Mengenal Hukum dan Kemanusiaan Lewat Museum Polri
Hari Bhayangkara atau hari jadi Kepolisian Nasional diperingati tiap tanggal 1 Juli yang berawal dari Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946 yang menyatukan kepolisian yang terpisah sebagai Kepolisian Daerah menjadi Kepolisian Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada pimpinan tertinggi negara, yakni Presiden. Polri yang turut lahir bersama perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, mengabadikan perjalanan pengabdiannya dalam Museum Polri yang terletak di sudut komplek Mabes Polri di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.
Perjalanan panjang sejarah kepolisian dan peralihan zaman hingga penanganan kejahatan tercanggih seperti kasus mega korupsi, misalnya kasus Gayus Tambunan, hingga rangkaian serangan teror bom dari kelompok Doktor Azahari, Bom Bali I dan II, serta rangkaian teror lainnya, dipamerkan di Museum Polri.
Fajar, seorang penata koleksi di Museum Polri menerangkan, koleksi museum dipamerkan di lantai I, II, dan III yang terbuka untuk umum. “Ada sumbangan dari para tokoh seperti mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, para pelaku sejarah dari Polri di berbagai peristiwa, dan barang-barang bukti kasus-kasus besar yang diungkap seperti kasus pengeboman oleh teroris,” kata Fajar.
Keberadaan Kapolri Hoegeng Imam Santoso yang dikenal jujur dan sederhana menjadi ikon “Polisi Jujur”, dinarasikan dalam pameran di museum. Sosok Jenderal Hoegeng dan Irjen Ursinus Medelu adalah duet “Jenderal Sederhana” yang menjadi ikon Polri.
Hoegeng melarang istrinya berbisnis toko bunga (florist) ketika dirinya menjabat Kapolri. Hidupnya pun kemudian diisi dengan kegiatan seni musik Hawaian yang sempat mengisi acara tetap di TVRI di zaman tahun 1970-an.
Sedangkan Irjen Ursinus Medelu yang menjadi pelopor modernisasi di Korps Lalu Lintas Polri, diketahui tinggal dalam rumah yang berada di sebuah gang di bilangan Jalan Otista, Jakarta Timur. “Rumahnya pun yang memperbaiki adalah Komjen Makbul Padmanegara mantan anak buahnya,” kata penulis biografi Agnes Samsoeri (kini sudah wafat).
Hoegeng melarang istrinya berbisnis toko bunga (florist) ketika dirinya menjabat Kapolri
Keberadaan Soekanto sebagai Bapak Polri dipamerkan di lantai I Museum. Tak ketinggalan M Jasin selaku Komandan Polisi Istimewa yang mengumpulkan dan menyalurkan ribuan pucuk senjata yang kelak digunakan berbagai satuan pemuda dalam Pertempuran 10 November 1945.
“Ketika Belanda kalah menyerah terhadap Jepang di tahun 1942, lalu di tahun 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, polisi adalah satu-satunya organisasi yang tetap diizinkan menggunakan dan memegang senjata karena mereka bukan organ militer. Polisi bukan kombatan sehingga dalam peristiwa 10 November 1945, peran polisi menjadi penting karena Polisi Istimewa mengumpulkan senjata dari pihak Jepang yang kemudian dibagian kepada pihak pejuang Republik Indonesia,” kata Fajar yang lulusan program strata 2 Studi Museum di Universitas Indonesia.
Namun, tidak banyak artefak asli dari Muhammad Jasin dan personel Polisi Istimewa dipajang di Museum Polri karena terlebih dahulu ada museum serupa di Surabaya dan berada di dekat lokasi pertempuran 10 November 1945. Keputusan polisi-polisi zaman Jepang (Tokubetsu Keisatsutai) mendukung kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 segera dimaklumatkan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Padang, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Baca juga: Hari Bhayangkara Ke-73: Peran Brimob, Tegas dan Humanis
Saat memasuki ruangan museum, terdapat panel besar berisi nama-nama anggota Polri yang menjadi korban Tsunami Aceh 2004, gugur dalam tugas pengamanan di Maluku, Timor-Timur, dan berbagai medan penugasan.
Sedangkan di tangga naik ke lantai dua, terdapat ribuan nama anggota Polri dari berbagai suku dan etnis yang ada di Indonesia yang gugur dalam tugas semasa Perang Kemerdekaan 1945–1949 hingga berbagai operasi menumpas DI/TII, PRRI-Permesta dalam kurun waktu 1950–1959.
