Daya Kejut Mobil Listrik
Transportasi dunia dihadapkan pada problem polutan pencemar lingkungan. Model kendaraan berbahan bakar nonminyak, seperti mobil listrik, diharapkan dapat menjadi solusi moda transportasi masa depan yang ramah lingkungan.
Transportasi dunia dihadapkan pada problem polutan pencemar lingkungan. Model kendaraan berbahan bakar nonminyak, seperti mobil listrik, diharapkan dapat menjadi solusi moda transportasi masa depan yang ramah lingkungan.
Kajian Global Environment Outlook (GEO), yang dipaparkan dalam Sidang Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Lingkungan (UNEA), pada Maret 2019 lalu menyebutkan, buruknya kondisi lingkungan menyebabkan 25 persen kematian di dunia.
Pada 2015, setidaknya 9 juta orang meninggal karena persoalan lingkungan. Polusi udara menduduki peringkat pertama penyebab kematian global dengan rata-rata 7 juta orang per tahun.
Kondisi ini membuat dunia berpikir mengurangi polutan lingkungan, terlebih dari pencemaran udara. Salah satu gagasan besar adalah memunculkan kendaraan yang ramah lingkungan, seperti mobil ataupun sepeda motor listrik. Kendaraan listrik memang digadang memiliki sistem motor listrik (electric motor engine) yang lebih canggih daripada kendaraan konvensional.
Sistem penggerak pada mesin kendaraan listrik tidak mengeluarkan polutan pencemar lingkungan layaknya kendaraan berbahan bakar minyak. Inilah keunggulan utama dari kendaraan listrik selain memang memiliki desain yang lebih modern dan canggih.
Bursa jual beli kendaraan, terutama roda empat, saat ini kian ramai dengan inovasi mobil listrik. Lalu benarkah moda dengan sistem listrik ini sangat ramah lingkungan atau kemunculannya tidak lebih dari sekadar menjawab kejenuhan pasar otomotif saja.
Dalam sejarah dunia otomotif, mobil listrik bukanlah barang baru. Abad ke-18, seorang berkebangsaan Inggris, Robert Anderson, sekitar tahun 1832 menciptakan mobil roda tiga yang menggunakan baterai sebagai penggeraknya.
Teknologi kendaraan listrik juga terus dikembangkan sejak tahun 1885 oleh Karl Benz. Kemudian, beberapa tahun setelahnya, pada 1898, Ferdinand Porsche menciptakan mobil listrik yang dinamakan P1. Pada saat itu, dia juga mengembangkan mobil hybrid pertama di dunia yang digerakkan listrik dan bensin.
Sekitar tahun 1914, penemu ternama Thomas A Edison bekerja sama dengan Henry Ford mengembangkan mobil listrik dengan harga yang murah. Pada masa itu, harga mobil berbahan bakar bensin sekitar 650 dollar AS. Sementara mobil listrik bisa dibanderol lebih dari dua kali lipatnya.
Keberadaan mobil listrik kian menjadi primadona. Bahkan, menurut catatan The New York Times, ketika itu terdapat dua perusahaan taksi, The Detroit Taxicab dan Transfer Company, yang sudah menggunakan mobil listrik. Para pengguna taksi menyukai e-taksi ini karena suaranya lebih halus dan tampilannya yang dianggap elegan meskipun tidak sefuturistik desain modern saat ini.
Kembali diminati
Namun, masa emas mobil listrik ini tidak bertahan lama. Tahun 1920, kendaraan listrik mulai kurang diminati seiring dengan pertumbuhan jaringan jalan di Amerika Serikat. Pengendara mobil membutuhkan mobil yang dapat lebih bertahan lama. Mengingat saat itu mobil listrik hanya memiliki 12 baterai dengan tenaga 6 volt untuk pemakaian mobil berjalan selama 4-5 jam.
Minat terhadap mobil listrik pun terus menurun seiring bermunculannya SPBU yang masif. Kemudahan akses untuk mendapatkan bahan bakar minyak ini kian meminggirkan eksistensi mobil listrik.
Sekitar tahun 1935, mobil listrik terpaksa gulung tikar. Sementara mobil berbahan bakar minyak terus mengalami kemajuan pesat dan bertahan sampai sekarang.
Baca juga: Cara Kerja Mobil Listrik
Eksistensi mobil listrik mulai bangkit kembali pada tahun 1973 ketika pabrikan mobil General Motors mulai mengembangkan konsep kendaraan listrik. Langkah tersebut diikuti beberapa perusahaan kenamaan, seperti America Motor Company yang memproduksi mobil jip listrik (1975) dan Toyota dengan Prius sebagai mobil hybrid pertama yang diproduksi massal (1997).
Beberapa tahun setelah General Motors mengumumkan tidak memproduksi mobil listrik pada tahun 2003, perusahaan otomotif Tesla justru memperkenalkan mobil sport listrik bernama Tesla Roaster di International Auto Show di San Francisco.
