Perkembangan di 18 Daerah Otonom Baru Belum Memuaskan
›
Perkembangan di 18 Daerah...
Iklan
Perkembangan di 18 Daerah Otonom Baru Belum Memuaskan
Selama masa moratorium pemekaran daerah otonom baru yang diberlakukan sejak awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah hendaknya fokus pada pengembangan daerah-daerah otonom baru, khususnya daerah yang selama ini gagal berkembang.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan di 18 provinsi dan kabupaten baru yang terbentuk sejak 2012 belum memuaskan. Selama masa moratorium pembentukan daerah otonom baru, pemerintah hendaknya fokus pada pengembangan daerah-daerah yang belum berkembang itu dan juga daerah-daerah otonom baru lainnya yang hingga kini gagal berkembang.
Sebanyak 18 provinsi dan kabupaten yang terbentuk sejak 2012 itu adalah Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Pesisir Barat, Kabupaten Manokwari Selatan, dan Kabupaten Pegunungan Arfak. Ada pula Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Malaka, Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Banggai Laut, dan Kabupaten Morowali Utara.
Kemudian Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Buton Selatan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik di Jakarta, Jumat (19/7/2019), mengatakan, rata-rata indeks pembangunan manusia (IPM) di 18 daerah itu masih berada di bawah rata-rata nasional.
Rata-rata IPM di 18 daerah itu dari 2014-2017 secara berturut-turut adalah 61,14; 61,73; 62,30; dan 62,97. Sementara rata-rata IPM nasional dalam periode yang sama adalah 68,9; 69,55; 70,18; dan 70,81.
Secara finansial, daerah-daerah itu juga belum bisa mandiri. Sebagaimana tampak pada rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan yang masih rendah.
Sepanjang 2014-2018, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang mampu mencapai angka 20 persen. Disusul Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten Pulau Taliabu yang rasio PAD terhadap total pendapatan daerahnya di atas 10 persen. Sementara rasio 13 daerah otonomi baru lainnya ada di bawah angka 10 persen bahkan di bawah 5 persen.
Penyelenggaraan pemerintahan
Kemudian dari sisi penyelenggaraan pemerintahan, Akmal mengatakan, sebagian besar daerah belum mampu mencapai nilai memuaskan.
Penilaian tersebut diukur dengan 10 indikator seperti diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Perkembangan Daerah Otonomi Baru.
Indikator itu di antaranya pembentukan organisasi perangkat daerah, pengisian personel, pengisian anggota DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, serta pembiayaan. Indikator lainnya adalah pengalihan aset, peralatan, dan dokumen; penetapan batas wilayah; penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan; penyiapan rencana umum tata ruang wilayah; serta pemindahan ibu kota bagi daerah yang perlu melakukannya.
Dari 18 daerah, hanya enam daerah yang penilaiannya masuk kategori baik. Daerah itu antara lain Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Kalimantan Utara, dan Kabupaten Pesisir Barat.
Sementara 12 daerah lainnya masuk kategori sedang. ”Memang tidak ada daerah yang menunjukkan kinerja jelek, tetapi pencapaian saat ini belum cukup. Semestinya daerah otonomi baru konsisten terhadap kesepakatan di awal masa pemekaran,” kata Akmal.
Menurut Akmal, salah satu masalah yang kerap dialami daerah adalah soal pengalihan aset dari daerah induk ke daerah pemekaran. ”Masalah terbanyak itu wanprestasi. Baik daerah induk maupun daerah hasil pemekaran kerap mengingkari janji. Pemerintah provinsi yang menaunginya pun tidak optimal dalam memfasilitasi mereka,” ujar Akmal.
Evaluasi menyeluruh
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, hasil evaluasi terhadap 18 daerah tersebut menambah panjang daftar daerah otonomi baru yang belum berkembang atau bahkan gagal berkembang. Sebab, dari ratusan daera otonomi baru yang dilahirkan sejak keran pemekaran dibuka tahun 1999, masih banyak yang tak berkembang.
Praktis dengan gagal berkembang, daerah otonomi baru gagal mencapai tujuan pemekaran, yaitu menyejahterakan masyarakatnya dan mempercepat pembangunan di daerah.
Selama masa moratorium pemekaran yang diberlakukan sejak awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif terhadap semua daerah otonomi baru yang terbentuk sejak 1999. Pasalnya, evaluasi yang dilakukan Kemendagri selama ini hanya pada aspek penyelenggaraan pemerintahan.
Evaluasi komprehensif terakhir, menurut Robert, dilakukan pemerintah bersama sejumlah lembaga, termasuk KPPOD pada 2012. Saat itu, yang dievaluasi adalah daerah otonomi baru yang dibentuk pada rentang waktu 1999 hingga 2011.
”Berdasarkan penilaian saat itu, pencapaian kinerja sebagian besar daerah masih jauh di bawah standar yang diharapkan,” kata Robert.
Evaluasi yang komprehensif penting untuk mencari solusi agar daerah otonomi baru tidak gagal berkembang. ”Namun sayang, selama lima tahun terakhir masa moratorium ini evaluasi komprehensif tidak dilakukan dan pemerintah pusat juga sepertinya tidak melakukan langkah-langkah khusus untuk menata daerah otonomi baru,” ujarnya.