Kinerja Turun, Industri Sawit Perlu Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi
›
Kinerja Turun, Industri Sawit ...
Iklan
Kinerja Turun, Industri Sawit Perlu Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi
Peningkatan produktivitas, efisiensi, dan hilirisasi menjadi jalan keluar mengatasi kinerja industri sawit yang menurun setahun belakangan akibat harga yang anjlok. Harga minyak sawit mentah dunia yang diterima pengusaha hanya sekitar 460 dollar AS, hampir sama dengan biaya produksi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Peningkatan produktivitas, efisiensi, dan hilirisasi menjadi jalan keluar mengatasi kinerja industri sawit yang menurun setahun belakangan akibat harga yang anjlok. Harga minyak sawit mentah dunia yang diterima pengusaha hanya sekitar 460 dollar AS, hampir sama dengan biaya produksi.
”Pengusaha besar, menengah, dan petani kecil pasti merasakan betapa beratnya kondisi yang kita alami dalam beberapa waktu belakangan ini. Industri sawit bisa bertahan jika mempunyai produktivitas dan efisiensi yang baik,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono dalam Indonesian Palm Oil Stakeholder Forum yang ke-4, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (25/7/2019).
Joko mengatakan, kinerja industri sawit Indonesia dalam setahun belakangan menurun akibat harga minyak sawit mentah (CPO) yang anjlok di pasar dunia. Di bursa Rotterdam, harga CPO sudah 490 dollar AS per ton. Harga yang diterima pelaku usaha di Indonesia pun hanya sekitar 460 dollar AS per ton. Harga itu jauh di bawah harga yang pernah dinikmati pengusaha beberapa tahun lalu, di atas 700 dollar AS per ton.
Di tingkat petani, harga tandan buah segar (TBS) anjlok hingga Rp 800 per kilogram. Rendahnya harga sawit ini, kata Joko, kemungkinan akan tetap bertahan dalam beberapa tahun ke depan. Kondisi itu pun menjadi ancaman bagi kelangsungan industri sawit nasional.
”Saya yakin tidak banyak pelaku usaha yang mempunyai biaya produksi CPO di bawah 460 dollar AS per ton. Para petani juga tidak banyak yang bisa menekan biaya produksi TBS di bawah Rp 1.000 per kilogram. Biaya produksi terus naik, sementara harga turun,” ungkap Joko.
Joko mengatakan, produksi CPO Indonesia pada 2018 sebesar 43 juta ton dengan produktivitas rata-rata 4 ton CPO per hektar per tahun. Produktivitas itu sangat jauh, di bawah potensi 7 ton CPO per hektar per tahun. Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan peremajaan sawit rakyat.
Joko menambahkan, pemerintah juga mempunyai tugas berat untuk mendorong hilirisasi industri sawit di dalam negeri. Salah satu potensi penyerapan CPO dengan memaksimalkan program biodiesel.
Melalui program wajib pencampuran 20 persen biodiesel ke biosolar (B20) pada 2018, konsumsi biodiesel dalam negeri mencapai 4,2 juta ton atau sekitar 10 persen dari produksi CPO Indonesia tahun 2018. Peluang meningkatkan konsumsi biodiesel di dalam negeri masih sangat besar.
Joko juga mengingatkan, industri sawit Indonesia masih akan menghadapi hambatan perdagangan di pasar dunia, khususnya di pasar Eropa. Karena itu, pemerintah dan pelaku usaha harus bersama-sama menghadapi kampanye negatif terhadap sawit.
Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari Arifin Lambaga mengatakan, penerapan industri berkelanjutan harus dilakukan untuk menjawab permintaan pasar. Indonesia pun sudah punya modal karena sudah punya sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). PT Mutuagung merupakan salah satu lembaga sertifikasi ISPO.
”Akan tetapi, kebun sawit yang telah disertifikasi di Indonesia hingga kini masih 4,1 juta hektar atau 29,3 persen dari total 14,03 juta hektar kebun di Indonesia,” kata Arifin.
Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting mengatakan, pemerintah akan terus mendukung industri sawit karena lebih dari 17 juta keluarga di Indonesia hidup dari sawit.