Langkah Kemendagri menegur kepala daerah untuk segera memecat ASN terpidana korupsi diapresiasi. Akan tetapi, upaya tersebut perlu diikuti dengan pemberian sanksi berat terhadap kepala daerah yang masih resistan terhadap peraturan tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus menjalankan aturan pemecatan aparatur sipil terpidana korupsi. Dari 2.357 aparatur sipil negara (ASN) terpidana korupsi, kini tinggal 179 orang yang belum dipecat.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik di Jakarta, Senin (8/7/2019), mengatakan, kepatuhan pemerintah daerah meningkat sejak Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menegur secara tertulis 103 kepala daerah agar memberhentikan secara tidak hormat ASN terpidana korupsi di daerahnya pada 1 Juli. Saat itu, masih ada 275 ASN yang belum dipecat.
”Tercatat, hingga 4 Juli, jumlah ASN yang belum dipecat tersisa 179 orang,” kata Akmal. Sejumlah ASN itu tersebar di enam provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, mereka juga tersebar di sejumlah kota dan kabupaten.
Akmal melanjutkan, teguran tertulis memaksa mereka untuk memecat ASN terpidana korupsi dalam waktu 14 hari. Saat ini, tersisa enam hari untuk melaksanakan perintah tersebut. Jika pada 14 hari masih ada kepala daerah yang belum patuh juga, mereka akan diberikan teguran kedua.
Namun, skenario pascapemberian surat teguran kedua belum diputuskan karena masih didiskusikan oleh Inspektorat Jenderal Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. Menurut Akmal, beberapa pilihan tindak lanjutnya adalah penghentian sementara hak-hak keuangan dan penghentian jabatan sementara.
Keuangan negara
Kepala Biro Hubungan Masyarakat BKN Mohammad Ridwan mengungkapkan, pihaknya telah memblokir data kepegawaian seluruh ASN terpidana korupsi. Mereka sudah tidak bisa mendapatkan kenaikan pangkat, mutasi, dan promosi. Sebagian pun sudah tidak menerima gaji.
”Namun, sebagian ASN belum bisa diberhentikan gajinya karena mekanisme pengurusannya ada di Kementerian Keuangan,” kata Ridwan. Oleh karena itu, kata Ridwan, pemecatan mereka harus segera dituntaskan karena merugikan keuangan negara.
Menurut Ridwan, pemecatan ASN terpidana korupsi terkendala komitmen kepala daerah. Sebagian beralasan bahwa keterlibatan ASN dalam tindak pidana korupsi tidak terjadi pada periode jabatannya. Akibatnya, mereka enggan memecat mereka.
Sanksi berat kepala daerah
Sebelumnya, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril mengapresiasi langkah Kemendagri menegur kepala daerah untuk segera memecat ASN terpidana korupsi. Namun, upaya tersebut perlu diikuti dengan pemberian sanksi berat terhadap kepala daerah yang masih resistan terhadap peraturan tersebut.
Oce menjelaskan, merujuk pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah UU dan melawan putusan pengadilan, dapat didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dan dijatuhkan sanksi administratif berat. Pemberian sanksi itu diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) UU No 30/2014. Adapun sanksi itu terdiri dari pemberhentian tetap dengan/tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya, serta dapat dipublikasikan di media massa.
Dasar hukum itu semakin kuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XVI/2018 tanggal 25 April 2019. Sebelumnya, sejumlah pihak menggugat Pasal 87 Ayat (4) Huruf b UU No 5/2014 yang merupakan dasar pemecatan ASN terpidana korupsi. Namun, MK menolak gugatan itu dan menguatkan konstitusionalitas pasal tersebut.
Oleh karena itu, menurut Oce, Kemendagri pusat berada pada posisi yang kuat. Kewenangan itu semestinya digunakan untuk memaksa kepala daerah menyegerakan pemecatan ASN terpidana korupsi.
”Kemendagri terlalu toleran. Semestinya sudah tidak ada lagi negosiasi. Mendagri harus memberikan perintah yang tegas kepada pejabat daerah dan menjatuhkan sanksi berat bagi mereka yang tidak mau memecat ASN terpidana korupsi,” tegas Oce.
Ia menambahkan, jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. ”Seolah-olah ASN yang melakukan korupsi itu tetap diberikan keistimewaan,” ujar Oce.