LinkAja Fokus Jadi Alat Pembayaran Transportasi Umum
›
LinkAja Fokus Jadi Alat...
Iklan
LinkAja Fokus Jadi Alat Pembayaran Transportasi Umum
Persaingan antarpengelola dompet elektronik semakin ketat sejak diluncurkannya Standar Kode Cepat Indonesia pada akhir Mei 2019. Pengelola satu dengan lainnya dituntut memiliki kekhasan produk dan layanan berkualitas.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan antarpengelola dompet elektronik semakin ketat sejak peluncuran Standar Kode Cepat Indonesia pada akhir Mei 2019. Pengelola satu dengan lainnya dituntut memiliki kekhasan produk dan layanan berkualitas.
Chief Marketing Officer PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) Edward Kilian Suwignyo, Kamis (4/7/2019), di Jakarta, memandang, keberadaan Standar Kode Cepat Indonesia (QRIS) berdampak terhadap pengoperasian layanan para penyedia jasa pembayaran, termasuk pengelola dompet digital. Salah satu dampaknya adalah proses akuisisi mitra pedagang atau biasa disebut juga merchant.
Pada Senin (27/5/2019), Bank Indonesia meluncurkan QRIS. Peluncuran standar ini dilakukan agar digitalisasi ekonomi tak mengganggu stabilitas sistem keuangan dan kelancaran sistem pembayaran. Nantinya, seluruh sistem pembayaran kode cepat (QR code) di Indonesia harus beradaptasi dengan QR Code Indonesia Standard (QRIS). Penyedia jasa pembayaran harus menyesuaikan dengan kode standar itu. Aturan ini diimplementasikan mulai semester II-2019.
Pengelola dompet digital siapa pun lebih mudah mengakuisisi mitra baru. Kemudian, dompet digital merek apa pun—meski belum akuisisi mitra itu—bisa memakai infrastruktur QRIS. Pelanggan dompet digital merek apa pun jadi lebih lancar melakukan pembayaran transaksi.
”Oleh karena itu, pengembangan layanan bukan hanya sekadar fokus akuisisi mitra pedagang, melainkan juga diferensiasi produk beserta kualitas pendistribusiannya. Kalau cuma mengandalkan produk pembayaran secara elektronik dengan kode cepat, semua pengelola dompet digital bisa,” ujarnya.
Finarya merupakan pengelola dompet elektronik merek LinkAja. Edward mengatakan, fokus perusahaan adalah menjadikan LinkAja sebagai alat pembayaran transportasi umum, lalu diikuti produk digital, dan finansial. Untuk alat pembayaran transportasi umum, Finarya memasukkan LinkAja untuk bayar pungutan jalan tol berbasis stiker terprogram (RFID). RFID ini akan terhubung dengan aplikasi FLO milik PT Jasamarga Tollroad Operator.
FLO menjadi uang elektronik yang terpotong ketika mobil mendekati gerbang tol. LinkAja berperan sebagai sumber dana pembelian kupon elektronik yang bisa dipakai membayar pungutan tol melalui aplikasi FLO. Jalan Tol Bali Mandara sudah memakai sistem kerja seperti itu.
Selain jalan tol, LinkAja memungkinkan dipakai membayar tiket kereta api, tiket pesawat Garuda Indonesia, Citilink, kereta bandara Raillink, kereta api Prambanan Ekspres Yogyakarta-Solo, LRT Palembang, jasa taksi Blue Bird, bus, dan sewa parkir.
Terkait produk digital, dia mengklaim, LinkAja sudah bisa dipakai membayar ke lebih dari 400 jenis tagihan, mulai dari pulsa layanan seluler hingga pajak. Mengenai layanan finansial, Edward mengungkapkan, LinkAja dapat dipakai mengirim-menerima remitansi, penyaluran pinjaman, menarik uang di ATM bank Himbara, serta bertransaksi lintas negara. Secara khusus, terkait transaksi lintas negara, LinkAja sudah diujicobakan di Singapura dan Thailand. Kedua negara ini dianggap mempunyai infrastruktur Standar Kode Cepat nasional paling siap.
