Pater Adolf Heuken SJ: Saya Tidak Ada Harapan (terhadap Jakarta)
Rohaniwan cum sejarawan Adolf Heuken SJ (1929-2019) memiliki hidup penuh warna dari masa Perang Dunia II di Jerman hingga mengabdikan hidup sebagai rohaniwan di Jakarta. Apa kata Pater Heuken tentang Jakarta?
Rohaniwan cum sejarawan Adolf Heuken SJ (1929-2019) memiliki hidup penuh warna, dari masa Perang Dunia II di Jerman hingga mengabdikan hidup sebagai rohaniwan yang justru dikenang karena karyanya, seri buku sejarah Jakarta. Adolf Heuken SJ mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit St Carolus, Kamis (25/7/2019) malam, setelah dirawat sejak 30 Juni 2019.
Sebagai warga Jakarta, selain buku Historical Sites of Jakarta, dia juga menulis buku Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Menteng ”Kota Taman” Pertama di Indonesia, dan Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid I dan Jilid II.
Bagaimana Jakarta menurut Pater Adolf Heuken SJ? Wartawan Kompas, St Sularto dan Dody Wisnu Pribadi, pernah mewawancarainya pada Rabu (6/2/2002) di kediaman Pater Heuken, sebuah rumah mungil khas Menteng buatan tahun 1934, di Jalan Mohamad Yamin 37, Jakarta.
Pernahkah Anda meramalkan banjir besar yang beberapa hari kemarin terjadi di Jakarta?
Saya sudah sering mengalami kebanjiran di Jakarta. Tapi, banjir kali ini sebenarnya banjir yang tidak perlu terjadi. Orang membuang sampah di mana-mana. Kali tidak pernah dibersihkan, padahal selalu diingatkan jangan buang sampah ke got atau ke kali.
Perlu penegakan peraturan hukum?
Ya. Peraturan tidak terlalu jelek. Peraturannya cukup baik, tapi tidak ada guna karena tidak dijalankan.
Sekarang sudah telanjur?
Terlambat. Pembangunan tak terencana dan tak terawasi. Hotel banyak bikin tanah tertutup. Tanah terbuka hanya untuk parkir. Kalau air datang, mau ke mana mereka? Juga, mungkin saja disebabkan sebelah selatan (maksudnya: Bogor dan Puncak), misalnya pembangunan real estat besar-besaran, tanpa pikir dampak panjangnya.
Kecerobohan pemerintah?
Rakyat juga bego. Tapi, pemerintah yang mestinya tahu. Banjir memang sesuatu yang tidak dapat dihindari. Tapi, banjir yang sehebat ini sebenarnya banjir yang tidak perlu.
Baca Juga: Adolf Heuken, dari Luftwaffe ke Buku Sejarah Jakarta
Banjir terjadi di mana-mana. Singapura yang dulu laut, yang lebih rendah dari Jakarta, tapi di sana banjir bisa diatasi dan dibikin beres. Di Belanda, hujan bisa berlangsung terus-menerus, siang malam. Tapi air bisa diatur, dengan rencana dan peraturan.
Dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa, jangan-jangan daya dukung alam Jakarta sudah tak mampu?
Ada kota dengan penduduk 20 juta lebih. Sanghai, Tokyo, Sao Paulo. Menurut saya, ini hanya soal pengaturan. Di sini orang setiap hari hanya mikir bagaimana caranya dapat duit tanpa kerja. Coba pergi ke kantor-kantor pemerintah. Sangat menyebalkan. Saya berusaha tidak berurusan dengan kantor pemerintah.
Soal banjir kemarin, menurut saya, ini bukan bencana. Di Jerman, pada 1960-an ada banjir besar sebab ada topan dari kutub utara yang membawa air masuk ke sungai. Terjadi banjir besar. Di Jakarta sebaliknya. Dengan hujan yang cuma seperti ini, seharusnya tidak perlu ada banjir. Paling-paling sungai penuh air.