Pengembangan mobil listrik pun terus berlanjut dan bahkan begitu pesat seiring dengan maraknya kampanye peduli pada pencemaran lingkungan akibat gas buangan kendaraan. Tahun 2009, beberapa perusahaan otomotif, seperti Nissan dan Tesla Motor, mendapat pinjaman senilai 8 miliar dollar AS untuk pengembangan kendaraan ramah lingkungan.
Merujuk pada data International Energy Agency (IEA), populasi mobil listrik global memang terus tumbuh cukup signifikan. Tercatat tahun 2010 lalu, jumlah mobil listrik hanya sekitar 16.800 unit. Namun, tahun 2016, jumlahnya meningkat tajam hingga lebih dari 2 juta unit.
Hemat biaya
Secara prinsip, sistem kerja mobil listrik jauh lebih sederhana dibandingkan dengan mesin konvensional berbahan bakar. Mobil listrik bekerja dengan daya listrik yang berperan mengubah arus bolak-balik (AC) menjadi arus searah (DC). Daya bersumber dari listrik PLN atau generator dengan proses pengisian daya (charger).
Listrik yang tersimpan pada baterai akan dipakai untuk memutar motor penggerak lewat solenoid (perangkat elektromagnetik yang dapat mengubah energi listrik menjadi energi gerakan). Solenoid mempunyai dua terminal yang dikaitkan pada kendali kecepatan dan saklar. Sistem mekanis kendaraan listrik yang demikian memang tidak menyisakan karbon buangan selayaknya pembakaran yang terjadi pada mesin berbahan bakar bensin.
Sejumlah kelebihan kendaraan listrik membuat daya kejut bagi penggunaannya di masa depan. Namun, untuk dapat digunakan secara massal, sejumlah catatan masih perlu dilakukan untuk pengembangan kendaraan listrik, seperti penggunaan batubara dan produk hidrogen yang dihasilkan.
Pengembangan industri produksi energi listrik yang masif menggunakan batubara begitu menjadi sorotan karena juga menghasilkan pencemaran karbon yang tinggi. Selain itu, kajian dari Universitas Harvard dan Universitas Tsinghua menemukan, untuk memproduksi mobil berbasis listrik dengan model hybrid, plug-in hybrid, berbasis baterai ataupun hidrogen, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan 50 persen lebih besar dibandingkan dengan produksi kendaraan konvensional.
Riset dari sebuah jurnal Institut Riset Transportasi Universitas Michigan juga mengungkap bahwa, di negara China, kendaraan berbahan bakar konvensional dengan konsumsi bahan bakar kurang dari 14,3 kilometer per liter lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan elektrik. Meskipun demikian, dilihat dalam konteks penggunaannya, kendaraan listrik dapat diunggulkan karena lebih hemat biaya.
Di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2018 pernah melakukan uji coba untuk melihat seberapa mahal biaya perjalanan yang dihabiskan kendaraan listrik. Uji coba tersebut dilakukan pada moda kendaraan listrik Mitsubishi i-MiEV dan Tesla Model X.
Untuk menempuh jarak 39 km, Mitsubishi i-MiEV hanya mengonsumsi 5 kWh atau apabila disetarakan dengan harga tarif dasar listrik sekitar Rp 1.450 per kWh, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 7.250. Sementara mobil pabrikan Tesla menghabiskan lebih dari 11 kWh atau setara dengan Rp 17.000.
Sistem penggerak pada mesin kendaraan listrik digadang tidak mengeluarkan polutan pencemar lingkungan layaknya kendaraan berbahan bakar minyak.
Apabila diasumsikan estimasi kebutuhan BBM untuk mobil murah ramah lingkungan (LCGC) yang menghabiskan 1 liter bensin untuk jarak 20 km, perbandingan biaya jalan mobil listrik dan konvensional tidak jauh berbeda.
Efisiensi bahan bakar yang diperlukan tentu juga sangat terpengaruh pada kondisi lalu lintas di jalan yang dilalui. Dalam kondisi di luar normal atau kemacetan, suplai listrik pada kendaraan elektronik ataupun bahan bakar pada kendaraan konvensional akan lebih banyak.
Di luar polemik kelebihan dan kelemahan yang harus diperbaiki, era elektromobilitas tidak terhindarkan untuk digunakan di masa depan. Hal ini penting dicermati karena keterbatasan cadangan minyak yang masih bisa digunakan.
Selain itu, emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut memberi dampak bagi atmosfer dan iklim kita. Bukan hanya polutan lingkungan, emisi karbon dioksida sebagai komponen terbesar gas rumah kaca terus meningkat dari masa ke masa. Peningkatan gas rumah kaca juga turut mengerek pemanasan global. (LITBANG KOMPAS)