Sanksi Ekonomi dan Kekeringan Sebabkan Perekonomian Korea Utara Terpuruk
›
Sanksi Ekonomi dan Kekeringan ...
Iklan
Sanksi Ekonomi dan Kekeringan Sebabkan Perekonomian Korea Utara Terpuruk
Bank Korea menyebutkan, perekonomian Korea Utara pada 2018 terpuruk dalam 21 tahun terakhir. Terpuruknya perekonomian Korea Utara itu disebabkan oleh sanksi internasional dan kekeringan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
SEOUL, SABTU — Bank Korea menyebutkan, perekonomian Korea Utara pada 2018 terpuruk dalam 21 tahun terakhir. Terpuruknya perekonomian Korea Utara itu disebabkan oleh sanksi internasional dan kekeringan.
Bank Korea yang berbasis di Korea Selatan memperkirakan, produk domestik bruto (PDB) Korut turun 4,1 persen pada 2018. Jumlah itu lebih rendah dari penurunan yang terjadi pada 2017, yaitu 3,5 persen.
”Sanksi yang ditambahkan pada 2017 memberikan dampak buruk. Ditambah lagi, kekeringan melanda pertanian sehingga mengganggu lebih dari 20 persen dari hasil panen,” kata Kepala Tim Koordinasi Akun Nasional Bank Korea Park Yung-hwan, Jumat (26/7/2019).
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah meningkatkan sanksi terhadap Korut sejak 2006 guna menghentikan pendanaan untuk program rudal nuklir dan balistik Pyongyang. PBB melarang Korut mengekspor, seperti batubara, besi, timah, tekstil, dan makanan laut, serta membatasi impor minyak mentah.
Pada 2017, PBB melarang Korut mengimpor hampir 90 persen ekspor minyak olahan menjadi 500.000 barel per tahun dan menuntut repatriasi warga Korut yang bekerja di luar negeri.
Amerika Serikat turut memberlakukan sanksi untuk semakin memangkas akses Korut ke pendanaan dan pendapatan dalam bentuk mata uang asing. Washington menyatakan akan terus memberlakukan sanksi hingga Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya secara sepihak.
Korut selama ini tidak pernah memublikasikan statistik perekonomian yang dimiliki. Bank Korea dari Korsel memublikasi perkiraan pertumbuhan ekonomi Korut sejak 1991. Sumber data yang diperoleh beragam, salah satunya berasal dari lembaga perdagangan luar negeri Korsel.
Perekonomian Korut merosot karena sanksi yang diterima sehingga ada peningkatan penggunaan batubara dan mineral secara domestik.
Sanksi perekonomian yang diterima Korut selama beberapa tahun terakhir membuat ekspor Korut anjlok hampir 90 persen. Bank Korea mencatat, nilai perdagangan internasional Korut turun 48,4 persen pada 2018.
Komoditas pertambangan merupakan produk ekspor unggulan Korut. Produksi di sektor pertambangan, terutama batubara dan mineral, turun 17,8 persen,
”Perekonomian Korut merosot karena sanksi yang diterima sehingga ada peningkatan penggunaan batubara dan mineral secara domestik. Industri dalam negeri mungkin sedang didorong oleh energi murah saat ini karena produksi batubara dan mineral masih terjadi,” tutur pengamat ekonomi Korut dari Stimson Center, Benjamin Katzeff Silberstein.
Bank Korea juga menyebutkan, produksi sektor agrikultur, kehutanan, dan perikanan turun 1,8 persen karena kekeringan.
James Belgrave, pejabat dari Program Pangan Dunia, mengatakan, penurunan produksi gandum dan barley (jelai) mencapai 20 persen ketika berkunjung ke Korut pada April 2019. Tanaman-tanaman yang ada di perkebunan tampak kering dan tumbuh lebih pendek dari yang seharusnya.
Kekeringan yang melanda Korut membuat penduduk Korut menderita krisis pangan. Sejumlah penduduk juga dilaporkan menderita penyakit yang terbawa air, seperti diare dan radang usus besar.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) menyebutkan, musim kering yang berkepanjangan di Korut menyebabkan 10 juta penduduknya terancam kelaparan. Kekeringan yang dialami sejak awal tahun ini merupakan yang terburuk sejak 1982.
Curah hujan di seluruh Korut rata-rata hanya 54,4 milimeter. Dengan curah hujan seperti itu, panen dipastikan akan gagal. Media lokal menyebutkan, semua warga diinstruksikan untuk memobilisasi pompa-pompa air dan mencari sumber air baru untuk menyelamatkan panen.
Korut pernah mengalami krisis pangan yang dahsyat akibat kekeringan pada 1990-an, saat hampir 1 juta penduduknya tewas akibat kelaparan. Dilaporkan, warga Korut harus bertahan hidup dengan memakan rumput dan kulit pohon.
Pekan lalu, Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC) melaporkan, kekeringan yang melanda Korut membuat penduduk Korut menderita krisis pangan. Sejumlah penduduk juga dilaporkan menderita penyakit yang terbawa air, seperti diare dan radang usus besar.
Cabut sanksi
Korut terus berupaya agar AS mencabut sanksi internasional yang diberikan karena mengembangkan program senjata dan rudal. Namun, Korut kerap membantah bahwa sanksi tersebut memberikan dampak negatif terhadapnya.
Pemimpin Korut Kim Jong Un telah bertemu Presiden AS Donald Trump sedikitnya tiga kali sejak Juni 2018. Terakhir, kedua pemimpin negara tersebut bertemu di Zona Demiliterisasi Korea pada 30 Juni 2019. Pertemuan itu merupakan yang pertama kali seorang presiden AS menginjak wilayah Korut.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyampaikan, AS akan kembali bernegosiasi dengan Korut dalam beberapa minggu ke depan. ”Semua orang bersiap-siap untuk negosiasi serta menciptakan pengaruh dan risiko bagi pihak lain,” ujarnya.
Pernyataan tersebut diberikan Pompeo setelah Korut meluncurkan dua rudal di bawah pengawasan Kim pada Kamis (25/7/2019). Korut mengklaim, uji coba rudal dilakukan untuk memperingatkan Korsel yang akan mengadakan latihan militer bersama AS. (REUTERS/AP)