Di Swiss, kalau ada salju meleleh, permukaan Sungai Rheine naik. Orang di kanan dan kiri sungai sudah tahu. Mereka sudah siap. Tiga sampai empat tahun dibenahi, beres. Rakyat siap, tetapi terutama pemerintah yang harus melakukannya.
Pengaturan air seharusnya dipikirkan bersamaan dengan membangun jalan, plaza, dan sebagainya. Kenapa semua dibangun jalan dan jembatan? Karena rakus. Pengusaha juga rakus. Kalau ada tanah kosong, mereka melotot. Contohnya kuburan di Blok P, Kebayoran, itu. Kuburan dibongkar, di atasnya didirikan bangunan. Bukan soal kuburannya, melainkan soal harus ada tanah untuk meresapkan air.
Kuburan pun berfungsi ke sana. Di Jakarta ini, mati pun tidak aman. Sebentar lagi Menteng Pulo akan habis juga.
Anda sangat merisaukan hancurnya gedung-gedung tua di Jakarta. Mengapa Menteng menjadi kasus utama?
Sebenarnya di Menteng ini sudah ada aturan yang jelas. Aturan itu berubah. Tak ada lagi tanah terbuka. Akibatnya, air hujan tak ada yang meresap, semua mengalir. Ini tindakan yang salah. Kenapa diizinkan? Karena uang.
Kenapa diizinkan? Karena uang.
Warga-warga baru membuat rumah baru di Menteng. Norak. Mungkin cocok untuk Pondok Indah, tidak ada gaya. Memang mewah. Tapi, mereka tidak punya selera apa pun. Baju yang mahal, tapi tidak cocok. Banyak rumah seperti itu. Tidak saja dari segi arsitektur, tetapi juga dari segi lingkungan. Karena air mengalir semua ke jalan. Tidak ada yang tertahan di dalam tanah. Tidak ada yang bisa diserap satu tetes pun.
Menteng adalah kota taman pertama di Indonesia yang direncanakan Belanda. Pada tahun 1912, pertama kali jalan direncanakan. Ada ketentuan rumah induk tak boleh nempel, harus sekian meter dari jalan, rumah tidak boleh dibangun gila-gilaan. Untuk perluasan kota dari wilayah Lapangan Merdeka, pemerintah Kota Praja (masa itu) membeli tanah dua kaveling.
Mengapa Anda mencintai Jakarta?
Saya sudah 40 tahun tinggal di Jakarta. Mau ke mana lagi? Pada tahun 60-an saya datang ke sini, tahun 1963 tinggal di Mangga Besar, lalu di Gunung Sahari, dan sudah lebih dari 30 tahun di rumah ini.
Menulis tentang Jakarta masa lalu sebenarnya kelanjutan saja. Saya memulai penelitian dengan gereja-gereja kuno. Tapi, saya pun mengerjakan tulisan tentang masjid kuno, tentang klenteng pun sudah ada, bahkan sudah cetak ulang. Ada tiga buku mengenai tiga macam rumah peribadatan. Ini (menunjuk berkas-berkas bahan garapan buku), bahan-bahan penuh informasi ini ada di sini.
Saya sudah 40 tahun tinggal di Jakarta. Mau ke mana lagi?
Biasanya Anda menulis sendirian, tetapi buku Menteng ini ditulis bersama Grace Pamungkas.
Dia seorang arsitek. Dia tahu betul soal arsitektur rumah-rumah di Menteng, sedangkan saya melihatnya dari segi sejarah. Saya sudah lebih dari 40 tahun di Jakarta, 30 tahun di antaranya di Menteng. Jadi saya ingat betul tata letaknya, kenapa ada di sini, bagaimana tentang itu, berikut bahan-bahan tertulis yang ada. Saya sudah tulis tiga buku tentang Menteng.
Menteng sudah rusak 60 persen. Kerusakan itu masih berlangsung terus sampai hari ini. Menteng tidak memiliki kekhasan. Tinggal di Pondok Indah atau di Menteng, sama saja. Orang tinggal di Jakarta di mana saja, sama. Nothing special. Gedung-gedung sama saja. Tak ada kekhasan.
