Watu Pinawetengan, Ingatan Kebaikan Nenek Moyang
Di Minahasa, Sulawesi Utara, ingatan terhadap nenek moyang terus dijaga. Mereka yakin, perbedaan dan kebudayaan adalah karunia Tuhan.
Di Minahasa, Sulawesi Utara, ingatan terhadap nenek moyang terus dijaga. Mereka yakin, perbedaan dan kebudayaan adalah karunia Tuhan.
Yosua (21) mengamati delapan pemuda berdiri mengelilingi sebuah batu besar yang permukaannya penuh guratan. Para pemuda itu memakai pakaian penari kabasaran berwarna merah, lengkap dengan aksesoris bulu-bulu burung, tengkorak julang sulawesi, serta monyet hitam sulawesi.
Tiba-tiba, tubuh seorang pemuda yang berdiri di depan batu bergetar, seperti kejang. Matanya ditutupi semacam topi adat. Sambil membungkuk-bungkuk, ia mulai bicara dalam bahasa subetnis Minahasa.
Suaranya seperti sedang tercekik. Ia meraih tangan pemuda lainnya satu persatu sembari membisikkan kata-kata. Lalu, dia menyemburkan semacam cairan kemerahan yang diminumnya dari sebuah pucuk bambu. Sesekali pemuda lain membacakan cuplikan ayat-ayat alkitab setelah dibisiki oleh pemuda yang sedang berada di dimensi lain itu. Ayat-ayat berkisah tentang penciptaan manusia.
Baca Juga : Amurang Menua dan Terlupakan
Air muka Yosua takjub dan serius. Namun, dia tak kaget dengan fenomena mistis yang dilihatnya. Setiap tahun, komunitas subetnis Tombulu yang diikutinya pergi berziarah ke situs budaya Watu Pinawetengan.
“Hari ini tanggal 7 bulan 7 (Juli), bagus untuk ziarah,” kata Yosua, saat ditemui di situs budaya Watu Pinawetengan, Desa Pinabetengan, Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Minggu (7/7/2019).
Ia mengatakan, pemuda yang terlihat seperti kesurupan itu dimasuki leluhur dari subetnisnya. Kata-kata yang disampaikan adalah wejangan untuk kehidupan komunitas subetnis.
“Torang (kami) minta saran dari leluhur supaya bisa mengatur apa yang perlu diatur dalam kehidupan,” katanya.
Ari Ratumbanoa, juru rawat situs Watu Pinawetengan, mengatakan, ritual yang dilakukan di situ bertujuan memanggil leluhur setiap subetnis Minahasa. Pemuda yang seperti kesurupan itu menjadi mediator antara leluhur dengan masyarakat masa kini.
“Leluhur akan memberikan saran-saran yang baik. Jadi, ini untuk memanggil roh baik, bukan roh jahat,” katanya.
Watu Pinawetengan adalah batu besar dengan panjang sekitar 4 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 1,5 meter. Di atasnya, terdapat garis-garis gambaran tangan manusia. Di antaranya, ada gambar menyerupai manusia. Batu ini ini disebut sebagai prasasti bukti perundingan sembilan tonaas (kepala subetnis) Minahasa untuk membagi daerah kekuasaan. Sembilan subetnis Minahasa adalah Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan Ratahan, Panosakan, Bantik, dan Babontehu.
Menurut cerita pada keterangan tertulis di situs budaya itu, orang-orang di tanah Minahasa keturunan Toar dan Lumimu’ut sepakat pindah dari permukiman pertama mereka yang disebut Tu’ur Intana. Sebab, telah terjadi berbagai bencana beruntun di sana sehingga mereka harus mencari tanah penghidupan yang baru.
