Supali Kasim, Kamus Hidup Budaya Dermayu
Supali Kasim (54) adalah kamus berjalan yang memuat sejarah, budaya, dan bahasa Indramayu. Mantan guru sekolah dasar itu pun kerap didatangi jurnalis, peneliti, hingga dosen yang ingin tahu tentang wilayah pantai utara Jawa Barat tersebut.
Supali Kasim (54) seperti kamus berjalan yang memuat sejarah, budaya, dan bahasa Indramayu. Mantan guru sekolah dasar itu pun kerap didatangi jurnalis, peneliti, hingga dosen yang ingin tahu tentang wilayah pantai utara Jawa Barat tersebut. Terasa tepat saat ia mengatakan, hidup itu seperti kamus. Harus diterjemahkan seideal mungkin, bukan sekadar pragmatis.
Kamus Jawa Kawi karya Dr Maharsi dan Kamus Jawa Kuna Indonesia karya PJ Zoetmulder menumpuk di atas meja kerja Supali di Perumahan Paoman Asri, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019). Literatur itu kian akrab dengan jemari dan pikirannya. Siang itu, ia tengah menyelesaikan buku tentang tata bahasa Jawa dialek Indramayu. ”Sudah 80 persen,” ucap Supali, yang juga sedang menulis buku cerita rakyat Indramayu.
Kalau bukunya terbit, anak dari seorang ibu buta aksara itu menambah karya tulisnya yang telah mencapai 40 buku. Buku itu berkisah tentang Indramayu dan Cirebon, seperti Budaya Dermayu atau Kumpulan Puisi (Bahasa Cirebon) Gandrung Kapilayu. Ada yang ditulis seorang diri, ada pula bersama tim penulis.
Sebagian besar bukunya lahir dari meja kayu sepanjang 1 meter yang terselip di sudut rumahnya, di bawah tangga. Sejumlah lukisan karya seniman Indramayu juga terpajang di dinding. Sementara aneka buku tersebar hingga ke kamar anaknya. Lemari miliknya tak lagi mampu menampungnya.
Belakangan, ia sibuk membuat buku ajar muatan lokal Bahasa Indramayu. Karya tersebut menjadi serangkaian upaya untuk mencegah bahasa ibu itu punah di tempat lahirnya sendiri. Secara linguistik, lanjutnya, bahasa Indramayu merupakan bahasa Jawa, tetapi dengan dialek khas setempat. ”Di pusat kota Indramayu, bahasa ini mulai ditinggalkan,” ujarnya.
Apalagi, ada perasaan bahasa Indramayu adalah minoritas di Jabar. Bagaimana tidak, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1996 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda, bahasa di Jabar itu Sunda. Konsekuensinya, semua sekolah di Jabar harus belajar bahasa Sunda.
Setelah kami kaji, bahasa Cirebon kurang tepat. Harusnya bahasa Jawa dialek Cirebon dan Indramayu.
Perda itu lalu direvisi menjadi Perda No 5/2003 yang di dalamnya, antara lain, memuat bahasa Sunda, Melayu, Betawi, dan Cirebon sebagai bahasa daerah Jabar. ”Setelah kami kaji, bahasa Cirebon kurang tepat. Harusnya bahasa Jawa dialek Cirebon dan Indramayu,” lanjut magister bahasa dan sastra Indonesia Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, ini.
Aturan itu kembali direvisi. Supali yang tergabung dalam tim revisi sempat dipandang sinis. ”Saya dituding primordial. Padahal, bahasa itu jati diri daerah. Kita menemukan siapa kita dari bahasa. Sejarah kita ditulis dalam bahasa daerah. Kata reang (saya), misalnya, dalam bahasa Indramayu juga sama artinya di Tengger, Semeru, Jawa Timur. Artinya, Indramayu juga masuk dalam fase bahasa Jawa kuno,” paparnya.
Perda itu berhasil direvisi menjadi Perda No 14/2014. Bahasa daerah Jabar pun tidak lagi terbatas Sunda atau Cirebon. Supali dan penulis lain lalu ”bergerilya” membuat buku sebagai bahan ajar muatan lokal di bangku SD hingga SMA di Cirebon dan Indramayu.
Jauh sebelum itu, peraih penghargaan Tokoh Peduli Bahasa Daerah 2018 oleh Persatuan Wartawan Indonesia Indramayu ini telah menjaga bahasa setempat. Tahun 2005, Supali mendirikan Lembaga Basa lan Sastra Dermayu. Sebanyak 25 anggotanya berasal dari berbagai latar belakang profesi, seperti guru, seniman, dan petani.
Tahun 2017, mereka menggelar Festival Teater Basa Dermayu yang diikuti sekitar 200 pelajar se-Indramayu. Namun, Supali enggan mendaku sebagai pelaku tunggal pelestari bahasa setempat.
”Yang paling berperan itu pelaku seni pertunjukan tradisional karena mereka menggunakan bahasa lokal,” ujar Ketua Dewan Kesenian Indramayu pertama (2001-2004) ini.
Juru tulis desa
Supali tidak hanya menulis soal bahasa setempat. Sejarah, seni, dan budaya pantai utara juga ia lahap. Dari mana bakatnya datang, ia tak tahu. Namun, mendiang ayahnya, Kasim, adalah juru tulis Desa Juntinyuat, Indramayu. Sang ayah tak punya sawah, tetapi rajin mencatat luas tanah desa hingga jumlah penduduk setempat.
Kegemaran menulis boleh jadi turun dari sang ayah. Begitu pun dengan hobinya membaca. Di bangku SMP, Supali mulai membeli harian Kompas sekali sepekan seharga Rp 125. Ia menyisihkan uang jajannya yang pada 1970-an sebesar Rp 25 per hari. Koran lain yang ia cari adalah Sinar Harapan dan Suara Merdeka. Kesukaannya rubrik olahraga dan seni budaya.
