Rasanya belum lekang dari ingatan, bagaimana petani-petani kecil penangkar benih di Kediri, Jawa Timur, diseret ke meja hijau selama kurun tahun 2005-2010. Sudahi elegi petani.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Surat edaran Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, tertanggal 15 Mei 2019, perihal larangan peredaran benih padi IF8, cukup mengejutkan. Utamanya di kalangan petani pemulia benih. Apalagi, edaran itu berujung laporan ke kepolisian, lalu diikuti panggilan pemeriksaan karena dinilai ada pelanggaran.
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh Hanan, benih IF8 belum mengantongi izin edar dari Kementerian Pertanian. Awalnya benih disalurkan oleh sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat untuk petani di Desa Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, akhir 2017. Pemakaiannya berkembang dan badan usaha desa setempat (BUMDes) menetapkannya sebagai produk unggulan. (Kompas, 8/7/2019)
Banyak desa di Aceh Utara membeli benih IF8 dari BUMDes Meunasah Rayeuk. Menurut Hanan, pengadaan benih yang belum berizin dengan dana desa merupakan pelanggaran. Benih itu juga dinilai perlu diteliti lebih dalam terkait dengan kualitas gabah dan daya tahannya terhadap serangan hama. Benih unggul, ujarnya, tidak dilihat dari produktivitasnya saja.
Padi IF8 merupakan hasil persilangan jenis padi lokal yang awalnya ditangkarkan oleh petani di Karanganyar, Jawa Tengah. Oleh para petani anggota Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), IF8 ditanam dan diuji di banyak lokasi di Indonesia, termasuk Aceh. IF8 digemari karena produktivitasnya relatif tinggi, yakni rata-rata 11 ton per hektar. Padi ini juga tahan banjir karena tingginya mencapai 1 meter.
IF8 digemari karena produktivitasnya relatif tinggi, yakni rata-rata 11 ton per hektar. Padi ini juga tahan banjir karena tingginya mencapai 1 meter.
Kasus itu bisa jadi sebatas penegakan hukum biasa. Normatif. Namun, relasi antara petani pemulia benih, birokrat, dan penegak hukum selama ini penuh riak. Dalam struktur industri benih nasional, petani pemulia kerap dalam posisi tak berdaya, terimpit di posisi yang sulit. Maka, kabar tentang larangan peredaran benih karya petani dan pemanggilan oleh kepolisian segera mengirimkan sinyal traumatif.
Rasanya belum lekang dari ingatan bagaimana petani-petani kecil penangkar benih di Kediri, Jawa Timur, diseret ke meja hijau selama kurun 2005-2010. Mereka dituduh melakukan tindak pidana pembudidayaan tanaman tanpa izin, mengumpulkan plasma nutfah tanpa izin, atau mengedarkan hasil pemuliaan yang dinilai belum stabil. Para petani di Kediri dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Serangkaian kasus mendorong petani pemulia benih, asosiasi petani, dan sejumlah lembaga mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), tahun 2012, atas beberapa pasal dalam UU No 12/1992.
Sejumlah pasal, antara lain soal pencarian dan pengumpulan plasma nutfah, dinilai menguntungkan badan hukum atau pemilik modal. Petani kecil dengan keterbatasan sumber daya justru mendapat diskriminasi, bahkan dikriminalisasi hingga berujung penjara, terkait dengan aktivitas mereka memuliakan benih.
MK melalui Putusan Nomor 99/PUU-X/2012 memang akhirnya mengabulkan permohonan petani. Intinya, petani kecil dikecualikan dalam sejumlah pasal di UU No 12/1992. MK mengakui hak perorangan petani kecil untuk memuliakan tanaman tanpa harus meminta izin. Namun, diskriminasi tidak berarti lenyap di lapangan.
Di bidang pertanian, peran benih amatlah penting, bahkan menentukan 60 persen kegagalan atau keberhasilan usaha tani. Oleh karena itu, tak sedikit pihak berebut menguasainya. Pada titik ini, negara diuji keberpihakannya.
Sejumlah ahli mengingatkan, pengekangan atas kreativitas/inovasi petani justru mengancam kedaulatan pangan di masa depan. Demikian pula dengan kecenderungan penguasaan benih oleh segelintir perusahaan yang makin dominan. Sudahi elegi petani.