CIANJUR, KOMPAS – Menjelang ikut serta di kategori Boys 15 Piala Gothia 2019 di Gothenburg, Swedia, 14-20 Juli, 18 pemain tim LKG-SKF Indonesia terus mematangkan adaptasi mulai dari mental, makanan, hingga cuaca. Tanpa adaptasi yang baik, tim bisa menghadapi banyak hambatan di dalam maupun luar lapangan yang bisa mengganggu performa.
Dalam kelas motivasi di Wisma Kompas Gramedia di Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Jumat (5/7/2019), pesepak bola Indonesia-Swiss yang kini bermain di klub Swedia Skovde AIK U-19 Nyoman Paul Fernanda Aro (18) mengisahkan sejumlah pengalamannya ketika awal-awal berkiprah di dunia sepak bola Swedia.
Paul yang lahir dan besar di Indonesia mulai berkiprah di sepak bola Swedia setelah dirinya lolos seleksi Skovde AIK U-15 pada 2016. Di awal karier, ia mengalami masalah perbedaan kultur antara Indonesia dan Swedia. Yang paling dirasakannya adalah soal mental. Pemain-pemain Eropa, terutama Swedia itu punya mental keras.
Mereka kalau tidak dapat menit bermain bukannya putus asa dan memilih keluar. Mereka justru berlatih lebih keras agar mendapatkan kepercayaan lebih besar dari pelatihnya. ”Saya saat itu sempat putus asa dan ingin kembali ke Indonesia,” ujar Paul.
Selain itu, Paul pun pernah mengalami masalah dengan makanan. Di Indonesia, ia sudah terbiasa makan nasi putih. Di Swedia, menu untuk pesepak bola sudah diatur oleh klubnya, yakni nasi merah, pasta, dan sayur. ”Saya sempat tidak bisa makan makanan itu karena sudah terbiasa dengan nasi putih,” ujarnya.
Lalu, sebagai orang yang lahir dan besar di Indonesia, Paul juga sempat kaget dengan kondisi cuaca dan alam Swedia. Suhu rata-rata di sana sekitar minus lima hingga 15 derajat celcius. Matahari bisa bersinar hingga 20 jam sehari, terutama di musim panas. ”Saya sempat susah tidur dengan kondisi matahari yang bisa mencapai 20 jam sehari tersebut,” tuturnya.
Namun, Paul mengatakan, ia beruntung punya beberapa teman yang sering memberikan motivasi. Ia pun lama-lama bisa mengatasi masalah mental tersebut. Adapun dari sisi makanan dan iklim, Paul mengatasinya sendiri lewat tekad yang kuat.
Dari pelajaran pengalaman itu, Paul ingin teman-teman tim LKG-SKF Indonesia bisa tahu lebih awal dengan situasi tersebut. Dengan itu, tim harus bisa segera beradaptasi dengan situasi itu sebelum sampai di Swedia.
”Teman-teman harus segera membayangkan kondisi di sana dan pelan-pelan untuk beradaptasi. Tujuannya, agar teman-teman tidak kaget lagi dan bisa langsung bermain sesuai kemampuan terbaik sesampai di sana,” ujar Paul.
Pentingnya kebersamaan
Salah satu yang penting, menurut Paul, kebersamaan antarpemain harus lebih kuat. Komunikasi harus berjalan intens di dalam maupun luar lapangan. Hal itu bisa membuat tim bisa lebih kompak. Dengan lebih kompak, tim bisa bermain lebih baik.
Setidaknya, mereka bisa saling menyemangati ketika ada salah satu rekan yang gugup saat pertandingan. Terkait makanan, Paul melanjutkan, tim harus segera membiasakan makan nasi merah, pasta, sayur, dan buah. Mereka harus pelan-pelan tidak makan nasi putih.
Lagi pula, makan nasi merah, pasta, sayur, maupun buah itu penting untuk fisik. Makanan itu memungkinkan pemain bisa bermain lebih optimal selama 90 menit. Kalau nasi putih, umumnya membuat pemain hanya bertahan 60-70 menit di suatu laga. ”Adapun cuaca, mungkin situasi di Pacet, Cianjur saat ini tidak jauh berbeda dengan Swedia di bulan ini,” kata Paul.
Pelatih LKG-SKF Indonesia Jumhari Saleh menegaskan, tim memang perlu mematangkan lagi kebersamaan di antara mereka. Namun, selain itu, tak kalah penting adalah menumbuhkan semangat, motivasi dan fokus mereka.
Selama ini, pemain sering hilang semangat maupun motivasi dalam pertandingan. Hal itu membuat mereka tidak percaya diri saat laga. Itu terlihat ketika tim bermain imbang 0-0 dengan Timnas Indonesia U-16 di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (25/5/2019). Karena kurang percaya diri, tim tidak bisa menang walaupun memiliki peluang gol lebih banyak.
”Ini mungkin juga karena kebersamaan mereka belum terlalu kuat. Dengan begitu, mereka tidak bisa saling support atau saling menyemangati ketika mereka kurang percaya diri atau gugup di suatu laga,” tutur Jumhari.
Pemain juga masih sering bengong dalam pertandingan. Ketika teman sudah mengumpan, mereka pun tidak cepat untuk langsung menyambutnya. ”Ini mungkin karena pemain tidak terlalu menguasai pola permainan tanpa bola,” ujar Jumhari.
Atas dasar itu, selama pemusatan latihan di Pacet, 4-7 Juli, tim diberikan kelas motivasi dan sejumlah kegiatan bersama. Tujuannya, untuk meningkatkan semangat dan motivasi hingga kebersamaan mereka. Dalam latihan, pelatih lebih menekankan latihan pergerakan tanpa bola.