Kutukan Kesedihan
Kebahagiaan sama sekali tak pernah datang mengunjungimu. Apa yang kau inginkan, menurutmu, jarang sekali terwujud sesuai harapanmu. Begitu ceritamu padaku sebelum kau dinikahi oleh Kardi—suamimu yang dahulu telah menghamili kawan sekolahnya jauh sebelum menikahimu. Ia telah dengan sengaja merampas masa depan kawan perempuannya itu dan menggantinya dengan kesedihan yang memberat dalam perutnya.
Suamimu membiarkan kesedihan berkeliaran menerpa keluarga perempuan itu. Kesedihan itu menjalar dan melebat hingga akar-akarnya membelit dan melumatkan kebahagiaan yang seharusnya bisa mereka rasakan. Sebetulnya ingin sekali mereka mengesahkan hubungan yang sejujurnya tak pernah mereka inginkan. Namun, keyakinan mereka telah mengajari bahwa untuk mengesahkan hubungan mereka hendaknya menunggu hingga bayi yang dikandung oleh perempuan itu lahir terlebih dahulu.
Maka untuk berbulan-bulan lamanya, mereka menanti-nanti lahirnya bayi itu meski sebetulnya proses kelahiran bayi itu tak lebih dari sekadar proses memuntahkan kesedihan ke dunia.
Sembilan bulan telah lewat berminggu-minggu. Tak ada tanda kelahiran dari bayi itu. Kaki perempuan itu bahkan membengkak seolah tak kuasa menopang beban kesedihan yang tak lahir-lahir juga.
“Operasi saja,” saran keluarga yang sebetulnya juga telah diyakinkan oleh pihak medis bahwa jalan terbaik ialah operasi secepatnya.
Tapi perempuan itu hanya diam. Mungkin ia ingin menanggung kesedihan itu seorang diri. Ia tak ingin berbagi. Kesedihan yang ia topang dalam perutnya terus saja ia seret ke sana kemari. Barangkali ia tak ingin tampak ringkih dan memasrahkan kesedihan itu ditangani oleh orang lain. Ia ingin menunjukkan kepada semua orang—terlebih pada suamimu yang dengan serampangan telah menanamkan kesedihan itu—bahwa ia tercipta sebagai perempuan yang kuat.
Suatu malam, perempuan itu terbatuk-batuk dengan daya batuk yang maha hebat. Wajah perempuan itu pucat kebiruan. Hembusan napasnya pendek-pendek dengan peluh yang membanjiri seluruh tubuh. Kedua tangan perempuan itu tak lepas dari kesedihan yang ada dalam perutnya.
Keluarga perempuan itu telah sama paham, kekuatan selalu ada batasnya, demikian juga dengan kekuatan perempuan itu. Mereka beramai-ramai mengangkat tubuh perempuan itu dan membawanya ke pusat medis. Perempuan itu terbaring di dalam mobil yang melaju kencang dan meninggalkan suara meraung-raung, sementara ibunya duduk di sampingnya sambil terus membelai rambutnya.
Sepasang mata perempuan itu terbelalak pada suatu detik. Bibirnya terbuka sedikit. Keluarga perempuan itu sadar, tak ada gunanya berharap. Perempuan itu telah mati meninggalkan kesedihan yang tak berkesudahan.
Saat itulah kau paham bahwa memilih dinikahi oleh suamimu adalah sebuah kutukan kesedihan. Kau ingin melepaskan kutukan itu, tapi kesedihan itu sendiri yang menolak untuk dilepaskan. Kau merasa kesedihan telah mengikat hidupmu. Terlebih setelah kau tahu bahwa suamimu selalu ketakutan pada arwah perempuan yang mati dengan perut bunting itu. Suamimu selalu menjerit-jerit histeris begitu melihatmu secara tiba-tiba muncul ketika kau sedang hamil tua.
