Zakaria Zainal, salah satu pengurus program AJF-NUS, pada akhir pekan lalu menemani sebagian peserta program AJF menyusuri taman seluas 47 hektar itu. Untuk mencapai taman Kent Ridge yang pengelolaannya masuk ke dalam kewenangan Taman Nasional Singapura itu cukup mudah. Kita bisa naik bus atau malah bersepeda, bermobil, atau berkereta.
Di sana fasilitas tersedia lengkap, mulai trek untuk sepeda gunung, jalan aspal mulus untuk sepeda jalan raya, trek joging, trek berjalan kaki, dan taman bermain dengan aneka permainan yang pasti disukai anak-anak lengkap tersedia.
Baca juga : Singapura Menuju Revolusi Pertanian
Sabtu pagi itu, jarum jam sudah di angka 08.00. Namun, warga ”Negeri Singa” yang hendak menghabiskan Sabtu pagi dengan berjalan-jalan makin banyak. Mereka datang dengan suami atau istri dan anak-anak mereka, juga kelompok-kelompok anak muda hingga remaja yang datang untuk joging, bersepeda, bermain-main, senam pagi, ataupun berjalan kaki saja.
Disebut sebagai taman nasional, memang betul yang terlihat sejauh mata memandang adalah pohon-pohon besar yang rindang dan terawat baik. Dari petunjuk-petunjuk yang ada di taman, Kent Ridge merupakan bagian dari bentangan perbukitan di sisi selatan pulau Singapura. Tak heran apabila kontur di kawasan itu naik turun.
Area seluas itu bukan hanya dibentuk Kent Ridge Park. Namun juga ada taman-taman lain di sekitarnya, seperti Labrador Park, Telok Blangah Hill Park, Hort Park, dan Mount Faber Park yang turut mengisi kawasan.
Sebagai kawasan yang awalnya adalah dataran hutan hujan tropis yang berubah menjadi kawasan kebun karet dan lalu dikelola Pemerintah Singapura menjadi hutan kota, kawasan Kent Ridge memang menawarkan kekhasan hutan berupa pohon-pohon besar, seperti akasia dan trembesi, yang rimbun dan padat, juga aneka semak belukar.
Alhasil, perjalanan pagi di trek jalan kaki, baik trek layang berkanopi maupun trek di beton di permukaan tanah sejauh hampir 10 km yang terbentang di kawasan itu sungguh nikmat. Sambil berjalan, siulan merdu burung-burung penghuni taman Kent Ridge juga suara insekta terdengar bersahut-sahutan. Sinar matahari pagi seolah menjadi pelengkap saja untuk membuat badan makin bercucuran keringat dan paru-paru yang terisi udara bersih.
Sambil berjalan, siulan merdu burung-burung penghuni taman Kent Ridge juga suara insekta terdengar bersahut-sahutan. Sinar matahari pagi seolah menjadi pelengkap saja untuk membuat badan makin bercucuran keringat dan paru-paru yang terisi udara bersih.
Di kawasan itu kita juga bisa menemukan jejak Perang Dunia II di Singapura, yaitu berwujud museum Refleksi Bukit Chandu. Ada juga plakat tentang peringatan PD II di area parkir B untuk mobil.
Baca juga : Menikmati Singapura dengan Nonton Film ”Jimami Tofu” Sekaligus Menyantapnya
Tak lupa, kawasan yang sungguh hijau itu juga menawarkan banyak kegiatan positif yang bisa dilakukan warga. Bukan hanya joging atau berolahraga, warga bisa melakukan pengamatan burung-burung (bird watching), mengolah kemampuan memotret, dan mengikuti tur menelusuri jejak sejarah.
Zakaria bertutur, konsep hijau demikian memang menjadi konsep yang diterapkan Pemerintah Singapura sejak lama. Pemerintah mengupayakan, warga bisa mengakses taman atau ruang terbuka hijau dalam jarak tempuh dan waktu tempuh tidak terlalu lama, sekitar 10 menit saja dari rumah.
Konsep itulah yang menjawab rasa penasaran Kompas mengapa ada banyak warga berolahraga atau sekadar berjalan kaki di taman itu pada akhir pekan. Keletihan karena rutinitas di hari kerja bisa ditumpas dengan menikmati kehijauan di taman itu.
Bagi Singapura, taman itu menjadi satu dari sekitar 350 taman atau hutan kota dan empat kawasan pelestarian alam yang dikelola Badan Taman Nasional Singapura. Tersebar di seluruh pulau seluas 721,5 km persegi membuat kualitas udara di negara-kota berpenduduk 5,6 juta jiwa sesuai data Bank Dunia 2017 itu bersih. Paru-paru kota ada di mana-mana.
”Inilah karena pemerintah mau menghadirkan konsep kota di dalam kebun, City in the Garden. Bukan lagi Garden City,” kata Zakaria.
Inilah karena pemerintah mau menghadirkan konsep kota di dalam kebun, City in the Garden. Bukan lagi Garden City.
Menengok artikel dari Straits Times, 23 Februari 2017, apabila disandingkan antara luasan taman dan luasan total pulau, maka saat ini kawasan hijau yang berwujud kepadatan pohon-pohon sudah mencapai 30 persen dari total area pulau.
Lebih dari 2 juta pohon ditanam sebagai peneduh jalan, di taman-taman kota, juga di tanah-tanah milik negara. Pohon-pohon itu tentu saja ditanam sesuai dengan unsur estetika, kesesuaian habitat, bentuk pohon, asal pohon, kemudahan perawatan, dan toleransi terhadap musim kering.
Didukung kebijakan pengaturan kendaraan pribadi dan penyediaan angkutan umum yang sangat apik, warga Singapura hari ini bisa merasakan manfaat berupa udara bersih setiap saat. Manfaat itu pula yang dirasakan pengunjung saat tiba dan berjalan-jalan di Singapura.
Bagi Jakarta yang juga memiliki luasan lebih kurang sama dengan Singapura, penataan kawasan hijau demikian bisa menjadi contoh. Betul sudah ada tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta yang menyebutkan Jakarta akan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) hingga 30 persen dari total luasan hingga 2030.
Baca juga : Target 30 Persen Tak Realistis untuk Jakarta
Namun, sampai hari ini RTH baru ada kurang dari 10 persen. Ditambah kepadatan kendaraan, bersama-sama akhirnya akhir-akhir ini data indeks kualitas udara memaparkan kualitas udara Jakarta yang buruk.
Dalam rentang kurang dari 11 tahun dari sekarang mestinya harus segera disusun strategi bertahap oleh Pemprov DKI Jakarta untuk bisa mencapai target RTH 30 persen di 2030.
Baca juga : Berlindung di Balik Mahalnya Harga Tanah