Perkenalan dengan MS, membuat AF (17) selama setahun terjebak dalam jerat relasi kuasa. Saat ini AF berusaha keluar dari masa-masa kelam itu. Dia memulai hidup baru dan kembali membangun mimpi meraih hidup yang lebih baik.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Perkenalan dengan MS, membuat AF (17) selama setahun terjebak dalam jerat relasi kuasa. Saat ini AF berusaha keluar dari masa-masa kelam itu. Dia sedang memulai hidup baru dan kembali membangun mimpi meraih hidup yang lebih baik.
AF bisa bernapas lega dan mencoba melepas masa kelamnya satu tahun belakangan. Dia merasakan itu setelah Kepolisian Resor Kota Depok menangkap MS dan AS yang diduga memerkosa AF. Remaja berambut lurus panjang itu nekat loncat dari jembatan penyeberangan orang Margonda, Depok. Namun, AF bisa diselamatkan anggota satuan polisi pamong praja setempat.
Tidak hanya mendapatkan pelecahan seksual, AF juga dipaksa mengonsumsi narkoba. Bahkan MS dan AS juga menawarkan AF kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan.
Namun, masa-masa itu sudah lewat. Dia kini berada dalam rumah perlindungan sosial Kota Depok, Jawa Barat. Sementara dia menjaga jarak dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Maka, tidak mudah mendekati AF dalam situasi saat ini. AF sempat menolak berbincang dengan Kompas terkait permasalahan yang menimpa dirinya.
”Jangan tanya saya, tanya polisi saja. Saya tidak mau jawab pertanyaan terkait kasus kemarin,” katanya sembari menahan isak tangis, Selasa (17/7/2019). Rizka, petugas rumah perlindungan sosial yang berada di samping AF, langsung menenangkan dan memeluknya.
”AF masih labil, tetapi ini sudah lumayan baik kondisinya. Kami berusaha membuat nyaman AF di sini,” kata Rizka.
AF tampak manja kepada Rizka dan seorang ibu yang selalu menenangkan AF jika sedih. Wajah AF kembali semringah, ia tersenyum dan tertawa. Ia mendekati Rizka kembali meminjam telepon seluler. AF asyik mendengarkan lagu melalui earphone dan bernyanyi kecil.
Saat itu, Kompas menjaga jarak dan berusaha meyakinkan AF bahwa kedatangan Kompas hanya sekadar untuk bersimpati pada kasus yang menimpa dirinya. Selang satu jam kemudian, AF bersedia bercerita tentang sepenggal kisah hidupnya asal tidak disodor alat perekam dari telepon seluler.
”Maaf, bukannya saya tidak mau cerita, karena awalnya saya merasa terganggu dengan sejumlah wartawan. Mereka tidak melihat kondisi saya saat itu, saya tidak suka tiba-tiba disodori alat perekam dan ditanya-tanya terus,” ujarnya.
Dengan suara lirih, AF menyesali dan tidak menyangka terperangkap dalam kehidupan kelam selama setahun terakhir. Awalnya, ibu AF mengenalkannya seorang pria berinisial MS. Sejak perkenalan itu dan tinggal setahun bersama MS di kontrakan di dekat Terminal Depok, membuat hidupnya semakin menderita dan terkungkung. Ia kerap dipaksa mengonsumsi narkoba hingga hal buruk lainnya.
Saat masih tinggal bersama MS, upaya untuk menjalin komunikasi dengan ibunya beberapa kali ia lakukan, tetapi terhambat karena ketiadaan telepon seluler.
Selain itu, ia tidak bisa bebas dari pengawasan MS. ”Mungkin kalau tidak kenal dia, saya tidak sampai hancur kayak gini. Namun, itu bukan salah mama, saya sayang mama, mama sudah melahirkan dan membesarkan saya. Saat ini, saya belum mau ketemu mama dulu dan lingkungan sekitar rumah di Pasar Minggu,” kata remaja yang ingin menjadi ustazah itu.
Setahun tidak bertemu mama, abang, dan adik laki-lakinya, membuat AF kangen. Namun, ia mengaku tidak berani ketemu sang ibu. Saat ini, AF mengaku sangat senang tinggal di rumah perlindungan sosial karena mendapat perhatian dan merasa dihargai. Kondisi ini tidak ia dapatkan di lingkungan tempatnya tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tempat keluarganya tinggal.
Pulang ke Pasar Minggu pun bukan jawaban atas masalah yang dialami AF. Ia takut keberadaannya memperkeruh kondisi keluarganya, terutama pandangan negatif dari lingkungan sekitar. Meski mengaku rindu dengan mama, ia tidak bisa memastikan apakah akan bertemu dengan mamanya. Ia merasa sudah berubah karena setahun jalani kehidupan yang buruk. Ia tidak ingin mamanya sedih, ia merasa malu.
Selain itu, pandangan negatif lingkungan sekitar tentu akan mengganggu keluarganya. Ia tidak ingin keberadaannya di sana justru menjadi beban. AF berharap bisa melalui masa-masa kelam nan berat ini. Ia ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik dan mengubur perjalanan hidup yang kelam.
”Saya masih ingin sekolah, saya mau ikut Paket A, Paket B, dan Paket C dan melanjutkan ke jenjang kuliah sesuai keinginan almarhum papa yang ingin anaknya menjadi sarjana. Papa meninggal saat saya berumur sembilan tahun,” lanjutnya.
Ia selalu ingat pesan ayahnya untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Namun, kondisi keuangan dan sang papa meninggal membuat AF tidak dapat melanjutkan sekolah.
”Abang lulus SMA dan memilih kerja. Saya hanya sampai kelas III SD, dan adik saya duduk di kelas III SD. Saya masih memupuk mimpi untuk meraih gelar sarjana,” kata AF.