Di Meja Kerjanya, Tenggelam ke Masa Lalu
Berulangkali, Pater Heuken menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat yang sering abai membongkar bangunan bersejarah. Bahkan, mengubah infrastruktur lama yang menurut Pater Heuken sudah sempurna.
”Saya bingung, buku-buku ini akan saya wariskan kepada siapa kalau saya dipanggil,” kata Pater Adolf Heuken SJ saat penulis temui di kamar kerjanya pada suatu hari tahun 2018.
Apakah setelah beliau dipanggil Tuhan, Kamis (25/7/2019) pukul 20.27 di Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta Pusat, sudah ditemukan ahli waris buku-bukunya yang tak ternilai harganya bagi sejarah Jakarta tersebut atau belum.
Kami bisa berjam-jam tenggelam di ruang kerjanya, berbincang tentang sejarah Jakarta sambil membongkar-bongkar buku koleksinya dari minimal empat bahasa, serta sejumlah dokumen lainnya yang sebagian ia simpan di komputer. Dalam bincang-bincang itu, saya lebih sering menampung kemarahan, kegelisahan, dan kekecewaannya.
Berulang kali Pater Heuken menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat yang sering abai membongkar bangunan bersejarah, bahkan mengubah infrastruktur lama yang menurut Pater Heuken, sudah sempurna.
Karena rumah, sekaligus perpustakaan pribadi, dan kantornya ada di kawasan Menteng, Pater Heuken tahu benar bagaimana perkembangan perubahan taman kota pertama di Batavia (Jakarta) tersebut.
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/07/video-adolf-heuken1.mp4"][/video]
”Sebagian orang-orang kaya di Menteng sekarang tidak mau peduli terhadap arsitektur rumah dan lingkungannya. Yang penting duit dan gengsi. Lupa bahwa rumahnya, lingkungannya, mencerminkan tingkat keterpelajaran penghuninya,” ujarnya suatu saat pada 2011.
Sebagian orang-orang kaya di Menteng sekarang tidak mau peduli terhadap arsitektur rumah dan lingkungannya. Yang penting duit dan gengsi. Lupa bahwa rumahnya, lingkungannya, mencerminkan tingkat keterpelajaran penghuninya.
Ia kemudian membuka sejumlah buku sejarah dari bermacam bahasa di atas meja kerjanya. Tenggelamlah kami ke masa lalu Batavia.
Hal seperti itu sering terjadi. Dengan lancar ia bercerita tentang bermacam tempat ibadah, gedung megah, serta infrastruktur jalan dan pengairan di Jakarta, seperti yang sudah ia tulis dalam sejumlah bukunya, sembari mengoreksi buku-buku serupa yang ia nilai belum layak menjadi buku penuntun.
”Buku-buku tersebut sering mengutip ucapan orang tanpa landasan catatan sejarah yang relatif obyektif,” keluh Pater Heuken.
Kenangan terindah
Hadiah berharga dari Pater Heuken kepada penulis adalah ketika ia menyatakan bahwa naskah Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi, yang saya tulis, layak terbit. Hati saya berbunga-bunga. Betapa tidak, beliau sangat teliti memeriksa naskah buku saya. Sekitar tiga bulan naskah ada di tangan beliau.
Benar saja, saat naskah saya serahkan kepada penerbit, sepekan setelah diperiksa penyunting, tak satu kata pun dikoreksi. Editor hanya meminta penulis memperkaya naskah dengan bermacam kuliner Betawi.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/07/video-adolf-heuken2.mp4"][/video]
Sembari mengoreksi buku saya, beliau bercerita tentang sejarah Jakarta. Bahkan, Pater Heuken mengkritik tajam penetapan HUT Jakarta yang latar belakang penetapannya dinilai mengada-ada.
Tak jarang karena kesal, ia memukul-mukul meja kerjanya sambil mengumpat dalam bahasa Belanda. Apalagi jika menyangkut aturan main yang centang perenang tumpang tindih dan kebijakan sewenang-wenang para petinggi.
”Saat mau membongkar atau merenovasi bangunan bersejarah, mereka menemui dan berdiskusi dengan saya. Tetapi, saat saya ke lokasi, apa yang mereka janjikan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Itu yang membuat saya kesal,” tandas Pater Heuken.
Saat mau membongkar atau merenovasi bangunan bersejarah, mereka menemui dan berdiskusi dengan saya. Tetapi, saat saya ke lokasi, apa yang mereka janjikan, tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Itu yang membuat saya kesal.
Keras
Meski relatif dekat dengan penulis, beliau dikenal berdisiplin keras. Pernah satu hari saya mengingatkan kawan wartawan agar tepat waktu datang ke rumah beliau.
Kawan tersebut abai. Dia terlambat tiga menit dari janji wawancara. Pater Heuken tidak mau menemui dan minta sekretarisnya menjumpai kawan saya dan membuat janji baru lagi untuk wawancara. Dari situ kawan saya belajar banyak tentang arti disiplin waktu.
”Kalau saya enggak pernah ketemu pastor galak itu, saya enggak akan jadi seperti sekarang. Cuman telat tiga menit, Bang. Tiga menit doang. Gila bener disiplinnya tu Pastor. Ampun Bang,” kata Danny Putra, yang sekarang menjadi produser salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Kalau saya enggak pernah ketemu pastor galak itu, saya enggak akan jadi seperti sekarang. Cuman telat tiga menit Bang. Tiga menit doang. Gila bener disiplinnya tuh pastor. Ampun Bang.
Pengamatan penulis, yang ”ilmu”-nya sudah sekelas Pater Heuken adalah Prof Otto, Guru Besar Arkeologi UI. Watak, sikap, pandangan, dan wawasannya sama. Sama kerasnya, sama dinginnya, sama-sama mudah meletup saat penjelasannya dikomentari atau dibantah lawan bicara yang ilmu, wawasan, dan riset-risetnya masih minim.
Penulis termasuk salah seorang yang pernah kena ”semprot” Pater Heuken dan Prof Otto pada awal perkenalan dengan mereka.
Sedikit-sedikit mereka membongkar beberapa buku dari rak buku, membukanya di meja, lalu berkata, ”Ada tidak keterangan Anda di buku ini? Mana buku yang keterangannya Anda kutip?”
Baca juga: Adolf Heuken SJ, Kamus Berjalan Kota Jakarta
Kepergian Pater Heuken membuat Jakarta kehilangan lagi ”sebutir mutiara”-nya. Sejatinya, ia bukan pakar sejarah Jakarta, melainkan pemerhati dan penulis buku-buku populer tentang sejarah Jakarta. Meski demikian, pengetahuan dan wawasannya telah melampaui para pakar sejarah Jakarta karena ketekunan, kegigihan, dan ketelitiannya mengungkap sejarah.
Kepergian Pater Heuken membuat Jakarta kehilangan lagi ’sebutir mutiara’-nya. Sejatinya, ia bukan pakar sejarah Jakarta, melainkan pemerhati dan penulis buku-buku populer tentang sejarah Jakarta. Meski demikian, pengetahuan dan wawasannya telah melampaui para pakar sejarah Jakarta karena ketekunan, kegigihan, dan ketelitiannya mengungkap sejarah.
Pater Heuken seolah memberi pesan, siapa pun bisa menguasai bidang yang ia tekuni asal tekun, cermat, dan gigih. Seperti halnya sebagian petani yang lebih piawai memahami cuaca setelah puluhan tahun berkubang di sawah ketimbang seorang guru besar bidang pertanian memahami perubahan cuaca.
Selamat jalan Pater Heuken...
WINDORO ADI, Wartawan Kompas 1992-2019