Banjir? Peduli amat. Jorok? Peduli amat. Polusi? Peduli amat. Tidak peduli bukan hanya terhadap gedung, juga terhadap lingkungan. Pohon-pohon besar dipotong. Tidak ada yang melarang. Sekarang Jakarta panas. Orang datang ke Menteng karena Menteng agak hijau.
Baca Juga: Adolf Heuken, Kamus Berjalan Kota Jakarta
Tetapi, di Menteng sekarang, orang juga tidak peduli. Asal saya tinggal di Menteng, saya masih untung daripada orang lain. Saya mau punya 10 mobil, membuat garasi di bawah tanah. Tidak peduli. Makin umum di sini orang membikin garasi di bawah tanah. Mengapa? Karena ada larangan tinggi rumah, di mana rumah hanya bisa dibangun sampai tingkat dua, orang bikin basement.
Nah, kita lihat orang bikin rumah, tinggi temboknya 15 meter di perbatasannya. Ini membuat orang seberang tidak bisa bernapas, tidak ada matahari. Pengap. Padahal, menurut peraturan, maksimal tingginya tujuh meter. Saya ketemu banyak orang berbuat begitu. Jahat, benar-benar jahat. Ini bukan hanya merusak, tapi jahat, karena ambil matahari, ambil udara.
Adakah pejabat yang peduli soal itu?
Hanya Ali Sadikin. Soerjadi Sudirdja agak baik. Ali Sadikin membuat rencana Kota Jakarta. Jalan, jembatan, banjir kanal. Peraturan ditegakkan. Saya ingat, pada tahun 1960-an saya sering pergi ke Bandung. Bandung lebih segar dan lebih hijau. Setelah di Jakarta ada Ali Sadikin, saya tidak mau ke Bandung lagi. Bandung semrawut, kacau. Sadikin bikin sesuatu. Ada perbaikan-perbaikan.
Tidak ada harapan lagi?
Saya tidak ada harapan. Nothing else.
Saya tidak ada harapan. Nothing else.
Anda pernah membicarakan keprihatinan ini?
Dalam seminar tentang Menteng beberapa kali. Tapi, saya punya kesan, banyak orang putus asa. Pengaruh uang begitu ketat. Peraturan tidak laku, hukuman tidak laku. Agama juga tidak laku....
Saya benar-benar tidak menemukan jalan keluar. Coba, di manakah bisa ditemukan kelompok orang yang cukup muda, cukup punya visi dan integritas? Reformasi membawa sedikit harapan. Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Tapi pintar yang jujur?
Di lingkungan pendidikan dan kebudayaan, misalnya, kalau di sekolah datang seorang penilik, dia minta duit. Yayasan harus mencari duit. Dari mana? Dari anak. Jadi, sekecil itu anak sudah belajar: saya tidak akan naik kalau tidak bayar duit. Dari SD sudah tahu itu.
Bagaimana gambaran Anda tentang negara kita ini?
Saya melihatnya, meski kacau begini, masih cukup teratur. Banyak orang masih jalan normal, pom bensin ada, orang bisa jalan. Ada kejahatan, tapi dibanding kota lain yang besar, kriminalitas naik, tapi dalam hal hidup masih lumayan. Masih jalan. Ini yang kadang- kadang membuat saya heran.
Saya sudah merasakan apatisme sosial ini 20-30 tahun lalu. Saya sudah tulis buku tentang keagamaan, pembinaan diri. Saya tulis buku tentang masalah sosial, dan masalah sosial tidak laku.
Saya tanya sebabnya. Mereka jawab kita tidak bisa buat apa-apa dengan masalah sosial. Saya bisa buat sesuatu untuk diri sendiri, saya bisa buat sesuatu untuk keluarga, tetapi saya tidak bisa buat sesuatu untuk sosial, untuk masyarakat.
Sudah lama ada semacam pikiran di masyarakat: korupsi terlalu kuat, tentara terlalu kuat, kita jaga diri dan keluarga. Ini berbahaya. Tapi, saya bisa mengerti kalau orang setiap hari mesti mengurus ini bayar, itu bayar. Jadi ya... cari selamat sendiri saja.
