keras.
”Ini jurnalis, ya? Mana telepon genggam kalian?” kata orang itu.
Mereka memeriksa telepon genggam salah satu jurnalis. Saat itu, saya tidak mau menyerahkan telepon genggam saya.
”Saya tidak ada merekam, Pak,” jawab saya.
Kami pun bubar dan mencari lokasi aman masing-masing.
Setelah beberapa lama, saya berbisik kepada seorang wartawan. ”Kalau kita berlama-lama di sini, bisa-bisa sulit keluar. Jika ada pergerakan massa ke kota, kita tidak bisa mengikuti ke sana karena sudah terjebak di sini” kata saya.
”Iya juga, Ed. Ayo, kita ke arah kota. Sepertinya mereka akan berusaha masuk ke kota,” ujar rekan saya itu.
Akhirnya, kami berhasil keluar dari wilayah itu dan bergegas menuju kota. Kami pun tiba di perbatasan Pontianak Timur dengan wilayah pusat kota, tepatnya di Jalan Sultan Hamid II, di ujung Jembatan Kapuas I.
Tiba di sana, kami melihat anggota TNI-Polri sudah bersiap. Massa ternyata sudah menguasai Jembatan Kapuas I menuju arah kota. TNI-Polri menjaga di perbatasan antara Jembatan Kapuas I dan wilayah kota.
Dilempar batu
Massa tiba-tiba mulai melempar batu ke arah kami. Ternyata mereka tidak suka direkam oleh jurnalis. Batu yang mereka lemparkan besarnya bervariasi, mulai dari yang kecil hingga besar. Mereka memperoleh batu-batu dengan cara menghancurkan pembatas jalan.
Saya mendekati massa hingga jarak hanya 15 meter untuk melihat lebih dekat. Namun, batu yang mereka lemparkan semakin banyak. Saya mundur, lalu berlindung di balik mobil kepolisian. Dari situ, saya leluasa untuk memotret massa sebab mereka tidak melihat kamera saya.
Aparat TNI-Polri berupaya menenangkan massa secara persuasif. Namun, massa tetap beringas. Bahkan, lemparan batu mereka melukai sejumlah anggota TNI dan Polri. Aparat terus berupaya menenangkan massa.
Sesekali saya bergerak ke depan. Namun, batu yang dilemparkan massa semakin banyak. Dada saya terkena lemparan batu karena saya kesulitan mengantisipasi arah datangnya batu akibat massa yang begitu banyak.
Sekitar pukul 11.00, pos polisi di Jalan Sultan Hamid II dibakar massa. Untuk kedua kalinya massa membakar pos polisi. Massa semakin dekat dengan pusat kota. Saya dan rekan-rekan jurnalis harus berlari ke sana kemari demi menghindari lemparan batu.
Dalam kondisi seperti ini, saya memilih tidak terlalu sering mengeluarkan kamera. Saya hanya mengandalkan pengamatan lapangan, lalu mencatatnya di telepon genggam.
Massa tidak juga mau bubar meski telah didekati secara persuasif. Pasukan TNI-Polri akhirnya membubarkan massa dengan gas air mata dan semprotan air. Massa berhasil dipukul mundur. Beberapa di antaranya ditangkap.
Siang hingga sore, situasi sempat kondusif. Saya pun kembali ke kantor untuk mengirim berita. Namun, malam harinya saya kembali ke lokasi karena saya perkirakan massa akan kembali menyerang. Apalagi, ada anggota mereka yang ditangkap.
Ternyata perkiraan saya benar. Massa kembali menguasai Jembatan Kapuas I dan berusaha masuk ke dalam kota. Mereka memecahkan sejumlah lampu yang menyebabkan kondisi jembatan gelap. Aparat gabungan kembali menghadang massa yang berupaya melempari aparat dengan batu. Massa berhasil dipukul mundur.
Ternyata perkiraan saya benar. Massa kembali menguasai Jembatan Kapuas I dan berusaha masuk ke dalam kota.
Namun, dari situ, massa ternyata bergerak menyerang kantor Kepolisian Sektor Pontianak Timur. Aparat keamanan yang bersiaga di sana kewalahan dan meminta bantuan pasukan dari kota. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Inspektur Jenderal Didi Haryono bersama Panglima Komando Daerah Militer XII/ Tanjungpura Mayor Jenderal Herman Asaribab mengerahkan pasukan untuk mengamankan kantor Polsek Pontianak Timur.
Saya dan sejumlah jurnalis ikut berada di tengah-tengah pasukan. Posisi itu saya anggap lebih aman karena saya bisa berlindung jika terjadi lemparan batu atau tembakan dari senjata api massa. Informasinya, ada di antara massa yang membawa senjata api.
Dalam kondisi gelap gulita, kami berjalan perlahan menyeberangi Jembatan Kapuas I menuju basis massa di wilayah Pontianak Timur. Saat tiba di sana, lokasi itu sepi. Massa menutup jalan dengan bongkahan kayu besar yang kemudian disingkirkan aparat TNI-Polri. Massa kemudian lari. Beberapa aparat bergerak menuju kantor Polsek Pontianak Timur untuk membantu pengamanan.
Saya dan beberapa jurnalis menunggu di salah satu halte bus sambil mengamati situasi. Di situ juga terdapat aparat TNI-Polri. Namun, jumlahnya tidak begitu banyak karena konsentrasi pasukan menuju Polsek Pontianak Timur yang jaraknya 100-200 meter dari situ.
Saya kemudian memperhatikan massa di pinggir jalan semakin banyak. Mereka seperti ingin mengepung kami.
”Wah. Jangan-jangan kita akan dikepung,” kata salah satu jurnalis.
”Sepertinya demikian,” jawab saya.
Mumpung massa belum banyak berkerumun, para jurnalis perlahan kembali ke kota. Kami memilih bergerak pelan di tengah massa sambil meningkatkan kewaspadaan di tengah situasi yang gelap. Saya berpikir, bisa saja sewaktu-waktu ada senjata api yang ditembakkan ke arah kami. Untungnya, malam itu berakhir aman. Massa hanya melemparkan petasan ke arah kami dan aparat. Kami sampai di kota dengan selamat.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kepolisian, dari 203 anggota massa yang ditangkap, 16 orang adalah anak-anak. Sementara dari hasil tes urine, 98 orang menggunakan narkoba, satu di antaranya anak-anak. Tiga orang ditemukan membawa narkoba saat aksi massa. Polisi juga menyita puluhan senjata tajam dari massa.
Namun, dari 203 yang ditangkap, 102 orang dikembalikan kepada orangtua masing-masing setelah mendapat jaminan dari tokoh masyarakat, Sultan Pontianak Syarif Machmud Melvin Alkadrie. Ia menjamin, masyarakatnya tidak akan mengulangi hal itu lagi. Sisanya, sebanyak 98 orang direhabilitasi dan tiga orang diproses hukum karena membawa narkoba.