Baru setelah tiga kategori layanan tersebut, fokus selanjutnya adalah mendorong LinkAja sebagai alat pembayaran bagi lebih dari 150.000 mitra pedagang ritel konvensional dan daring.
”Kami memilih masuk melalui penggunaan LinkAja untuk kebutuhan sehari-hari. Transportasi umum, misalnya, siapa saja pasti memakainya setiap hari. Cara ini seperti ini memudahkan kami menggaet pelanggan baru tanpa harus saingan promo diskon dengan pengelola dompet elektronik lainnya,” ujar Edward.
CEO Finarya Danu Wicaksana menegaskan, pihaknya tidak bersaing dengan pengelola dompet elektronik lain yang sudah ada, seperti OVO, Go-Pay, dan DANA. Sebaliknya, kehadiran Finarya dengan dompet elektronik LinkAja membantu mempercepat inklusi keuangan sampai 75 persen di Indonesia pada 2019.
Kehadiran BUMN sebagai pemegang saham di Finarya harus dilihat sebagai kolaborasi menarik dan kuat. Untuk urusan menjangkau nasabah baru, misalnya, kolaborasi BUMN di tubuh Finarya diyakini bisa memudahkan. Berbagai layanan finansial ataupun perdagangan daring yang sebelumnya tercecer di setiap BUMN dapat disatukan sehingga gampang dicari dalam satu aplikasi.
Sampai Juni 2019, jumlah pengguna terdaftar di aplikasi LinkAja mencapai sekitar 23 juta orang.
Sampai Juni 2019, jumlah pengguna terdaftar di aplikasi LinkAja mencapai sekitar 23 juta orang. Total kas atau gross transaction value (GTV) tercatat sekitar Rp 600 miliar. Jumlah pelanggan yang melakukan cash in sekitar 3,5 juta orang, sedangkan cash out sekitar 100.000 orang.
Mengutip laporan keterbukaan informasi perjanjian penyetoran saham bersyarat Finarya oleh investor di Bursa Efek Indonesia, Senin (1/7/2019), pada tanggal 21 Januari 2019, Finarya didirikan oleh Telkomsel yang 65 persen sahamnya dimiliki oleh Telkom Indonesia. Lalu, tanggal 22 Februari 2019, Telkomsel menyetor modal nontunai berbentuk aset tak berwujud terkait teknologi dan aset tetap.
LinkAja diproyeksikan bisa jadi ikon teknologi finansial nasional. Untuk mendukung hal ini, Finarya butuh kerja sama strategis dengan BUMN lain. Pada 1 Maret 2019 terjadi tanda tangan lembar kesepakatan antara Finarya, Telkom, dan para investor untuk menerbitkan saham baru. Penyetoran saham baru dilakukan tiga tahap.
Penyetoran saham tahap pertama dilaksanakan paling lambat 31 Juli 2019, dengan total saham baru yang diterbitkan 66.526 lembar senilai Rp 665,26 miliar. Investornya mencakup Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, Jiwasraya, dan Danareksa.
Tahap kedua dilakukan paling lambat pada 31 Oktober 2019, dengan total saham baru yang diterbitkan 18.600 lembar atau senilai Rp 186 miliar. Para investornya adalah Telkomsel, BTN, dan Pertamina.
Adapun tahap ketiga akan diselenggarakan paling lambat 31 Desember 2019. Total saham yang bakal diterbitkan 80.000 lembar baru atau senilai Rp 800 miliar. Pada tahap ini, investor yang terlibat menyetor adalah Telkomsel, Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, Pertamina, dan BUMN lain.
Dengan demikian, komposisi pemegang saham Finarya jika terdapat BUMN lain adalah Telkomsel (25 persen), Bank Mandiri (17,03 persen), BRI (17,03 persen), BNI (17,03 persen), BTN (6,13 persen), Pertamina (6,13 persen), Jiwasraya (1 persen), Danareksa (0,63 persen), dan BUMN lain (10,02 persen).