Salah satu legenda dalam operasi yang dijalani Polri yang ditampilkan di lantai 2 adalah Anton Sudjarwo dan kawan-kawan anggota Resimen Pelopor atau Brigade Mobil dalam pengibaran Merah Putih di Rumbati, dekat Fakfak, Papua dalam perebutan Irian Barat dari tangan Belanda 1962. Ilustrasi kartun menggambarkan operasi yang dijalani anggota Brimob dari pangkalan aju di sebelah timur Pulau Seram, Maluku, untuk infiltrasi ke wilayah Fakfak yang dikuasai Korps Marinier (Marinir), Belanda sejak April–Mei 1962.
Dalam sejumlah kontak senjata, mereka pernah memukul marinir Belanda yang merupakan salah satu negara dengan organisasi korps marinir tertua di dunia. Meski kekalahan pun pernah dialami para anggota Brimob dalam Operasi Trikora tersebut.
Anton Soedjarwo yang pernah menjalani pendidikan ranger di militer Amerika Serikat, kelak pensiun sebagai Kapolri, adalah sosok yang jenaka dan kerap bercanda lepas. Penulis semasa kecil sering bertemu Om Anton dan dua sahabatnya, yakni Om Mo Eng dan Pangdam Jaya Mayjen Norman Sasono (ayah mantan Kepala BIN Letjen Marciano Norman), di rumah orang tua penulis di bilangan Ciawi, Bogor, tahun 1970-an dan awal 1980-an.
Biasanya Anton Soedjarwo dan para sahabatnya kerap menghabiskan waktu bersama membahas berbagai hal remeh-temeh dan menyalurkan hobi memelihara burung seperti cucakrawa, poksay, anis, dan beo.
Era kerajaan hingga terorisme global
Pameran di Museum Polri disusun sedemikian rupa merekam perjalanan sejarah lembaga kepolisian yang sejak zaman Hindu–Budha, peran menjaga keamanan telah dijalankan oleh berbagai organisasi yang dibentuk kerajaan-kerajaan Nusantara. Dalam keterangan di Museum Polri dijelaskan tentang keberadaan berbagai satuan pengawalan di Kerajaan Majapahit termasuk Pasukan Bhayangkara yang bertugas mengawal Raja Majapahit di bawah Patih Gajah Mada.
Keberadaan pasukan dengan tugas kepolisian ini pun berlanjut di zaman kerajaan Mataram Islam yang kemudian terbagi menjadi Keraton Surakarta, Keraton Yogjakarta, Pura Mangkunegara, dan Pura Pakualam.
Polisi di zaman itu seiring dengan kehadiran VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda yang juga membentuk organisasi kepolisian yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban (rust en orde) di Nusantara. Kemudian masa pendudukan Jepang pun hadir (1942–1945) yang melanjutkan organisasi kepolisian dengan nama Tokubetsu Keisatsutai.
Selebihnya, berbagai satuan kerja di dalam Polri seperti intelijen, penugasan sebagai Civillian Police (Civpol) di bawah PBB, Polisi Perairan, Polisi Udara, penanganan kasus korupsi seperti mega korupsi Gayus Tambunan–yang ditangani Direktorat Tipikor Mabes Polri bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta ruang bermain bagi anak kecil terdapat di lantai 2 dan lantai 3 Museum Polri.
Staf Ahli Kapolri Irjen Ike Edwin yang memimpin Direktorat Tipikor waktu mengungkap kasus Gayus mengatakan, kasus tersebut hingga kini membuka peluang menyelamatkan uang negara ratusan trilyun rupiah dari berbagai sektor seperti pertambangan, kehutanan, perikanan, dan perkebunan yang bisa dimaksimalkan untuk penerimaan negara. “Kalau penerimaan negara naik, gaji pegawai negeri bisa naik. Ini berarti mengurangi peluang korupsi kalau pegawai negeri sudah sejahtera dan bisa lebih baik melayani masyarakat,” kata Ike Edwin pekan lalu.
Bagian pamungkas pameran sejarah Polri tersebut ada di lantai 3 dengan pameran Densus 88 tentang penanganan terorisme dengan berbagai artefak seperti paspor palsu milik Imam Samudera, terpidana mati kasus Bom Bali I, kacamata teroris asal Malaysia Azahari, hingga berbagai barang milik para korban serangan teror. Meski demikian ada beberapa kasus besar yang belum ditampilkan dalam tata pamer karena kasus sedang dikembangkan oleh penyidik Polri.
Meski masih ada pandangan miring terhadap layanan masyarakat oleh Polri, keberadaan Museum Polri di Mabes Polri tersebut menjadi pengingat bahwa Polisi lahir untuk mengayomi dan melindungi masyarakat sesuai amanat undang-undang yang mereka emban.
Sejatinya penegakan hukum dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan berjalan seiring dan sejalan. Dirgahayu Bhayangkara negeri!