Merujuk pada putusan kasasi dalam perkara ini, MA justru gagal dalam melihat pertanyaan hukum berkaitan dengan pembuktian. Perlu diketahui, bahwa alat bukti elektronik yang diajukan dalam persidangan, bukan merupakan alat bukti elektronik asli, melainkan hasil penggandaan berulang kali tanpa adanya rekaman asli yang dapat menguatkan orisinalitas dari alat bukti.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril Maknun sebagai sebagai langkah hukum terakhir atas perkara pelecehan seksual. Kelompok masyarakat sipil pun mendesak Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq, korban pelecehan seksual yang kemudian menjadi pesakitan.
“Koalisi masyarakat sipil mendesak agar putusan PK MA tidak dijadikan preseden dalam penanganan perkara perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Sebab, hal ini akan mematikan upaya untuk mendorong korban kekerasan seksual berani berbicara dan bertindak atas kekerasan yang dialaminya,” ujar peneliti Institute Criminal for Justice Reform, Maidina Rahmawati, di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Maidina menyampaikan persoalan ini dalam konferensi pers menyikapi Putusan Peninjauan Kembali MA terhadap kasus Nuril. Tak hanya bagi Baiq, pernyatan ini juga bertujuan untuk mendukung para korban kekerasan seksual lain agar tetap berani untuk bersuara.
Atas kasus ini, Nuril dijatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara. Selain itu, Nuril juga dikenakan denda Rp 500 juta pengganti tiga bulan kurungan.
Sebagai catatan, data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan pada 2017, sebesar 76 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah kekerasan seksual. Kekerasan terdiri dari 911 kasus pencabulan, 704 kasus pelecehan seksual, dan 699 kasus pemerkosaan.
Untuk itu, koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo agar segera memberikan amnesti kepada Nuril. Sebab, upaya hukum sudah dijalankan hingga level tertinggi.
Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga menagih janji DPR untuk membentuk tim eksaminasi atas perkara ini. Dengan membentuk tim eksaminasi, akan terlihat bagaimana kasus ini tidak layak untuk diadili dan diproses, sehingga DPR dapat memberikan dorongan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Nuril.
Menanggapi persoalan ini, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyampaikan bahwa secara umum kasus seperti ini akan menjadi bahan rapat konsultasi antara DPR dengan MA. Namun, tentu DPR tidak dalam posisi untuk melakukan eksaminasi terhadap putusan MA.
“Putusan PK ini tentu mengecewakan banyak elemen masyarakat sipil yang ingin melihat keadilan substantif ditegakkan. Namun sebagai sebuah putusan pengadilan, dalam sistem hukum kita tetap harus diterima sebagai sebuah putusan akhir,” tuturnya.
Dengan demikian, Presiden bisa diminta untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang terjadi dalam kasus tersebut. Secara khusus, Presiden juga dapat memberikan amnesti untuk membebaskan Baiq.
Kekeliruan
Koordinator Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menyampaikan, penolakan dari MA jelas sangat mengecewakan. “Pasalnya, perbuatan Nuril yang merekam kekerasan seksual yang ia alami seharusnya mendapat dukungan dan perlindungan dari negara,” katanya.
Lebih lanjut, Ade mengatakan, alih-alih membebaskan, negara justru menjerat Nuril dengan pidana penjara karena dianggap telah melakukan distribusi informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan. Aturan ini diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 27 Ayat 1 tentang Kesusilaan.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Bestha Inatsan, menegaskan, MA kurang cermat dalam menilai kasus ini. MA sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam Perma ini disampaikan bahwa dalam pemeriksaan perkara, hakim diminta mempertimbangkan beberapa aspek kesetaraan gender dan nondiskriminatif dalam proses identifikasi fakta persidangan. “Sayangnya, hal inilah yang kemudian gagal untuk dilakukan oleh MA, yang akhirnya berdampak pada putusan pemidanaan Ibu Nuril,” tutur Bestha.
Tidak layak diadili
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, mengatakan, ini suatu bentuk kegagalan MA dalam melihat kasus Nuril sebagai kasus kekerasan seksual yang tidak layak untuk diadili. Bahkan sejak awal kasus ini diperkarakan.
Merujuk pada putusan kasasi dalam perkara ini, MA justru gagal dalam melihat pertanyaan hukum berkaitan dengan pembuktian. Perlu diketahui, bahwa alat bukti elektronik yang diajukan dalam persidangan, bukan merupakan alat bukti elektronik asli, melainkan hasil penggandaan berulang kali tanpa adanya rekaman asli yang dapat menguatkan orisinalitas dari alat bukti.
Penasihat hukum Nuril, Aziz Fauzi, juga menjelaskan demikian. Terlebih lagi, pada 2017, pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram telah membuktikan bahwa transmisi informasi elektronik berupa rekaman telepon dilakukan oleh rekan kerja Nuril. Sebab, yang dilakukan Nuril adalah memberikan rekaman beserta gawainya secara konvensional.
“Ini yang kita sayangkan bahwa Hakim MA tidak mempertimbangkan apa yang sebenarnya disampaikan terkait kekeliruan di tingkat pertama itu. Putusan di tingkat MA ini terkesan untuk melindungi institusi yang sudah terlanjur ketimbang membebaskan orang yang tidak bersalah,” ujar Aziz.