Jemaah haji yang sudah ditangani akibat fraktur, baik yang hanya dipasang gips maupun yang harus dioperasi, masih bisa melakukan prosesi ibadah haji, tetapi dengan ditunjang alat bantu, seperti tongkat atau kursi roda.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus fraktur atau patah tulang menjadi salah satu penyakit yang banyak dialami jemaah haji. Gangguan ini biasanya dipengaruhi faktor usia, kelelahan, dan lingkungan. Untuk itu, jemaah haji diharapkan lebih waspada akan risiko patah tulang yang bisa terjadi.
Berdasarkan data Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) di Mekkah, Arab Saudi, hingga Minggu (28/7/2019), ada 21 kasus fraktur yang telah ditangani. Sebanyak 15 kasus di antaranya ialah fraktur colles atau patah tulang pada bagian pergelangan tangan. Selain itu, ditemukan juga lima kasus fraktur collumfemur atau patah tulang paha dan satu kasus fraktur proximal pada tulang hasta di lengan bagian bawah.
Direktur KKHI Mekkah Ali Setiawan menyampaikan, penyebab patah tulang terutama karena terjadi trauma atau cedera akibat benturan. Penyebab ini dipicu oleh faktor risiko yang dialami jemaah haji Indonesia, seperti dehidrasi, kelelahan, dan lingkungan.
”Jadi, karena faktor kelemahan tenaga yang sudah kelelahan akibat lama berdiri, akhirnya terpeleset atau tersenggol sehingga jatuh. Perlu diperhatikan juga faktor risiko seperti kelelahan bisa menjadi penyebab penyakit lain,” ujar Ali Setiawan dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (29/7/2019).
Ia menambahkan, faktor usia juga menyebabkan kasus fraktur yang dialami bisa semakin berat. Untuk itulah, jemaah haji yang mayoritas berusia lanjut perlu lebih memperhatikan kondisi tubuhnya. Mereka juga umumnya sudah mengalami osteoporosis sehingga rentan mengalami fraktur.
”Pasien traumanya terjatuh dengan posisi tangan menumpu. Dari 15 kasus, hampir 80 persen sampai 85 persen itu fraktur colles-nya terjadi di tangan kiri,” kata Faisal Lukman, salah satu dokter yang bertugas di KKHI Mekkah.
Dia menyebutkan, dari hasil diagnosis tim KKHI, kasus patah tulang yang ditemukan bisa di berbagai aktivitas dan lokasi. Sejumlah kasus tersebut seperti saat anggota jemaah terpeleset di kamar mandi, mendadak terjatuh karena kehilangan keseimbangan tubuh, ataupun jatuh ketika turun dari bus. Kejadian itu umumnya dipicu karena anggota jemaah yang kelelahan dan kekurangan cairan tubuh.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Eka Jusup Singka menuturkan, proses penyembuhan dan pemulihan kasus fraktur membutuhkan waktu cukup lama. Pada kasus ringan biasanya pengecekan bisa dilakukan kembali dalam dua minggu. Proses pemulihan ini juga dikonsultasikan dengan dokter spesialis rehabilitasi medik yang ada di KKHI Mekkah.
”Penanganan jemaah haji pascaoperasi akibat fraktur memakan waktu cukup lama. Jemaah haji yang sudah ditangani, baik yang hanya dipasang gips maupun yang harus dioperasi, masih bisa melakukan prosesi ibadah haji, tetapi tentu dengan ditunjang alat bantu, seperti tongkat atau kursi roda,” ucapnya.
Pencegahan
Ali mengatakan, agar kasus-kasus fraktur tidak terjadi lagi kepada jemaah haji Indonesia, pemerintah mengimbau jemaah untuk bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Apabila jemaah sudah merasa kelelahan dan mengalami dehidrasi, istirahat menjadi kebutuhan mutlak. Kelelahan akan memicu timbulnya penyakit, termasuk risiko patah tulang. Jemaah juga diimbau menggunakan alas kaki yang aman, seperti sepatu.
Jemaah haji juga sebaiknya jangan memisahkan diri dari rombongannya. Ia juga menyarankan kepada jemaah, untuk mencegah osteoporosis dengan cara mengonsumsi asupan makanan atau vitamin berkalsium tinggi, baik sebelum maupun selama melakukan ibadah haji.