Peta jalan pengembangan industri rumput laut nasional digulirkan pemerintah. Ada harapan komoditas ini dikelola lebih serius untuk menghasilkan produk bernilai tambah di tengah kebutuhan dunia yang terus meningkat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Peta jalan pengembangan industri rumput laut nasional mulai digulirkan pemerintah. Muncul harapan komoditas rumput laut bakal dikelola semakin serius dan menghasilkan produk bernilai tambah di tengah kebutuhan dunia yang terus meningkat.
Pada Mei 2019, pemerintah menggulirkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2019 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Industri Rumput Laut Nasional Tahun 2018-2021. Dalam peta itu, pengembangan industri rumput laut Indonesia ditargetkan jadi pemimpin pasar dunia untuk industri karagenan dan agar-agar tahun 2021.
Komposisi ekspor bahan baku dan barang jadi ditargetkan minimum memiliki perbandingan 50:50 dua tahun ke depan. Selain itu, rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam pakan ikan dan pakan ternak.
Dari 213.422 ton produk rumput laut Indonesia yang diekspor tahun 2018, sebanyak 94 persen berupa bahan baku dan hanya 6 persen berupa produk turunan atau olahan. Padahal, harga jual produk olahan dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan harga jual bahan baku.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, harga bahan baku rumput laut jenis Eucheuma sp sekitar Rp 13.500 per kilogram (kg). Apabila diolah menjadi semi-refined carrageenan (SRC) dengan rendemen 20 persen, dihasilkan 0,2 kg dengan nilai jual Rp 120.000 per kg. Sementara jika diolah menjadi refined carrageenan (RC) dengan rendemen 15 persen, dihasilkan 0,15 kg dengan nilai jual Rp 180.000 per kg atau naik dua kali lipat.
Meski produk olahan memiliki nilai tambah lebih tinggi, upaya menumbuhkan industri pengolahan dalam negeri nyatanya masih menghadapi banyak tantangan. Dari 37 unit pengolahan rumput laut dengan kapasitas terpasang 50.100 ton, utilitas pabrik hingga tahun 2018 baru sekitar 63 persen untuk karagenan dan 67 persen untuk agar-agar.
Di sisi hulu, kendala pasokan dan kualitas bahan baku selama ini jadi salah satu penyebab kenapa industrialisasi rumput laut bergerak lamban. Produksi rumput laut kerap diterjang penyakit dan umur panen yang singkat, menyebabkan mutu bahan baku tidak sesuai standar pabrik olahan. Belum lagi, sistem resi gudang belum optimal.
Kendala pasokan dan kualitas bahan baku selama ini jadi salah satu penyebab kenapa industrialisasi rumput laut bergerak lamban.
Data produksi di hulu belum dapat dijadikan rujukan stok bahan baku rumput laut di pasar untuk kebutuhan industri hilir. Hal ini disebabkan masih kurangnya sinergi hulu-hilir. Sejumlah pembudidaya memilih menjual bahan baku kepada eksportir ketimbang industri hilir karena harga jual yang lebih tinggi.
Pembenahan dan penguatan industri rumput laut jadi momentum di tengah peluang pasar dan kebutuhan dunia yang terus meningkat. Tahun 2018, impor dunia untuk rumput laut mencapai 711.570 ton atau naik dari tahun sebelumnya 673.694 ton. Indonesia menyuplai sekitar 30 persen kebutuhan pasar dunia.
Tingginya kebutuhan bahan baku telah mendorong investasi asing masuk ke Indonesia untuk mendirikan pabrik pengolahan di beberapa sentra produksi. Kontinuitas bahan baku dan sebaran industri pengolahan yang lebih merata menjadi kunci peningkatan nilai tambah.
Sinergi hulu-hilir antara pembudidaya dan pabrik pengolahan diperlukan agar bahan baku industri tercukupi dan pembudidaya memperoleh harga jual yang baik. Tanpa jaminan serapan dengan harga layak, pasokan bahan mentah akan lebih banyak mengalir ke luar negeri ketimbang ke industri olahan dalam negeri. Di hilir, butuh insentif bagi pelaku usaha untuk mengembangkan inovasi teknologi menuju produk setengah jadi, produk jadi, hingga produk akhir bernilai lebih tinggi.
Tingginya kebutuhan bahan baku telah mendorong investasi asing masuk ke Indonesia.
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mencatat, rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum yang dihasilkan Indonesia dapat digunakan sebagai bahan pencampur pada setidaknya 500 produk konsumsi dan farmasi. Selain itu, masih ada produk Gracilaria untuk bahan baku agar-agar yang sudah dimanfaatkan secara luas.
Potensi rumput laut yang besar perlu dimanfaatkan sebagai salah satu pilar pembangunan sektor perikanan. Apalagi, rumput laut jadi salah satu penopang produksi. Tahun 2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksinya 19,54 juta ton basah. Rencana pengembangan rumput laut nasional 2018-2021 saatnya diwujudkan dengan dukungan semua pihak. Kita berharap rencana itu tak sekadar wacana.