Bagaimana cara dan jadwal kerja Anda?
Saya duduk mulai pukul 07.30 sampai pukul 14.00, lalu tidur sampai pukul empat sore. Kegiatan itu dilanjutkan sampai pukul delapan malam. Dilanjutkan lagi sampai tengah malam. Olahraga saya hanya berenang.
Kuliah tidak lagi saya lakukan, dulu mengajar etika di Unika Atma Jaya, dan segala jabatan ini dan itu sudah saya stop semua. Selain menulis, aktivitas saya hanya di paroki sebagai pastor.
Bahan begitu banyak, bagaimana Anda merisetnya?
Saya punya banyak buku (menunjukkan rak-rak penuh buku). Ini adalah perpustakaan. Baru kalau di sini tak ada, saya cari di tempat lain.
Baca Juga: Di Meja Kerja Pater Heuken, Kembali ke Masa Lalu
Cara mengorganisasi bahan?
Saya baca salah satu bidang selama waktu tertentu. Saya membuat catatan, dan saya ingat ketika saya menulis, hal itu ada di halaman dan buku tertentu. Saya menulis dengan bolpoin ini (menunjukkan bolpoin murahan, mengingatkan cara kerja almarhum Prof Zoetmulder yang biasa menulis dengan bolpoin). Ada orang lain yang mengetik apa yang saya tulis ini.
Saya memakai bermacam-macam sumber, berasal dari tujuh bahasa yang saya kuasai, Jerman, Indonesia, Belanda, Inggris, Perancis, Latin, dan Jawa. Untuk Sanskerta, saya cari orang, kemudian saya cek ulang dengan kamus.
Beberapa judul sering saya tulis sekaligus, tetapi kadang-kadang satu macet karena bahannya kurang.
Anda baca semua bahan sampai habis?
Saya baca cepat dua tiga hari sambil membuat catatan-catatan. Lewat catatan, saya tahu soal ini di halaman berapa di mana.
Satu buku saya catat tidak hanya untuk satu tujuan penulisan buku, tetapi tujuan penulisan lain. Lain kali saya perlu tinggal baca catatan. Kalau semua dibaca satu per satu, dua tiga jam tidak akan ketemu. Saya juga membuat keliping, memberi tanda pada koran, minta tolong Ibu Lili (salah satu stafnya) untuk mengerjakan ini.
Ada pengalaman dengan komentar pembaca?
Pada masalah sejarah, saya ketat dengan fakta. Ada saja orang datang menyangkal buku saya. Sejarah itu fakta, bukan dongeng. Saya tanya kamu percaya buku ini benar? Dia bilang percaya. Saya bilang sejarah bukan soal percaya atau tidak percaya, melainkan soal fakta yang tergali. Bukumu itu penuh dongeng, kalaupun ada faktanya, harus cari bukti. Dia jawab ya, tapi mungkin benar.
Saya jawab, ya, tapi mungkin juga salah. Mereka tidak bisa bedakan bagus dengan benar. Fakta yang bagus belum tentu benar. Yang kita cari fakta yang benar meskipun tidak bagus.
Yang kita cari fakta yang benar meskipun tidak bagus.
Ada sejarah, tetapi diselubungi cerita. Misalnya, tembok Jayakarta digempur dengan meriam yang diisi dengan uang. Pasukan Jayakarta keluar untuk mengambil uang, lalu ditembak dengan peluru benaran. Itu tidak mungkin. Belanda tidak akan menggunakan uang untuk diisikan ke meriam. Uang untuk diisikan ke saku.
Yang benar Pangeran Jayakarta itu mata duitan. Lalu Belanda kasih dia duit sehingga Belanda bisa menduduki Jayakarta. Jayakarta terlalu rakus, ia terima uang dari Belanda, ia terima uang dari Inggris. Banten sebagai atasannya jadi marah.
Anda sampai mengejar ke sumber aslinya?
Ya. Buku ini lengkap sampai dokumen yang terakhir (menunjukkan buku tiga jilid buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta).