Sampai Jumpa Xavi, Cech, dan De Rossi.....
Sepak bola dunia kehilangan tiga bintangnya di akhir musim kompetisi 2018-2019. Ketiganya, yakni Xavi Hernandez, Petr Cech dan Daniele de Rossi, telah memanggungkan prestasi yang mendunia, melalui aksi mereka di Liga Spanyol, Liga Inggris, dan Liga Italia.
Xavi dikenal sebagai legenda klub Barcelona di Liga Spanyol dan tim nasional Spanyol, termasuk saat menjuarai Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012. Cech mengukir prestasi demi prestasi di dua klub Liga Inggris, Chelsea, dan Arsenal. De Rossi? Ia setia di klub yang membesarkannya, AS Roma, dan mencatatkan pencapaian demi pencapaian di "IGiallorossi".
Xavi Hernandez
Penghargaan sebagai pemain terbaik Piala Eropa 2008, menjadi pembuktian sahih kebintangan Xavi. Seiring kematangan Xavi dalam kariernya yang ketika itu di usia matang 28 tahun, Spanyol juga tampil sebagai juara. Gelar juara Eropa 2008 menjadi yang pertama bagi “La Furia Roja”, sejak terakhir kali juara Eropa 1964.
Andy Roxburgh, Ketua Komisi Teknik Badan Sepak Bola Eropa (UEFA), menyatakan, Xavi terpilih karena aksinya menjadi representasi permainan tim Spanyol. “Dia berpengaruh signifikan di semua penguasaan bola, umpan, dan penetrasi, dalam laga-laga Spanyol,” ujar Roxburgh.
Sejak Piala Eropa 2008, Xavi berperan sentral di lini tengah kesebelasan Spanyol. Gelar demi gelar diraih Spanyol setelah itu, meski pelatih berganti dari Luis Aragones yang menangani tim sejak Piala Dunia 2006 hingga Piala Eropa 2008, ke Vicente del Bosque, pada Juli 2008. Mereka tampil sebagai juara dunia 2010 dan juara Eropa 2012.
Itu belum termasuk prestasinya bersama klub di mana ia dibesarkan, Barcelona. Di Barca, ia meraih delapan trofi Liga Spanyol, dan empat trofi Liga Champions Eropa. Tak ketinggalan, tiga gelar juara Piala Raja.
Fans setia Barcelona dan tim Spanyol, bakal merindukan gaya bermain Xavi sebagai gelandang “pemikir”. Di lini tengah, ia terbiasa mencipta konsep serangan lewat permainan terbuka, kebanyakan mengandalkan umpan terobosan. Tak heran, dalam dua musim Liga Spanyol, yakni 2008-2009 dan 2009-2010, ia menjadi pemain dengan asis terbanyak.
Pada empat musim terakhirnya sebagai pemain, Xavi tampil untuk klub Al Sadd (Qatar), setelah hijrah dari Barca, Mei 2015. Berhentinya Xavi, tak lain demi meneruskan karier sebagai pelatih. “Filosofi saya sebagai pelatih, pastinya akan merefleksikan pola permainan yang bertahun-tahun dibangun, di bawah asuhan Johan Cruyff dan La Masia (akademi Barca), itu juga yang sangat memengaruhi gaya bermain Barca,” ujar Xavi.
Eks tandem Xavi di Barca dan tim Spanyol, Andres Iniesta, mendeskripsikan bagaimana Xavi adalah mitra terbaiknya, dalam cuitan di akun Twitter-nya. “Mitra terbaik. Menjadi pengalaman istimewa tumbuh bersama dan saling berbagi di sampingmu di sepanjang karier saya, serta dalam menjalani momen-momen terbaik bersama-sama. Teladan seorang profesional. Terima kasih untuk segala yang telah Anda ajarkan bagi dunia sepak bola,” kata Iniesta.
Pensiunnya Xavi dari lapangan hijau, sekaligus menandai 22 tahun penampilan Xavi di kancah sepak bola, sejak 1997 hingga 2019. Kiprah yang didominasi karier gemilang dan prestasi mendunia.
Petr Cech
Petr Cech
Petr Cech, di usia keemasannya adalah jaminan kekokohan penjaga gawang, palang pintu terakhir kesebelasan. Simak saja beberapa prestasinya, ketika ia berada di usia 23 tahun, yang juga puncak kariernya sebagai kiper. Ketika itu, musim 2004-2005, Cech menjalani musim pertamanya di Chelsea yang dilatih Jose Mourinho, dan meraih trofi Liga Inggris.
Saat tiba di rumah Chelsea di Stamford Bridge, London, Carlo Cudicini menjadi kiper utama “The Blues”. Namun, cedera siku memaksa Cudicini harus menepi dari lapangan hijau, dan Mourinho memercayakan posisi kiper utama Chelsea kepada Cech.
Kepercayaan itu dijawab dengan aksi prima Cech. Pada 5 Maret 2005, ia mencetak rekor clean sheet (laga tanpa kebobolan), selama penampilan 1.025 menit. Gawang Cech baru kemudian kebobolan oleh gol Leon McKenzie (Norwich City), setelah tercatat tak pernah kebobolan sejak 12 Desember 2004. Pasa 12 Desember itu, gawang Cech kemasukan gol Thierry Henry (Arsenal).
Pengukuhan akan kepiawaian Cech juga terwujud melalui penghargaan IFFHS World’s Best Goalkeeper atau Kiper Terbaik Dunia, pada 2005. Nama Cech menjadi yang terbanyak dipilih dalam survei International Federation of Football History and Statistics (IFFHS) pada 2005, mengungguli Dida, penjaga gawang Brasil yang waktu itu bermain di AC Milan.