”Kalau pelajaran Bahasa Indonesia dan IPS, saya dapat 9, tetapi Matematika dan Fisika cuma 5,” ujarnya diiringi tawa.
Ia sadar, tak mungkin menguasai semuanya. Apalagi, waktunya harus dibagi untuk membantu ibunya, Darem, membuat rengginang dan terasi. Jempolnya yang melengkung menandakan kerja kerasnya mencetak rengginang panas.
Akan tetapi, jempol itu juga meninggalkan jejak cinta pada Indramayu. Di sela-sela membuat rengginang, Supali menyimak aneka kisah dari ibunya yang buta huruf. Tentang seni tradisional hingga tenun Juntinyuat yang kini nyaris punah. Ibunya bahkan menjadi narasumber utama saat Supali menyusun buku Budaya Dermayu.
Ketertarikannya pada ilmu sosial membuatnya mengincar jurusan IPS SMA negeri. Namun, karena keterbatasan biaya, anak keempat dari enam bersaudara ini diminta masuk sekolah pendidikan guru (SPG) swasta. Orangtuanya ingin setelah sekolah Supali langsung kerja, bukan kuliah.
Dua tahun setelah lulus SPG, Supali yang berumur 20 tahun diangkat menjadi guru SD di Anjatan, berbatasan dengan Subang, sekira 76 kilometer dari rumahnya. Tidak ada listrik. Namun, bukan itu yang membuatnya tersentak.
Saya kaget, pria seumuran saya anaknya sudah dua. Perempuan umur 17-18 tahun yang belum menikah saat itu dianggap perawan tua.
”Saya kaget, pria seumuran saya anaknya sudah dua. Perempuan umur 17-18 tahun yang belum menikah saat itu dianggap perawan tua. Kata orang-orang, menikah saja. Kalau enggak cocok, ya, cerai,” ujarnya. Di pelosok itu selama empat tahun, Supali mendalami karakter Dermayu.
Supali tak tahu apakah pernikahan dini masih berlangsung di sana. Ia keburu dipindahkan ke pusat kota Indramayu. Yang jelas, Pengadilan Agama Indramayu tahun lalu memutus dispensasi kawin bagi yang di bawah umur sebanyak 266 perkara.
Inspirasi
Sebagai orang pesisir yang membaca sejarah dan budaya Indramayu, Supali banyak mempelajari nilai kejujuran dan keterbukaan. Salah satu yang menjadi inspirasinya adalah lakon wayang kulit Bratayudha yang kerap dipentaskan dalam berbagai hajat warga desa, seperti sedekah bumi dan mapag sri di kampungnya.
Yudhistira telah memanah hatinya. Sulung dari para putra pandu itu memiliki karakter jujur dalam perkataan dan perbuatan serta baik kepada siapa pun. Pernah, lewat tulisannya di media 2010, Supali meminta calon bupati di Indramayu becermin kepada Yudhistira yang menolak anugerah dari dewa jika tidak bersama-sama rakyatnya. Menurut Supali, calon pemimpin tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadinya.
Saat mencalonkan diri menjadi kepala sekolah, saya tidak tertarik pakai jalan tidak benar, seperti menyogok. Eh, ternyata saya lulus sebagai kepsek di SD pelosok.
”Saya mencoba menerapkannya. Saat mencalonkan diri menjadi kepala sekolah, saya tidak tertarik pakai jalan tidak benar, seperti menyogok. Eh, ternyata saya lulus sebagai kepsek di SD pelosok,” kata Supali yang pernah ditempatkan di SD pelosok di Gantar, sekitar 70 kilometer dari rumahnya.
Bahkan, suami Titin Nurhaeni (48), yang juga seorang guru, ini meraih penghargaan sebagai kepala SD terbaik se-Indramayu (2008). Ia juga menyabet peringkat IV kepala SD berprestasi tingkat Jabar. Sayangnya, aneka prestasi itu tidak menjadi pertimbangan dalam promosi jabatan meski Supali sejatinya tak mencari itu.
Kini, Supali memilih menjadi pengawas sekolah dasar Dinas Pendidikan Indramayu dan terus menulis. Pengetahuan bapak tiga anak ini membuat para terpelajar datang bertanya kepadanya soal batik Paoman, seni tarling (gitar-suling), hingga sejarah Indramayu. Dengan senang hati, ia meladeni siapa pun yang ingin tahu tentang daerahnya. Supali juga terus mendorong semua pihak untuk menulis. Baginya, menulis adalah upaya menyambung sejarah dan pengetahuan.
”Sarjana kita harus menghasilkan buku, apa pun temanya. Jangan sampai seperti pohon pisang. Setelah berbuah, selesai,” ucapnya.
Supali Kasim
Lahir: Indramayu, 15 Juni 1965
Istri : Titin Nurhaeni (48)
Pendidikan:
- SPG PGRI Indramayu 1983 (sekarang SMA PGRI 2 Sindang)
- S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Wiralodra, Indramayu (1999)
- S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon (2012)
Penghargaan:
- Juara Harapan Sayembara Menulis Artikel ”Mengembangkan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu” 2018 oleh Disporabud Jabar bekerja sama dengan Klinik Bahasa dan Pikiran Rakyat
- Anugerah Tokoh Peduli Bahasa Daerah 2018 oleh Persatuan Wartawan Indonesia Indramayu
- Anugerah Seni 2013 (Kategori Tokoh Peduli Sejarah) oleh Dewan Kesenian Indramayu
- Kepala SD Berprestasi Se-Indramayu (2008)