Suatu malam, tiba-tiba suamimu terbangun di tengah malam dan hampir meloncat dari jendela kamar. Suamimu bahkan berteriak histeris justru ketika kau hendak mendekatinya untuk mencegahnya meloncat dari jendela. Kau menarik lengan suamimu yang tengah melawan ketakutan. Kau sudah menduga, suamimu teringat pada kawan perempuannya yang mati dahulu. Kau mencoba bertahan dengan air mata bercucuran.
“Apakah kehamilanku mengingatkanmu pada arwah kawan perempuanmu?” tanyamu pada suamimu di suatu siang yang lengang.
Suamimu diam seolah memang tak mampu melupakan. Meski kau selalu mengatakan bahwa perempuan itu telah mati dan kau adalah istrinya yang jelas berbeda, namun suamimu masih saja ketakutan.
Kau sudah akan melahirkan anak, tapi suatu malam, suamimu tak ada di sebelahmu. Ia telah pergi meninggalkanmu dan entah memilih untuk menghabiskan tengah malam di mana. Ketika adzan subuh berkumandang, heranlah para jamaah shalat di masjid yang melihat suamimu terlelap di bawah pohon nangka belakang rumahmu.
Kesedihanmu bertambah panjang. Ia serupa butiran keringat yang menempel pada tubuhmu sendiri. Ketika kesedihan itu lenyap, detik kemudian akan muncul lagi. Begitu terus berulang-ulang. Hingga akhirnya anakmu kau lahirkan, kemudian tumbuh besar meski sering sakit-sakitan.
Benarkah kesedihan bisa luntur jika direndam? Betulkah kesedihan bisa hanyut bila sengaja dihanyutkan? Tanyamu pada suamimu ketika ia mengatakan hendak melakukan tirakat untuk membuang kesedihan. Kau telah lama mengenal kesedihan seperti kesedihan telah mengenalmu. Bagimu kesedihan akan terus berdatangan padamu meski kau telah membagi-baginya pada semua orang.
Tengah malam yang kosong. Terpaksa kau melepas kepergian suamimu ke sungai tempat ia ingin melakukan tirakat melunturkan dan menghanyutkan kesedihan. Tapi bagimu itu hanyalah suatu tindakan yang disengaja suamimu dengan maksud untuk menghindari perayaan pernikahan yang akan digelar tiga hari berturut-turut di dusun atas—dusun kawan perempuan suamimu yang mati bunting dahulu. Bukankah suamimu masih ketakutan pada arwahnya.
Kau yakin suamimu tak ingin diserang oleh ketakutan itu. Jadi, kau dan anakmu membiarkan saja semua perilaku suamimu. Bahkan, seakan masih ingin menjaga nama baik keluarga, justru anakmu sendirilah yang mengusulkan akan menghadiri perayaan pernikahan di dusun atas, menggantikan posisi suamimu yang masih ketakutan dan tak ingin dilanda kesedihan. Setidaknya jika ada tetangga dusun yang merayakan pernikahan, anakmu merasa harus datang untuk sekadar terlihat atau lebih bagus lagi jika memang bisa membantu sebisanya.
Seperti perayaan di dusun pada umumnya, kesibukan sudah mulai ada sejak beberapa malam sebelumnya. Sementara suamimu sudah pergi ke sungai, anakmu akan bersiap ke dusun atas esok harinya.
Rupanya siang itu telah memendam kesedihan bagimu. Hujan turun begitu hebat seperti sebuah tangisan. Tiada orang yang terlihat dari jangkauan pandangan. Dan kau baru sadar bahwa suamimu belum juga pulang sejak tengah malam. Meski kau telah merasakan hembusan kesedihan, namun kau masih ingin menahannya hingga hujan telah benar-benar reda. Kau sebenarnya telah menduga, ada banyak cara yang dilakukan kesedihan untuk menemuimu.
Kau mendapatkan kabar suamimu dari tetanggamu yang baru pulang dari berladang.
“Suamimu tak mau kuajak pulang tadi. Ia duduk bersandar di sebatang pohon jati pinggir sungai. Bahkan ia sama sekali tak menghiraukan ajakanku,” kata tetanggamu.
