NTT Atasi Kemiskinan dengan Prukades dan Ubah Pola Pikir Generasi Muda
›
NTT Atasi Kemiskinan dengan...
Iklan
NTT Atasi Kemiskinan dengan Prukades dan Ubah Pola Pikir Generasi Muda
Provinsi Nusa Tenggara Timur menghadapi tantangan rendahnya kualitas lapangan kerja dan produktivitas tenaga kerja. Dibutuhkan perubahan pola pikir generasi muda untuk mengatasi persoalan itu.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Provinsi Nusa Tenggara Timur menghadapi tantangan rendahnya kualitas lapangan kerja dan produktivitas tenaga kerja. Dibutuhkan perubahan pola pikir generasi muda untuk mengatasi persoalan itu.
Upaya itu dibarengi dengan Program Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades). Setiap daerah akan dibentuk kluster berbasis produk unggulan desa.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Josef Nae Soi mengatakan, kendati angka pengangguran di NTT kecil, produktivitas pekerja masih rendah. Mayoritas penduduk bekerja di sektor informal dan dibayar dengan upah kecil.
Salah satu penyebabnya karena ketiadaan industri berskala besar di NTT. ”Tugas utama pemerintah daerah bukan mengubah jenis pekerjaan, melainkan mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih baik,” kata Josef dalam salah satu sesi Forum Pembangunan Indonesia (Indonesia Development Forum/IDF) 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (23/7/2019)
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, angkatan kerja di NTT pada Februari 2019 sebanyak 2,54 juta orang, sementara yang bekerja 2,46 juta orang. Dari jumlah itu, 1,85 juta orang bekerja di sektor informal (75,38 persen) dan 610.000 orang bekerja di sektor formal (24,62 persen).
Generasi muda, kata Josef, didorong berwirausaha selagi industri besar belum ada. Mereka bisa memanfaatkan lahan milik warga adat yang tidak produktif.
”Namun, pekerjaan sebagai petani dan peternak masih dianggap sebelah mata. Generasi muda malu dan gengsi, apalagi mereka yang lulusan sarjana,” ujarnya.
Generasi muda didorong berwirausaha selagi industri besar belum ada. Namun, pekerjaan sebagai petani dan peternak masih dianggap sebelah mata.
Josef mengatakan, pola pikir generasi muda NTT diubah secara bertahap. Selain memperbaiki pendidikan vokasi, pemerintah memfasilitasi mereka yang berminat di bidang pertanian dan peternakan.
Tahun ini ada 10 orang asli NTT yang diberangkatkan ke Melbourne, Australia, untuk belajar memotong dan memelihara sapi.
”Anak-anak muda dipersiapkan dengan sekolah vokasi atau dikirim ke luar negeri. Tujuannya, mengubah pola pikir bahwa bertani itu tidak kalah terhormat daripada menjadi PNS,” kara Josef.
Selain pola pikir, menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia Eko Putro Sandjojo, model bisnis pengembangan ekonomi daerah miskin harus diubah. Salah satu penyebab kemiskinan sulit teratasi karena fokus pengembangan daerah terlalu banyak, sementara keahlian tenaga kerja kurang.
Masalah itu berupaya diatasi dengan Prukades melalui pembentukan kluster berbasis produk unggulan desa. Pengembangan produk unggulan dihubungkan dengan pelaku usaha dan perbankan. Sejauh ini ada 343 Prukades dengan nilai investasi mencapai Rp 41 triliun di 148 kabupaten.
”Model bisnis ini menciptakan efisiensi ekonomi sehingga meningkatkan pendapatan penduduk. Swasta dilibatkan dalam pendampingan,” kata Eko.
Aleta Baun, tokoh masyarakat yang juga peraih penghargaan lingkungan Goldman Environment Award, mengemukakan, pembangunan daerah di NTT sangat terkait tanah, air, dan hutan. Saat ini masih ada beberapa pembangunan daerah yang sifatnya eksklusif dan hanya menguntungkan orang-orang tertentu.
Pembangunan daerah yang eksklusif, misalnya, terjadi di bidang pertanian. Keuntungan atas produksi sejumlah komoditas dikuasai segelintir orang. Warga desa tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan program. Mereka yang tidak bisa membaca dan menulis juga semakin ditinggalkan dan tenggelam dalam kemiskinan.
Pembangunan daerah yang eksklusif, misalnya, terjadi di bidang pertanian. Keuntungan atas produksi sejumlah komoditas dikuasai segelintir orang.
”Ke depan pembangunan harus inklusif. Rakyat punya partisipasi membangun daerah sendiri, pemerintah tidak bisa membangun tanpa dukungan rakyat,” ujar Aleta.
Salah satu contoh konkret pembangunan inklusif dilakukan Timor Moringa Organik Indonesia Field School. Bisnis sosial ini memberi pelatihan dan pendampingan berkala kepada penduduk untuk mengolah daun kelor menjadi bahan dasar obat herbal. Penduduk NTT diajak terlibat dalam budidaya hingga pengolahan pascapanen.
Meybi Agnesya Lomanledo, Co-founder Timor Moringa Organik Indonesia Field School, mengatakan, hasil olahan dari penduduk NTT dibeli untuk diolah kembali menjadi produk herbal. Proses bisnis yang berkesinambungan ini diharapkan mampu meningkatkan pemasukan warga karena kualitas lapangan kerja lebih baik.