Sesuai petunjuk burung celepuk sulawesi (Otus manadensis), yang dikenal sebagai manguni (simbol yang istimewa) di Minahasa, mereka menuju arah terbit matahari sampai tiba di perbukitan permai yang dinamakan Tonderukan. Sembilan tonaas pun berunding di atas sebuah batu besar hingga tercapai kesepakatan. Tanah baru yang mereka tempati harus dibagi bersama dengan adil, tetapi tetaplah milik bersama suku Minahasa.
Karena itulah, batu tersebut dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Ari mengatakan, "watu" artinya batu, "pinawetengan" artinya pembagian. Batu ini adalah hasil mufakat semua subetnis di Minahasa.
“Dulu, batu ini adalah mezbah agung yang disebut tumotowa, tempat pemujaan Opo Wanantas atau Tuhan dalam adat Minahasa. Sekarang, tiap subetnis, pemuka adat, dan pemuka agama masih sering membuat upacara adat di sini untuk menghormati leluhur,” kata Ari.
Baca Juga : Pawai Maria Cara Umat Katolik Desa Kembes Akhiri Bulan Mei
Ziarah
Hingga kini, warga dari sembilan etnis masih sering berziarah ke Watu Pinawetengan untuk melaksanakan ritual atau berdoa. “Torang sekarang Kristen, tapi ndak boleh lupa dengan asal-usul dan akar kebudayaan sebagai orang Minahasa,” kata Yosua.
Peziarah lain, Felicia Lasut (30), berdoa dengan dupa. Penganut Konghucu ini baru dua kali berziarah ke Watu Pinawetengan. Namun, keluarganya bisa berziarah sekali sebulan. “Sebenarnya ndak tentu (kapan mau ziarah). Tapi, torang memang mau ziarah karena panggilan hati untuk mengingat leluhur, tidak ada alasan lain,” kata Felicia.
Ari, mengatakan, peziarah datang silih berganti. Mereka datang dari berbagai agama, baik Kristen, Budha, Konghucu, dan Islam. Saat ritual pun, tak jarang mereka juga membacakan kitab agamanya masing-masing.
Menurut Ari, warga desa sekitar dan banyak komunitas yang tinggal jauh dari situs budaya tetap menaruh hormat pada adat istiadat. Ia mengatakan, tradisi Minahasa yang rutin dilakukan tidak menggerus iman dan ketakwaan masyarakat. Sebab, keyakinan mereka tetap pada Sang Pencipta, bukan pada berhala atau roh-roh jahat. Ini terbukti dari pembacaan ayat kitab suci dalam ritual di Watu Pinawetengan.
Posisi Watu Pinawetengan bagi suku Minahasa pun semakin kokoh dengan diadakannya Festival Watu Pinawetengan oleh Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara Pa’dior. Ketua Yayasan Pa’dior Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto mengatakan, sempat ada keraguan untuk memulai festival ini pada 2007 karena anggapan praktik mistis.
Kendati begitu, adat istiadat Minahasa perlu terus dilestarikan bagi kehidupan generasi masa depan. “Beberapa pemuka agama sudah pernah melaksanakan upacara adat (di Watu Pinawetengan), seperti Ketua Umum Gereja Masehi Injili di Minahasa, Profesor WA Roeroe. Tokoh-tokoh agama turut berperan sehingga budaya tidak dianggap negatif,” katanya.
Dari Watu Pinawetengan, kata Benny, bangsa Indonesia bisa belajar melestarikan budaya sembari menjaga kearifan lokal. Salah satu nilai yang dikandung batu tersebut adalah toleransi dalam perbedaan. Agama dan budaya pun selalu beriringan mengajarkan yang baik bagi manusia.
“Ketika ada konflik, para tonaas berunding dan mencapai kesepakatan, tetapi menyatakan tetap mina’esa, artinya menjadi satu. Ini sesuai dengan konteks kebangsaan kita. Ada yang ingin memecahnya menjadi benar dan salah. Padahal, kebudayaan dan perbedaan adalah karunia Tuhan,” katanya.
Baca Juga : Watu Pinawetengan Demokrasi dan Toleransi ala Minahasa