Seberat itukah ketakutan dan kesedihan yang menjerat suamimu hingga ia tak menghiraukan ajakan pulang tetanggamu meski awan kelam bergulung dan hujan turun deras serupa tangisan? Kau menggerutu menyesalkan perbuatan suamimu.
Di tepi sungai yang diapit oleh ratusan pohon jati, kau mengedarkan pandang untuk menemukan suamimu yang sedang bersandar. Ya. Kau memang menemukannya. Tubuh suamimu bersandar di sebatang pohon jati yang daun-daunnya mulai menghijau lebat oleh guyuran musim hujan. Kau terlihat tak kalah heran melihat tubuh suamimu yang kuyup oleh hujan. Benarkah ia sedang melakukan tirakat melunturkan kesedihan?
“Kau duduk bersandar di sebatang pohon jati selama hujan?” tanyamu sambil menepuk bahu suamimu.
Suamimu seketika kau rasakan tak sekokoh biasanya. Begitu kau tepuk bahu suamimu, ia seketika terjatuh ke samping. Kau mengamati tubuh suamimu yang telah kaku. Barulah kau menyadari bahwa kesedihan tengah memelukmu. Air matamu tampak berlinangan ketika kau memikirkan bahwa kau harus segera menyiapkan sebuah upacara pemakaman.
Senja itu, pemakaman ingin segera kau tuntaskan. Kau tak ingin menunda-nunda kesedihan yang sudah semestinya segera melayang. Namun kau juga menyadari bahwa anak lelakimu belum juga pulang. Beberapa tetangga yang kau mintai tolong untuk mengabarkan kematian pada anak lelakimu pulang dengan tangan kosong. Mereka tak mampu menemukan anak lelakimu di perayaan pernikahan.
Kau sedih bercampur geram. Langkahmu terengah-engah bercampur isak tangis yang tak padam. Kau berniat mencari sendiri anak lelakimu yang belum juga pulang. Meski sesampainya di perayaan pernikahan, kau juga sama sekali tak menemukan.
“Anakmu tadi menawarkan diri mau mencarikan daun jati untuk kebutuhan perayaan pernikahan, tapi sampai sekarang ia tak kembali. Dia pergi seorang diri. Tentu saja semua orang yang ada di sini tak tahu kemana ia memetik daun jati,” kata juru masak perayaan yang kau temui.
Saat itulah kau menyadari bahwa kutukan kesedihan masih akan berlanjut. Kau mencari anak lelakimu kemana saja semaumu. Kau pergi ke lereng yang ditumbuhi oleh ratusan pohon jati, kemudian kau menyusuri bebukitan tandus yang kini juga telah menghijau oleh lebatnya daun-daun jati. Kau tak tahu kemalangan apa yang tengah menimpa anak lelakimu. Yang kau tahu hanyalah kesedihan kini tengah mengintaimu dan bersiap akan menyergapmu kembali.
Barulah kau mengetahui apa yang terjadi ketika kau berada di hilir sungai yang berbatasan dengan dusun atas. Para tetanggamu yang sedari tadi mengikutimu saat itu sedang duduk menghela napas ketika seorang anak kecil yang berada dalam gendongan salah satu tetanggamu menunjuk pada aliran sungai.
“Ambilkan karung itu, Pak. Aku mau main lompat karung!” kata anak kecil itu sambil menunjuk-nunjuk gelembung karung yang mengapung di tengah aliran sungai yang tenang.
Karung itu tentu saja susah diambil karena telah mengapung sampai tengah sungai yang lebarnya empat meter. Kecuali jika kau benar-benar ingin mengambilnya setelah kau menyadari bahwa benda itu sebenarnya bukanlah karung, melainkan tubuh anak lelakimu yang terapung.
Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta, 13 November 1987. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpen-cerpennya termuat dalam beberapa antologi bersama, Rendezvous di Tepi Serayu (2009) yang diselenggarakan oleh STAIN Purwokerto, Antologi Peraih Anugerah Golden Award (2010) yang diselenggarakan oleh PT Rohto Laboratories Indonesia dan Rayakultura, Lelaki yang Dibeli (2011) yang diselenggarakan oleh STAIN Purwokerto.