Bakar Tongkang, Berlayar Rayakan Syukur dan Persatuan Manusia
Berlayar di antara lautan manusia, tongkang penuh warna itu terlihat perkasa. Kolaborasi antara syukur, keragaman, dan persatuan antarmanusia yang lebur dalam jilatan api yang membara.
Berlayar di antara lautan manusia, tongkang penuh warna itu terlihat perkasa. Kolaborasi antara syukur, keragaman, dan persatuan antarmanusia yang lebur dalam jilatan api yang membara.
Tongkang itu hanya replika. Rangkanya dari kayu, tapi dindingnya berbahan kertas tak mudah robek. Namun, ukurannya tetap dibuat raksasa. Panjangnya sekitar 9 meter, lebar 2 meter, dan tinggi hingga 3 meter. Dengan bobot hingga 400 kilogram, rupanya seperti perahu kayu tradisional China yang hidup ratusan tahun lalu.
Selain ukurannya, warna cantik penuh gincu dan hiasan jadi pesona. Di bagian haluan ada hiasan besar laut Dewa Kie Ong Ya. Pada bagian lambung atau dinding bawah berwarna putih terdapat gambar empat kuda terbang beroda di bagian kaki. Di lambung teratas dekat palka juga tak kalah menarik. Gambar dewa, dengan kepala harimau di tengahnya.
Baca Juga: Bakar Tongkang Bagan Siapi-api Disesaki Pengunjung
Tongkang itu adalah primadona utama dalam puncak acara Bakar Tongkang yang digelar di Bagan Siapi-api, Rokan Hilir, Riau, 19 Juni lalu. Acara ini jadi ritual warga setempat untuk mengenang perjalanan nenek moyang saat bermigrasi dari China. Kemegahan tongkang bakal dijilati api di puncak acara.
Kisahnya bermula dari kisah yang terjadi sekitar 135 tahun lalu. Kala itu, keluarga besar marga Ang dari Fujian mencari peruntungan di negeri seberang. Mereka mengarungi lautan dengan perahu tongkang. Perjalanan disesaki marabahaya. Badai dan ombak besar silih berganti menghajar mereka.
Di tengah ujian badai, mereka tak kehilangan keyakinannya. Penumpang kapal berdoa kepada penguasa laut Dewa Kie Ong Ya meminta keselamatan. Doa itu ternyata terkabul. Dalam suatu malam, mereka akhirnya melihat cahaya kelap-kelip dari sebuah daratan. Keluarga Ang percaya, cahaya itu simbol kehidupan manusia. Mereka akhirnya memutuskan mendarat di sana. Bukan manusia yang mereka temukan, melainkan kunang-kunang memancarkan cahaya.
Sejahtera
Alkisah, mereka akhirnya mencoba menetap dan menamakan tempat itu Bagan Api, yang kemudian berkembang menjadi Kota Bagan Siapi-api. Daerah itu ternyata membawa kesejahteraan. Keluarga itu hidup makmur. Pasokan ikannya melimpah.
Hal itu membuat nenek moyang marga Ang kemudian berinisiatif membakar tongkang. Tekadnya jelas, tidak akan kembali ke negeri asal. Ritual itulah yang kini terus hidup dan dikenang anak cucu marga Ang yang menetap ataupun sudah berpindah dari Bagan Siapi-api.
Baca Juga: Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api
Menurut Rendy Gunawan, Ketua Yayasan Multi Marga–organisasi paguyuban marga warga Tionghoa Bagan Siapi-api—inti acara ini adalah kerja sama dan gotong royong.
Biaya ritual Bakar Tongkang mencapai Rp 600 juta. Semua biaya itu ditanggung bersama warga tanpa bantuan dana pemerintah. Sumbangan besar berasal dari warga yang berkecukupan. Tidak sedikit warga Tionghoa Bagan Siapi-api memiliki bisnis besar di Tanah Air. Adapun yang lain menyumbangkan dana lebih kecil atau sekadar bantuan tenaga dan pikiran.
Sejak tiga tahun terakhir, kata Rendy, dana yang terkumpul bahkan sudah disisihkan untuk kegiatan mulia lainnya, seperti sumbangan kepada warga miskin di Rokan Hilir. Tahun ini, panitia Bakar Tongkang 2019 membagikan 5.500 paket kebutuhan pokok secara gratis. Perbedaan asal-usul bukan menjadi hal utama.
”Kami sudah berbincang dengan Gubernur Riau Syamsuar dan Bupati Rokan Hilir Suyatno untuk membantu warga miskin. Tahun depan kami akan mengumpulkan dana untuk membangun rumah layak huni bagi beberapa warga miskin yang direkomendasikan pemerintah,” kata Rendy.
Tahun depan kami akan mengumpulkan dana untuk membangun rumah layak huni bagi beberapa warga miskin yang direkomendasikan pemerintah.
Ritual Bakar Tongkang juga jadi simbol persatuan. Ratusan manusia bersama mengangkat tongkang. Mereka berjalan sepanjang 2 kilometer dari Kuil Ing Hok Kiong sampai ke pelataran lokasi pembakaran. Berkat kebersamaan, beban terasa ringan. Ratusan orang silih berganti mengangkat replika kapal itu tanpa mengeluh.
Ajang ini juga menjadi sarana merayakan kegembiraan dan harapan. Puluhan ribu orang membakar, mengangkat hio, dan berdoa untuk keselamatan, kesehatan dan rezeki. Ketika tongkang dibakar, doa dipanjatkan semakin dalam.
Akan tetapi, meski rutin digelar, acara ini tetap saja menyimpan misteri. Warga Tionghoa Bagan Siapi-api percaya arah jatuh tiang utama tongkang saat dibakar adalah petunjuk dari Dewa Kie Ong Ya untuk mendapatkan rezeki. Apabila jatuh ke arah laut, rezeki akan lebih banyak di laut. Demikian pula sebaliknya, apabila tiang kapal jatuh ke daratan, rezeki bakal lebih banyak ada di sana.
”Orangtua kami sangat percaya rezeki dari arah tiang tongkang yang jatuh itu. Kalau kami yang muda-muda sudah terlalu tidak menjadi patokan lagi. Di mana pun, di darat atau di laut, rezeki pasti ada kalau kita berusaha keras. Buat kami, bakar tongkang sebagai tanda bersyukur atas rezeki yang sudah diberikan kepada kami,” kata Aguan (32), warga perantau asal Bagan Siapi-api, yang kini bermukim di Jakarta.
Adapun belasan hotel yang ada di Bagan Siapi-api telah habis dipesan, bahkan setahun sebelum acara dimulai.
Tarik wisatawan
Misteri lainnya adalah jumlah wisatawan yang datang ke Bagan Siapi-api. Menurut Rendy, setidaknya ada 50.000 orang yang datang dalam acara ini. Sebagian besar wisatawan ditampung di rumah keluarga, mes yayasan marga, atau penginapan kelenteng. Adapun belasan hotel yang ada di Bagan Siapi-api telah habis dipesan, bahkan setahun sebelum acara dimulai.
Kepala Dinas Pariwisata Rokan Hilir Ali Aspar mengatakan, justru pengunjung yang datang pada acara Bakar Tongkang mencapai 70.000 orang. Ia memperkirakan, rata-rata orang menginap selama tiga hari dan menghabiskan Rp 1 juta per orang. Artinya, uang yang beredar di Bagan Siapi-api selama acara Bakar Tongkang mencapai Rp 210 miliar.
Sayangnya, Ali Aspar tidak mengetahui total jumlah kamar hotel dan penginapan yang ada di Bagan Siapi-api. Ia hanya mengatakan, semua hotel di kota ikan itu penuh. Bahkan, banyak wisatawan terpaksa menginap di Duri, 100 km dari Bagan Siapi-api, atau Ujung Tanjung, 60 km dari lokasi acara puncak.
Kepala Dinas Pariwisata Riau Fahmizal Usman pun punya versi lain. Ia mengatakan, jumlah wisatawan yang datang mencapai 76.000 orang. Sebanyak 26.000 orang adalah wisatawan mancanegara. ”Yang datang dari luar negeri sangat banyak. Namun, karena turisnya dari etnis Tionghoa, dianggap bukan turis luar negeri. Banyak orang berpandangan, turis asing itu harus bule,” kata Fahmizal.
Beragam versi itu berkembang dan masih sulit dicari yang paling benar. Yang pasti, puluhan ribu orang berkumpul merayakan persatuan dan kerja sama anak bangsa. Di antara jilatan api yang membakar tongkang, semuanya bersatu dalam keragaman untuk esok yang lebih baik.