Seiring waktu, Cech bukan lagi kiper utama Chelsea, seiring kehadiran Thibaut Courtois, di awal musim 2014-2015. Kebetulan, Cech juga sering dibelit beberapa cedera, baik itu bahu, punggung, dan lutut. Situasi ini membuat Cech jarang tampil sebagai pemain mula untuk Chelsea sepanjang musim tersebut.
Di ujung musim, Cech hijrah ke rival sekota, Arsenal, untuk kontrak selama lima tahun. Di “The Gunners”, bukan berarti Cech kehilangan kegemilangannya. Terbukti, pada 11 Maret 2018, ia menjadi kiper pertama di Liga Inggris yang mencatat 200 laga tanpa kebobolan (clean sheet). Laga ke-200 itu saat melawan Watford, saat Arsenal menang 3-0, dan Cech menggagalkan penalti Troy Deeney.
Di awal musim 2018-2019, dengan pelatih baru Unay Emery, Cech masih menjadi pilihan utama di bawah mistar gawang. Namun, seiring kehadiran kiper baru Bernd Leno, ia mulai kehilangan tempat sebagai pemain mula. Pada 15 Januari 2019, kiper dengan 124 penampilan untuk tim nasional Ceko itu, mengumumkan pengunduran diri dari sepak bola profesional, melalui akun twitternya.
“Ini musim ke-20 saya sebagai pesepakbola profesional, dan (tentunya) sudah 20 tahun sejak kontrak profesional saya, sehingga rasanya ini waktu yang tepat untuk mengumumkan bahwa saya akan pension di akhir musim ini,” demikian Cech menulis di akun twitter-nya. Dunia pun kehilangan salah satu kiper terbaiknya.
Daniele de Rossi
Daniele de Rossi menjadi representasi dari kesetiaan. Betapa tidak? Mayoritas karier profesionalnya selama 22 tahun, yang terentang sejak 1997 hingga 2019, ia habiskan di klub AS Roma. Aksinya di luar Roma hanya selama tiga tahun, yakni kala mengawali karier sebagai pesepakbola yunior di klub Ostia Mare, sejak 1997 hingga 2000. Sejak 2000 ia hijrah ke Roma, hingga akhir musim 2018-2019.
Debut De Rossi yang pertama untuk Roma, tak lain pada 10 Oktober 2001, di masa kepelatihan Fabio Capello. Ketika itu, ia tampil sebagai pemain pengganti, dalam laga Grup A melawan Anderlecht (Belgia), yang berakhir seri 1-1.
Sebagai gelandang bertahan, nama De Rossi dikenal sebagai pemain dengan tekel keras. Meski demikian, ia tak pernah kehilangan semangat fair play dan sportivitas. Tak heran, di tengah musim 2005-2006, ia dipuji wasit Mauro Bergonzi atas perilaku fair play-nya.
Ketika itu, Roma tertinggal 0-1 dalam laga Serie A melawan Messina. De Rossi kemudian mencetak gol dari sundulan kepala, dengan bola sempat menyentuh tangannya. Bergonzi tidak melihat insiden itu, dan mengesahkan gol tersebut, sehingga mengubah skor menjadi 1-1. De Rossi dengan jujur memberi tahu wasit bahwa ia sempat mendorong bola dengan tangannya, sehingga gol itu dianulir. Roma akhirnya menang 2-1 pada laga itu. Di akhir musim, De Rossi dinobatkan sebagai Pesepakbola Muda Terbaik Serie A 2006.
Seiring waktu, pada musim 2006-2007, De Rossi mengukuhkan dirinya sebagai salah satu tulang punggung AS Roma, dengan mencetak beberapa gol penting. Pada 5 November 2006, pesepakbola kelahiran Roma itu mencetak gol dari jarak 40 meter ke gawang Fiorentina, yang waktu itu dijaga Sebastien Frey. Itu gol perdana dari pesta 3 gol malam itu dalam laga Serie A, di mana Roma menang 3-1.
Keunggulan De Rossi, salah satunya pada intuisinya mencetak gol dari jarak jauh, hamper semuanya dari luar kotak penalti. Dari sejumlah gol yang tercipta dari luar kotak 16 itu, terlihat ia jeli melihat posisi kiper lawan. Jika posisi penjaga gawang terlalu maju, saat itulah De Rossi “menghukum” tim lawan dengan bola sepakan keras, menggetarkan jala gawang.
Kepercayaan Roma terhadap De Rossi berbuah transfer berjangka lima tahun pada Februari 2012, yang membuat pemain bernomor punggung 16 itu sebagai pesepakbola termahal asal Italia di Serie A. Ketika itu, ia menerima gaji 10 juta euro, atau sekitar Rp 160 miliar per tahun.
Pada 14 Mei 2019, Roma mengumumkan bahwa mereka tak akan memperpanjang kontrak De Rossi, dan sang bintang akan meninggalkan klub di akhir musim 2018-2019, setelah 18 musim bersama AS Roma. Aksi terakhir De Rossi bersama Roma tak lain pada 26 Mei, kala menang 2-1 atas Parma.
Ia bersama Roma selama 18 tahun, tampil dalam 616 pertandingan, dan mencetak 63 gol di berbagai kompetisi. De Rossi menjadi pemain terbanyak kedua yang memperkuat Roma, setelah “Il Capitano” Francesco Totti, dengan 619 laga.
Sampai jumpa Xavi, Cech, dan De Rossi...