Peningkatan mutu ekonomi Tanah Air sangat erat kaitannya dengan upaya mengatasi kesenjangan sosial. Pemerintah pun memanfaatkan instrumen fiskal untuk menekan tingkat kemiskinan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan mutu ekonomi Tanah Air sangat erat kaitannya dengan upaya mengatasi kesenjangan sosial. Pemerintah pun memanfaatkan instrumen fiskal untuk menekan tingkat kemiskinan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kunci dari peningkatan mutu ekonomi Indonesia dalam jangka panjang adalah peningkatan daya saing sumber daya manusia, produktivitas, inovasi, dan riset. Keempat aspek ini dinilai saling berkaitan untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Sebagai contoh, Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan pemberian insentif melalui PP Nomor 45 Tahun 2019 kepada pengusaha yang mengembangkan sumber daya manusia dan penelitian. Pengusaha berhak mendapat dukungan fiskal hingga 300 persen dari biaya yang dikeluarkan.
Sementara untuk menumbuhkan investasi dalam negeri, pemerintah memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan dalam jangka waktu 5-15 tahun bagi investor. Pemerintah juga memberikan insentif investasi bidang tertentu di wilayah tertentu untuk investor baru atau investor lama yang ekspansi bisnis.
”Instrumen fiskal akan dimanfaatkan untuk mendorong riset dan inovasi. Nanti tentunya akan berujung pada peningkatan daya saing dan produktivitas,” ujarnya dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun 2019, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Kunci dari peningkatan mutu ekonomi Indonesia dalam jangka panjang adalah peningkatan daya saing sumber daya manusia, produktivitas, inovasi, dan riset. Keempat aspek ini dinilai saling berkaitan untuk mengatasi kesenjangan sosial.
Sri Mulyani optimistis, keempat aspek tersebut dapat menekan kesenjangan sosial sehingga berujung pada menurunnya tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
”Pada saat yang sama, kita tetap fokus untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan. Kita akan menggunakan seluruh kebijakan yang ada,” katanya.
Target kemiskinan
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan, pemerintah belum mampu mencapai angka penurunan kemiskinan sesuai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Di awal periode pemerintahan, angka kemiskinan ditargetkan turun menjadi 7-8 persen. Namun, hingga Maret 2019, pemerintah hanya mampu menekan hingga 9,41 persen. Pada September 2014, angka kemiskinan tercatat sebesar 10,96 persen.
”Dengan mengambil batas atas target di 8 persen dan masih ada waktu enam bulan lagi sampai data September 2019 keluar, pengentasan kemiskinan selama 4,5 tahun pemerintah hanya tercapai 52,4 persen dari target,” ujarnya.
Berly mengatakan, upaya menurunkan angka kemiskinan setelah menembus satu digit memang lebih sulit dibandingkan ketika masih belasan persen. Terlebih, saat ini masih ada delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan di atas angka kemiskinan nasional, antara lain Papua (27,53 persen) dan Nusa Tenggara Timur (14,56 persen).
Menurunkan angka kemiskinan setelah menembus satu digit memang lebih sulit dibandingkan ketika masih belasan persen. Terlebih, saat ini masih ada delapan provinsi dengan tingkat kemiskinan di atas angka kemiskinan nasional, antara lain Papua (27,53 persen) dan NTT (14,56 persen).
”Ini merupakan pekerjaan rumah penting dan harus jadi prioritas kerja pemerintah yang membutuhkan langkah-langkah sigap, inovatif, dan komprehensif,” ujarnya.
Berly juga membandingkan penurunan kemiskinan era Presiden Joko Widodo dalam 4,5 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua. Di zaman SBY, angka kemiskinan turun dari 13,74 persen menjadi 11,25 persen.