Pemerintah Perlu Dukung Praktik Migrasi Sehat dan Murah
›
Pemerintah Perlu Dukung...
Iklan
Pemerintah Perlu Dukung Praktik Migrasi Sehat dan Murah
Pemerintah perlu mengawasi biaya pemberangkatan pekerja migran. Implementasinya di lapangan diduga melebihi kemampuan pekerja. Salah satu penyebab mahalnya biaya keberangkatan adalah masih ada pungutan \'liar\'.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu mengawasi pelaksanaan pembebanan struktur pembiayaan komponen pemberangkatan pekerja migran Indonesia. Implementasi pembebanan di lapangan diduga melebihi kemampuan pekerja.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Kamis (25/7/2019), di Jakarta, berpendapat, salah satu penyebab mahalnya biaya keberangkatan adalah masih ada pungutan liar yang dibebankan kepada pekerja migran Indonesia. Kondisi ini tidak hanya dialami pekerja migran sektor domestik, tetapi juga sektor perikanan.
Pemerintah sebenarnya memiliki peraturan setingkat Menteri Ketenagakerjaan yang mengatur struktur komponen biaya keberangkatan ke sejumlah negara tujuan yang disertai harga patokan. Praktik pungutan liar biasanya dilakukan oleh agen perekrut, perusahaan penempatan swasta, dan calo.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) merombak peran perusahaan penempatan. Mereka hanya diperbolehkan mencari peluang kerja, menempatkan, dan menyelesaikan permasalahan pekerja migran yang ditempatkan. Permenaker ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
”Pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan itu. Hal yang harus dipangkas adalah praktik migrasi mahal,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, upaya pemerintah mendorong praktik migrasi sehat dan berbiaya murah belum maksimal. Kehadiran kredit usaha rakyat khusus pekerja migran seharusnya diarahkan untuk mendukung perkembangan wirausaha produktif pekerja migran dan keluarganya, bukan membantu mendanai keberangkatan.
Pendapat senada dia tujukan kepada arahan pemerintah mengembangkan koperasi di desa asal pekerja. Koperasi semestinya menjadi fasilitas pendukung penciptaan wirausaha produktif.
Upaya pemerintah mendorong praktik migrasi sehat dan berbiaya murah belum maksimal.
Sehari sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan meresmikan pembentukan empat koperasi pekerja migran di Provinsi Jawa Timur. Keempat koperasi itu adalah Koperasi Margo Makmur, Koperasi Perhimpunan Tenaga Kerja Indonesia, Koperasi Rumah Migran Berkarya Kediri, dan Koperasi Rumah Migran Berkarya Jenggirat Tangi.
Koperasi Margo Makmur dan Koperasi Perhimpunan Tenaga Kerja Indonesia berlokasi di Blitar. Koperasi Rumah Migran Berkarya Kediri terletak di Kediri. Adapun Koperasi Rumah Migran Berkarya Jenggirat Tangi berada di Banyuwangi.Peresmian pembentukan koperasi dilakukan oleh Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Eva Trisiana.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Soes Hindharno, saat dikonfirmasi, mengatakan, empat koperasi itu bergerak di simpan-pinjam. Pembentukannya diinisiasi oleh pekerja migran dan anggota keluarganya, sementara pemerintah daerah bersama Kemnaker dan Kementerian Koperasi dan UKM berperan sebagai pendukung.
Total nilai aset koperasi tersebut telah mencapai Rp 3 miliar. Sisa hasil usaha setiap akhir tahun dikurangi biaya operasional akan dikembalikan kepada pekerja migran dan keluarganya.
Dia menekankan, kehadiran empat koperasi itu tidak bertentangan dengan semangat UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Pembentukannya juga sejalan dengan pilar keempat program Desa Migran Produktif, yakni penguatan usaha produktif jangka panjang berbentuk koperasi usaha.
Empat koperasi simpan-pinjam itu melayani semua kebutuhan permodalan pekerja migran dan keluarganya, mulai dari biaya keberangkatan, dana usaha, hingga keperluan rumah tangga. Soes mencontohkan ongkos berobat anak. Pekerja yang masih bekerja di luar negeri bisa mengangsur cicilan pengobatan itu melalui koperasi.
Menurut dia, pemerintah telah menyediakan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) bagi pekerja migran. Hanya saja, setiap tahunnya penyerapan KUR lebih dominan ke aktivitas produktif, seperti membangun usaha. Sementara pemanfaatan KUR untuk membantu biaya keberangkatan masih sedikit. Kendalanya terletak pada penyetoran jaminan. ”Untuk menjawab persoalan itu, koperasi simpan-pinjam hadir,” ujar Soes.
Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2016-2019, plafon KUR pekerja migran Indonesia mencapai Rp 3,088 triliun pada 2016. Jumlahnya menurun menjadi Rp 1,085 triliun pada 2017 dan kembali turun menjadi Rp 982 juta. Adapun pada 2019 plafon dinaikkan menjadi Rp 1,605 triliun.
Realisasi KUR pekerja migran mencapai Rp 177,3 miliar pada 2016. Tahun berikutnya realisasi tercatat Rp 328,6 miliar. Pada 2018 realisasi melonjak hingga menjadi Rp 605,11 miliar. Hingga semester I-2019 total realisasi Rp 419 miliar.