Ida I Dewa Gde Catra, Separuh Hidup untuk Merawat Lontar
Setengah abad kehidupan Ida I Dewa Gde Catra (82) digunakan untuk melestarikan lontar. Penglihatannya, lantunan suaranya, jari-jarinya, hingga hatinya diabdikan untuk merawat dan menggali kekayaan pesan-pesan kebajikan yang ada dalam lontar.
Setengah abad kehidupan Ida I Dewa Gde Catra (82) digunakan untuk melestarikan lontar. Penglihatannya, lantunan suaranya, jari-jarinya, hingga hatinya diabdikan untuk merawat dan menggali kekayaan pesan-pesan kebajikan yang ada dalam lontar. Ia berusaha keras agar isi lontar bisa dibaca oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
Mengenal aksara Bali dan menuliskan di lembaran-lembaran daun lontar menjadi bagian dari keseharian Gde Catra. Kemampuan tersebut terasah berkat bimbingan almarhum ayah dan ibunya, Ida I Dewa Wayan Pucangan dan I Dewa Ayu Rai.
Gde Catra sejak remaja berpikiran untuk mengabdikan hidupnya tanpa batas untuk keberlanjutan cakepan demi cakepan ragam kesusastraan lontar. Cakepan adalah istilah untuk sepasang pengapit lontar-lontar Bali, semacam bundel buku.
Perkenalan dengan aksara-aksara Bali yang tertulis pada lembaran lontar berawal dari lingkungan rumahnya. Ayahnya tidak hanya sangat rajin merawat lontar-lontar miliknya, tetapi juga memahami apa yang tertulis di dalamnya.
Perkenalan Gde Catra dengan Prof Huaekas dari Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, membuatnya semakin mencintai lontar. Ia kaget sekaligus prihatin karena koleksi naskah lontar di Belanda jumlahnya banyak.
Untuk pertama kalinya ia diminta oleh pengelola Universitas Leiden menyalin lontar pada 1979. Lontar itu berupa naskah tua kekawin Negarakertagama. ”Mereka meminta melalui Prof Huaekas untuk membantu menyalin lontar-lontar koleksinya. Karena lontar-lontar itu harus dipulangkan ke Indonesia dan mereka tetap ingin menyimpan salinannya,” katanya, Jumat (21/6/2019) lalu.
Gde Catra langsung menerima tawaran menyalin satu cakepan lontar Negarakertagama dengan pembayaran sekitar 5 dollar AS untuk lima lembar salinan lontar ketika itu. Dia sangat terkesan saat mendapatkan kiriman mesin tik khusus untuk proses penyalinan aksara Bali pada lontar ke dalam aksara Latin. Mesin tik itu masih disimpannya baik-baik, dirawatnya baik-baik hingga kini.
Mesin tik itu berbeda dengan mesin tik biasa. Huruf-hurufnya memang khusus untuk huruf Latin. ”Saya memakainya mulai tahun 1979 sampai 1997. Setelah itu, saya belajar memakai komputer,” kata Gde Catra.
Hingga saat ini, Perpustakaan Universitas Leiden masih memercayakan alih aksara lontar Bali ataupun lontar Jawa ke dalam aksara huruf Latin kepada Gde Catra. Ia juga masih diminta menyalin lontar. Mantan pensiunan Kepala SD 1 Padangkerta, Karangasem, itu mengerjakannya dengan sepenuh hati.
Di luar itu, Gde Catra menuliskan naskah Astadasa Purwa dalam 18 jilid mengenai cerita Mahabarata dalam wujud cakepan lontar aksara Bali.
Regenerasi
Pria kelahiran Sidemen ini terus berusaha mencari generasi muda yang mau terlibat untuk merawat dan melestarikan lontar dan aksara Bali. Sayangnya, pencariannya sering sekali tak berakhir menyenangkan. Salah satunya ketika Dinas Kebudayaan Bali menggelar lomba menulis lontar pada 1989 di Denpasar.
Kompetisi itu ternyata pertama dan terakhir digelar karena peminatnya sedikit dan kualitas pesertanya juga tidak sesuai harapan. Namun, ia senang karena belakangan ini perlombaan terkait lontar kembali marak di sejumlah sekolah dan kampus.
Sampai saat ini, Gde Catra aktif mencari penulis lontar dari kabupaten ke kabupaten. Dia hanya menemukan sejumlah orang yang bersedia dan memiliki kesetiaan untuk berada di jalur konservasi lontar. Sayangnya, beberapa orang berbakat yang ditemukannya pun satu per satu pamit dari dunia kesusastraan lontar.
Dia memahami jika orang-orang berbakat itu tak bertahan lama seperti dirinya. Alasannya, menyalin, merawat, dan mengalihbahasakan kesusastraan lontar tidak menjanjikan keuntungan secara ekonomi. Meski demikian, menurut dia, jasa menulis lontar per lembar sudah membaik dari sekitar Rp 15.000 per lembar menjadi Rp 150.000 per lembar sekarang ini.
”Lagi-lagi, semua itu adalah pilihan jalan hidup dan panggilan hati. Tak ada yang bisa memaksa untuk datang dan pergi dari dunia lontar,” ujarnya lirih.
Meski demikian, ia tetap tak patah arang mencari remaja-remaja berbakat. Ia pun tak berhenti menyebarkan ilmunya kepada siapa pun yang dengan senang hati belajar padanya.
Museum
Berbincang mengenai lontar bagaikan membangkitkan semangat Gde Catra. Ia senang jika ada yang bersedia bertanya dan belajar apa itu lontar. Kakiang (panggilan kakek di Bali) pensiunan guru dan kepala sekolah pada tahun 1992 itu menguasai lontar dari hulu sampai hilir.
Dalam merawat lontar, Gde Catra juga dibantu AA Gede Raka Buana (52), guru Bahasa Bali. Ia setia menemani Gde Catra mendigitalisasikan lontar-lontar.
Koleksi lontar kuno miliknya ada yang berusia sekitar 400 tahun, yaitu Buana Kosa yang dibuat pada tahun Saka 1547 (1625 M). Selama lebih kurang 50 tahun, Gde Catra merawat sekitar 4.000 cakepan. Sebagian koleksi lontarnya juga disimpan di Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Karangasem.
Ia bersama putrinya, I Dewa Ayu Puspita Padmi, bersama-sama ngayah (bekerja tanpa dibayar) di museum yang berdiri berkat inisiatif desa setempat dengan dana swadaya serta donatur itu. Gde Catra dan putrinya bersama beberapa orang membantu konservasi lontar, di antaranya membersihkan, menginventarisasi, dan memperbaiki kerusakan lontar yang ada di museum. Mereka tidak mengharapkan pembayaran jasa atas perawatan lontar.
Saya berpikir bagaimana meyakinkan khalayak bahwa lontar itu penting untuk dipelajari dan dirawat.
Gde Catra juga dengan senang hati membantu merawat lontar yang disimpan warga. ”Saya berpikir bagaimana meyakinkan khalayak bahwa lontar itu penting untuk dipelajari dan dirawat,” katanya.
Dia berharap isi lontar itu tak hanya tersimpan rapi di dalam keropak-keropak mewah dengan alasan sakral. ”Akhirnya malah rusak dan tak terbaca lagi isinya,” katanya.
Gde Catra berharap naskah-naskah lontar dapat dibaca karena di dalam cakepan lontar tersembunyi banyak kebaikan, mulai dari pengobatan, ragam upacara, hingga petuah-petuah berperilaku dengan baik.
Ida I Dewa Gde Catra
Lahir: Sidemen, 23 Juni 1937
Istri: Jro Wija Kesuma (alm)
Anak:
- Ida I Dewa Gede Putu Pucangan (alm)
- I Dewa Ayu Kusuma Dewi
- I Dewa Ayu Mayun Trisnawati
- I Dewa Ayu Puspita PadmiCucu: 8 orangCicit: 2 orang
Pendidikan:
- SGB (1956)
- SLA (1969)
Pengalaman, antara lain:
- Guru/kepala SD (1956/1957 sampai 31 Desember 1991)
- Tim penerjemah pada Dinas Pendidikan Dasar Denpasar (1985-1997)
- Mulai menulis pada daun lontar (1972)
- Menyalin naskah lontar dari huruf Bali ke huruf Latin atau sebaliknya (1981- kini)
- Pengadaan naskah lontar untuk Kantor Pusdok Bali (1985-1997)
- Anggota tim inventaris lontar, penerjemah, pencatatan benda-benda pusaka Dinas Kebudayaan Kabupaten Karangasem
- Anggota tim pembahas Awig-awig Desa Pakraman, Kabupaten Karangasem, sejak tahun 2000 hingga 2011
Koleksi naskah lontar kuno:
- Buana Kosa tahun Saka 1547 (1625 M), 394 tahun
- Tatwa Jnyana tahun Saka 1763 (1841 M), 178 tahun
- Sang Hyang Mahajina tahun Saka 1817 (1895 M), 124 tahun
- Kakawin Siwaratri Kalpa tahun Saka 1795 (1878 M), 141 tahun
- Kakawin Smaradahana tahun Saka 1768 (1846 M), 173 tahun
- Tutur Gumi tahun Saka 1768 (1846 M), 173 tahun
- Dharma Patanjala, idenya asli ditulis dalam huruf Medang tahun Saka 1381 (1459 M), 640 tahun. Disalin ke dalam lontar tahun 2010 di Amlapura.