Virus Cinta Lingkungan bagi Generasi Muda Lintas Bangsa
›
Virus Cinta Lingkungan bagi...
Iklan
Virus Cinta Lingkungan bagi Generasi Muda Lintas Bangsa
Sofia Ocampo (20), mahasiswi Miriam College, Filipina, tampak serius memukul sebuah daun jarak berlapis kain blacu di butik Galeri Wong Kito di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (27/7/2019). Daun tersebut akan menjadi motif utama pada kain yang telah berbentuk tas. Hasil karyanya akan menjadi produk eco print ramah lingkungan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Sofia Ocampo (20), mahasiswi Miriam College, Filipina, tampak serius memukul sebuah daun jarak berlapis kain blacu di butik Galeri Wong Kito di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (27/7/2019). Daun tersebut akan menjadi motif utama produk eco print ramah lingkungan pertamanya.
Sofia merupakan peserta program Greenesia yang digagas AIESEC Universitas Sriwijaya, sebuah program kepemimpinan yang melibatkan kaum muda dari sejumlah negara. Sofia tidak sendiri, bersamanya, ada sembilan pemuda dan pemudi dari beberapa negara, seperti China, Mesir, dan Jerman.
Suara ketukan palu menggema di galeri tersebut, seakan membentuk harmoni. Setiap ketukan pada daun menimbulkan bercak hijau sebagai corak unik di atas tas blacu berwarna krem. Beberapa peserta tampak serius terus memukul sembari melihat hasil karyanya, sementara peserta lain memukul daun dengan tangan kanan sambil mendokumentasikannya dengan telepon genggam di tangan kirinya. Mereka seakan tidak sabar segera membagikan pengalamannya ke negara masing-masing melalui media sosial.
Pemilik Galeri Wong Kito, Anggi Fitrilia Putri Pratama, juga turut mengawasi dari dekat kegiatan semua peserta. Sesekali, dia memberikan pengarahan kepada peserta, tentu didampingi seorang penerjemah. Mahasiswa dari Universitas Sriwijaya setia menemani rekan barunya itu dan larut dalam keasyikan membuat eco print.
Sekitar 30 menit berlalu, motif daun berwarna hijau sudah terjiplak di kain blacu, suara palu kayu pun usai. Kain tersebut kemudian dikeringkan sekitar 20 menit. Langkah selanjutnya dengan merendam tas blacu bercorak daun memakai air tawas. Tujuannya, untuk merekatkan corak agar tak luntur.
Sebenarnya proses perendaman membutuhkan waktu sekitar dua jam. Namun, karena keterbatasan waktu, tas tersebut hanya direndam selama 30 menit, lalu dijemur. Beberapa peserta pun tampak berfoto bersama hasil karyanya yang sedang dijemur.
Setelah kering, tas hasil karya mereka pun dibawa sebagai buah tangan. Tas blacu itu pun bisa digunakan sebagai pengganti kantong plastik untuk membawa barang.
Sesi yang lain adalah pembuatan eco priting dengan sistem steam (kukus). Kain berukuran sekitar 1,5 meter direndam dalam sebuah ember berisikan zat pewarna alami yang terbuat dari rebusan kayu tingi. Peserta pun secara bergantian mencelupkan kain tersebut.
Anggi juga memperlihatkan proses gradasi warna dengan mencelupkan kain ke dalam pewarna alami dan zat pengunci yang masing-masing terbuat dari tunjung, tawas, dan kapur. ”Semakin sering dicelup warna kain, akan semakin pekat,” ujar Anggi.
Kain yang kemudian berwarna coklat itu pun dibentangkan. Selanjutnya, semua peserta diminta menempelkan beberapa jenis daun layu kering di atas kain tersebut.
Setelah itu, kain digulung dan diikat menggunakan tali rafia. Kemudian, kain dimasukkan ke dalam panci berukuran besar untuk dikukus selama satu jam. Proses pengukusan selesai, kain pun dikeluarkan.
