Demi Kesehatan Anda Jalankanlah Keluarga Berencana; Dua Anak Cukup, Laki-laki atau Perempuan Sama Saja. Slogan Keluarga Berencana ini gencar saat KB baru dikenal luas akhir tahun 1960-an melalui program pemerintah Orde Baru.
Oleh
NASRU ALAM AZIZ
·4 menit baca
Sejarah gerakan keluarga berencana terentang sangat panjang. Tahun 1916, Margaret Higgins Sanger (1879-1966), seorang perawat sekaligus pendidik dan penulis membuka klinik KB dan pengendalian kelahiran di Brooklyn, Amerika Serikat. Paling awal memopulerkan istilah “birth control”, Sanger kemudian dikenal sebagai aktivis pengendalian kelahiran dan sampai sekarang dikenang sebagai pencetus gerakan KB.
Sanger mengampanyekan gagasannya dan memberi penyuluhan mengenai KB, kesehatan reproduksi, dan pendidikan seksual, dengan menerbitkan majalah bulanan Birth Control Review yang terbit hingga 1929, serta berbagai artikel di surat kabar. Tahun 1952, ia meresmikan berdirinya International Planned Parenthood Federation dan memimpin lembaga itu hingga 1959.
Penyuluhan dan kampanye
Di Indonesia, KB baru dikenal luas akhir tahun 1960-an melalui program pemerintah Orde Baru. Tahun 1967 diadakan kongres Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia untuk merealisasikan program KB. Pada tahun yang sama Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mencanangan program KB di Jakarta Raya. Tahun berikutnya pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), sekarang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Berbagai upaya dilakukan pemerintah demi memasyarakatkan gerakan KB. Sangat mudah ditemukan terpampang slogan-slogan KB di sudut-sudut jalan, misalnya “Demi Kesehatan Anda Jalankanlah Keluarga Berencana”, ”Hidup tanpa KB Berarti Hidup tanpa Masa Depan”, atau “Dua Anak Cukup, Laki-laki atau Perempuan Sama Saja”.
Lewat lagu yang menggugah dan jenaka, Benyamin S dan Ida Royani memopulerkan gambang kromong, Si Mamat belon gede, Si Entong nongol lagi. Komponis Muchtar Embut menciptakan Mars Keluarga Berencana, lagu resmi yang setiap hari diputar di RRI dan TVRI: Keluarga Berencana sudah waktunya janganlah diragukan lagi, Keluarga Berencana besar maknanya untuk hari depan nan jaya, dan seterusnya.
Panggung-panggung hiburan pun digunakan untuk kampanye KB, mulai dari dagelan, wayang, sandiwara boneka, hingga film layar lebar. Sutradara sekaligus penulis skenario Asrul Sani (1927-2004) menerima pesanan dari pemerintah membuat film yang berisi pesan-pesan KB. Film berjudul Desa di Kaki Bukit diproduksi oleh PT Sri Agung Utama Film, menceritakan dua orang kota yang datang ke suatu desa untuk memajukan pendidikan, pelayanan kesehatan dan kebersihan, serta menganjurkan warga ikut program KB.
Kesadaran warga akan pentingnya KB digugah bukan hanya melalui penyuluhan dan kampanye. Pemerintah juga menerbitkan perangko seri KB dan uang logam bergambar KB. Uang logam pecahan Rp 5 seri khusus itu mulai beredar 22 April 1974. Di salah satu sisi uang logam yang terbuat dari aluminium itu terdapat lambang program KB, berupa satu keluarga saling bergandengan tangan yang terdiri dari seorang ayah dan seorang ibu mengapit seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Gambar keluarga itu dilingkari rangkaian 17 butir padi dan 8 kuntum bunga kapas, dipertemukan oleh huruf-huruf “KB” di bagian atas. Keseluruhan gambar dilingkari tulisan “Keluarga Berencana Menuju Kesejahteraan Rakyat”.
Dari tahun ke tahun, anggaran pemerintah untuk program KB dilipatgandakan agar menjangkau semakin banyak akseptor. Penyuluhan dan kampanye KB semakin digalakkan. Bahkan Presiden Soeharto maupun Ny Tien Soeharto dalam berbagai kesempatan menyinggung soal KB. Pak Harto berulang kali mengungkapkan pentingnya KB untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Saat kunjungan mendadak ke Masjid Istiqlal, Jakarta, Pak Harto menyapa pekerja bangunan dalam bahasa Jawa, “Punya anak berapa?” Dijawab, “Baru satu, Pak.” Pak Harto lantas mengingatkan, “Lha rencananya berapa? Harus direncanakan, lho!”
Pertanyaan khas Ny Tien, bila bertemu rombongan ibu-ibu, “Di antara ibu-ibu, siapa yang anaknya paling banyak?” Dalam ramah-tamah dengan rombongan istri-istri bupati dan wali kota se-Kalimantan Timur di Istana Merdeka, ada yang menyebut punya delapan anak, ada yang 13, bahkan 14 anak. “Wah, kok banyak betul?” kata Ny Tien, kemudian berpesan, “Nanti kalau putra-putri itu sudah besar-besar, jangan disuruh jadi penduduk Jakarta. Biar saja mereka tinggal di Kalimantan, supaya mereka nanti membangun kota-kota yang indah di sana.”
Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Agustus 1970, halaman 1; Kompas, Senin, 15 November 1971, halaman 1; Kompas, Jumat, 30 Juni 1972, halaman 2; Kompas, Senin, 21 Agustus 1972, halaman 4; Kompas, Kamis, 5 Oktober 1972, halaman 2; Kompas, Sabtu, 14 Juli 1973, halaman 1; Kompas, Jumat, 9 November 1973, halaman 2; Kompas, Senin, 15 April 1974, halaman 1.