Hingga pertengahan Juli 2019, sebanyak 1.518 hektar sawah di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat, gagal panen akibat kekeringan. Jumlah ini masih berpotensi bertambah seiring menyusutnya volume air sejumlah waduk yang diprediksi berlangsung hingga Oktober.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS – Hingga pertengahan Juli 2019, sebanyak 1.518 hektar sawah di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat, gagal panen akibat kekeringan. Jumlah ini masih berpotensi bertambah seiring menyusutnya volume air sejumlah waduk yang diprediksi berlangsung hingga Oktober.
Areal sawah yang puso terdiri dari 837 hektar di Kuningan dan 681 hektar di Cirebon. Tanaman padi yang gagal panen umumnya berumur setengah bulan hingga 2,5 bulan. Tanaman tersebut tampak coklat dan tanahnya retak-retak. Saluran irigasi pun mengering.
Di Kuningan, sawah puso tersebar di 12 kecamatan, seperti Cibingbin, Karangkancana, Maleber, dan yang terparah Ciawigebang dengan luas mencapai 400 hektar. Adapun luas areal tanam padi di Kuningan saat ini sebanyak 21.284 hektar.
“Yang gagal panen adalah sawah tadah hujan. Kami sudah mengimbau petani menanam palawija yang tidak butuh banyak air. Tetapi, petani masih menanam karena bulan April masih ada hujan. Kemarau ternyata datang lebih cepat di bulan Mei,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kuningan Sahibul kepada Kompas, Selasa (16/7/2019), di Kuningan.
Menurut Sahibul, luas sawah puso kali ini adalah yang terbesar dalam lima tahun terakhir. Bahkan, gagal panen terancam meluas karena masih ada 516 hektar sawah yang masuk kategori kekeringan berat. Tahun lalu, lanjutnya, ada 261 hektar sawah gagal panen karena longsor dan banjir di Cibingbin, bukan kekeringan.
“Untuk mengantisipasinya, kami lakukan gilir air bagi sawah yang sudah terancam puso. Kami juga mengoptimalkan mesin pompa di petani,” ujar Sahibul. Namun, menurut dia, sumber air irigasi juga tengah menyusut.
Volume air Waduk Darma di Kuningan yang menjadi sumber utama pengairan sawah petani, misalnya, kini terus menurun. Pantauan Kompas, Selasa siang, volume waduk berkisar 31,5 juta meter kubik. Padahal, dalam kondisi normal, volumenya mencapai 36,5 juta meter kubik.
Waduk yang menampung air Sungai Cisanggarung itu mengairi 19.684 hektar sawah di Kuningan dan 13.284 hektar di Cirebon. Waduk tersebut juga memasok air untuk PDAM setempat sebanyak 60 liter per detik.
“Meski volumenya turun, kami tetap mengalirkan debit air 2,5 meter kubik per detik ke 22.060 hektar sawah irigasi,” ujar Dodo Wardoyo, Koordinator Operasional Waduk Darma Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Pelepasan debit air tersebut, lanjut Dodo, mulai Juni hingga Oktober seiring berakhirnya musim kemarau. Menurut dia, volume air saat ini masih mampu memasok air ke lahan pertanian karena volume air waduk minimal adalah 7,5 juta meter kubik.
Serupa dengan Darma, volume Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang juga terus menurun. Kepala Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air BBWS Cimanuk-Cisanggarung Kementerian PUPR Harya Muldianto mengatakan, saat ini, volume air Jatigede 505 juta meter kubik. Padahal, akhir Juni lalu, volume air Jatigede mencapai 529 juta meter kubik atau 60 persen dari volume total waduk.
Meski demikian, menurut Harya, pihaknya masih memasok air dengan debit 70 meter kubik per detik ke 87.803 hektar sawah di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon melalui Bendung Rentang. Air lalu melewati dua saluran induk (SI), yakni SI Cipelang dan SI Sindupraja.
SI Sindupraja menyalurkan air dengan kapasitas maksimal 35 meter kubik per detik antara lain ke timur Indramayu dan utara Cirebon. Sementara SI Cipelang antara lain mengairi wilayah barat Indramayu, seperti Losarang dan Kandanghaur, dengan debit 25 meter kubik per detik. Jika debit yang disalurkan melebihi kapasitas saluran tersebut, air akan terbuang percuma.
“Setelah Agustus, debit air Jatigede turun menjadi 20 meter kubik per detik. Kalau dipaksakan menyalurkan 70 meter kubik per detik, elevasi waduk akan di bawah batas minimal, yakni 230 meter di atas permukaan laut,” ujar Harya.
Menurut dia, bendungan karet di Gunung Jati dan Losari, Cirebon, juga dalam tahap perbaikan. Kedua bendungan itu mampu menyimpan air untuk lebih 2.000 hektar sawah. Ketika rusak, air tak terbendung saat hujan sehingga ketika kemarau air tak ada. Kondisi ini membuat petani kerap terlambat tanam karena menunggu air.
Faktanya, sudah dua tahun bendungan itu rusak. Padahal, kemarau datang hampir setiap tahun
Oleh karena itu, menurut Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Cirebon Kuryadi, pemerintah terlambat mengantisipasi dampak kekeringan. “Faktanya, sudah dua tahun bendungan itu rusak. Padahal, kemarau datang hampir setiap tahun,” ujarnya.