Kegiatan ini membuka wawasan bagi kaum muda untuk mencintai lingkungan.
Ampas daun kemudian dilepaskan, meninggalkan bercak di kain. Kemudian kain itu pun dijemur. Corak daun itu menambah indah kain. Lagi-lagi peserta kembali berfoto membentangkan kain hasil karya mereka. ”Saya akan sampaikan kegiatan ini sesampainya di Filipina,” ungkap Sofia.
Sofia yang sedang menjalani pendidikan di bidang Perencanaan Lingkungan dan Manajemen sangat antusias mengikuti kegiatan ini lantaran juga berkaitan erat dengan jurusan yang dia geluti. Di negaranya belum ada kegiatan serupa.
Menurut Sofia, kegiatan ini membuka wawasan bagi kaum muda untuk mencintai lingkungan. Itu karena semua produk yang diciptakan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan sama sekali tidak menggunakan bahan kimia yang bisa merusak lingkungan.
Kesan serupa disampaikan Hank Wu (18), mahasiswa dari Universitas Shen Zhen, China. Menurut dia, kegiatan ini sangat baik menumbuhkan rasa cinta lingkungan di kalangan anak muda. Wu memang belum pernah mengikuti kegiatan ini di China.
”Karena, kami memiliki sumber daya alam yang tidak berbeda,” katanya. Namun, kedatangannya di Indonesia menjadi pengalaman berharga karena sedikit banyak bisa mengetahui kebudayaan Indonesia, terutama Palembang.
Wakil Presiden Incoming Global Volunteer AIESEC Universitas Sriwijaya Youges Putra MP menerangkan, program ini adalah bagian kesepakatan dari negara Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Di dalam AIESEC ada sekitar 124 negara peserta. ”Ini adalah tahun ketiga kegiatan ini digelar di Unsri,” kata Youges.
Program ini adalah bagian kesepakatan dari negara Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Untuk tahun ini ada 95 peserta yang mengikuti program AIESEC di Universitas Sriwijaya. Mereka tersebar di Ogan Komering Ulu Selatan dan Palembang. Mereka akan mengikuti program di bidang lingkungan, pariwisata, dan pendidikan. Mereka berasal dari sejumlah negara, seperti Irak, Amerika Serikat, Ceko, China, dan Meksiko.
Mereka akan berada di Sumsel selama enam minggu dari 15 Juli-26 Agustus. Khusus untuk program Greenesia, lanjut Youges, para peserta yang didominasi mahasiswa akan mengikuti sejumlah kegiatan, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah untuk memaparkan pengalaman terkait dengan kecintaan lingkungan, melakukan penanaman pohon, dan kunjungan ke bank sampah.
Ini menjadi pengalaman bagi mereka agar dapat menjadi duta yang dapat menyebarkan rasa cinta pada lingkungan. Terutama upaya mengurangi beban sampah plastik. Kebiasaan baik pun akan terbentuk, seperti tidak menggunakan kantong plastik secara berulang dengan membawa kantong dari kain blacu, menggunakan sedotan stainless, dan lainnya.
Di sisi lain, program ini juga sebagai wadah meningkatkan pemahaman lintas budaya pada setiap peserta. Peserta AIESEC di Unsri juga berkunjung ke beberapa negara lain, seperti Turki, Vietnam, China, dan Jepang. Peserta yang datang dari luar negeri juga merasakan masakan khas Palembang, seperti kerupuk kemplang dan juga pindang patin. Kerajinan tangan yang dibuat juga menggunakan motif khas Palembang, yakni jumputan.
Anggi Fitrilia mengatakan, pengetahuan terkait pembuatan kerajinan tangan dengan menggunakan limbah tanaman merupakan upaya untuk meningkatkan rasa cinta lingkungan. Hal ini harus dimulai dari generasi muda. Dia pun berharap pengalaman ini dapat menyebar di kalangan muda, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri. ”Sebagai anak bangsa, kita harus berbuat bagi bangsa,” katanya.