Produksi film daerah diyakini menggairahkan kreativitas generasi muda sekaligus mendorong perekonomian lokal. Dua hal itu mendorong penyelenggaraan pergelaran Festival Film Purbalingga (FFP) yang tahun ini kembali digelar untuk ke-13 kalinya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS – Produksi film daerah diyakini menggairahkan kreativitas generasi muda sekaligus mendorong perekonomian lokal. Dua hal itu mendorong penyelenggaraan pergelaran Festival Film Purbalingga (FFP) yang tahun ini kembali digelar untuk ke-13 kalinya.
Festival Film Purbalingga menjadi wadah apresiasi bagi para sineas muda sekaligus para pecinta film wilayah Banyumas Raya, meliputi Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Kebumen. Tahun ini, festival kembali digagas oleh Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB).
Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi mengungkapkan, Festival Film Purbalingga (FFP) tidak saja menyuguhkan karya-karya film sineas lokal dan nasional tapi juga memberikan efek ganda (multiplier effect).
“Dampak itu berupa peningkatan ekonomi warga. Adanya keramaian mendatangkan pegiat UMKM seperti pedagang kuliner yang turut menggelar dagangannya,” kata Pratiwi dalam keterangan tertulis, Minggu (7/7/2019).
Pembukaan festival film dilangsungkan, Sabtu (6/7) malam, di Lapangan Desa Karangtalun, Bobotsari, Purbalingga. Kolaborasi kesenian tradisi kotekan lesung, genjring, dan pencak silat memeriahkan pembukaan festival. Pembukaan juga menyajikan tontonan film menggunakan medium layar tancap atau dikenal warga lokal dengan layar tanjleb.
Kepala Desa Karangtalun, Purbalingga, Heru Catur Wibowo, mengakui desa yang terletak di wilayah utara Purbalingga tersebut jarang ada hiburan malam terlebih tontonan gratis. “Kegiatan ini sekaligus ajang silaturahmi antarwarga desa selain tontonan gratis yang selama ini hanya menonton layar televisi di rumah masing-masing,” ujarnya.
Dua film pendek karya pembuat film Banyumas Raya dan satu film bioskop diputar. Film pertama yaitu “Tepa Selira” karya sutradara Nazahah Husnun Khotimah dari SMA Negeri 2 Purbalingga, salah satu peserta karya kompetisi pelajar Banyumas Raya FFP 2019, sedangkan yang kedua film “Keluarga Pak Carik” seri Kandang Sapi karya sutradara Nur Muhammad Iskandar. Adapun film nasional yang diputat yaitu “Keluarga Cemara” sutradara Yandy Laurens.
Direktur FFP Bowo Leksono mengatakan, salah satu dukungan kuat Festival Film Purbalingga yaitu warga dan pemuda desa. “Kami berperan mempertemukan film-film yang masuk ke FFP dengan penontonnya yaitu warga desa yang memang mempunyai hak sama untuk mengakses film-film berkualitas,” kata dia.
FFP, untuk selanjutnya akan berkeliling menemui warga desa di wilayah Banyumas Raya. Pada Senin malam, 8 Juli, armada layar tanjleb menyambangi Desa Karanggintung, Kecamatan Sumbang, Kabupaten Banyumas.
Film pendek “Tepa Slira” atau dalam Bahasa Indonesia bermakna toleransi, karya sutradara Nazahah Husnun Khotimah, pelajar SMA Negeri 2 Purbalingga diproduksi bersama oleh Brankas Film subekstrakurikuler Teater Brankas SMA Negeri 2 Purbalingga.
Film pendek bergenre anak-anak ini digarap pada 17 Juni 2019 di tiga lokasi berbeda, yaitu Desa Slinga Kecamatan Kaligondang, Kelurahan Wirasana Kecamatan Purbalingga, dan Desa Dawuhan Kecamatan Padamara.
“Bagi kami, memproduksi film anak-anak merupakan tantangan tersendiri karena harus lebih ekstra dalam menghadapi pemain. Terlebih, konten cerita yang bagi kami cukup berat namun menarik,” kata Nazahah yang saat ini naik ke bangku kelas XII.
Film yang produksinya difasilitasi CLC Purbalingga ini berkisah tiga sahabat dengan latar agama berbeda. Amir beragama Islam, Kusno penganut kepercayaan, dan Ayong beragama Konghucu. Pada suatu hari, Ayong diperintah mamanya mencari buah lamtorogung (petai cina) untuk jamu engkongnya dengan dibantu dua sahabatnya tadi.
Dalam perjalanan, terdengar suara adzan dari sebuah mushala. Ayong mengingatkan Amir untuk shalat, tetapi Amir tidak membawa sarung. Beruntung, Kusno yang memang sehari-hari memakai jarit (kain), meminjaminya.
Nicholas Jason Sugiarto yang berperan sebagai Ayong mengatakan, dirinya sempat mengalami kesulitan dalam memainkan peran itu. Dia mengaku beruntung kru produksi sabar melatih. “Aku kan kesehariannya memakai bahasa Indonesia, jadi sempat sulit saat membaca skenario memakai bahasa Banyumasan,” ujar siswa kelas V Sekolah Dasar Pius Purbalingga.
Menurut produser pelaksana Sekar Arum Pamularsi, meski waktu praproduksi cukup mepet karena terpotong libur Lebaran, kekompakan kru mampu mengejar tenggat waktu. “Di samping itu, sekolah juga mendukung sehingga anggaran produksi turun tepat waktu,” kata siswi kelas XI ini.