Korupsi di perizinan yang seringkali melibatkan kepala daerah masih kerap terjadi karena belum semua perizinan ditangani unit pelayanan terpadu satu pintu di daerah.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi di perizinan yang melibatkan kepala daerah masih kerap terjadi karena belum semua perizinan ditangani unit pelayanan terpadu satu pintu atau PTSP di daerah. Kepala daerah sering kali masih enggan melepaskan pemberian izin di sejumlah sektor, khususnya yang bisa ”mendatangkan” uang untuk kepala daerah.
”Hingga saat ini kewajiban membentuk pelayanan terpadu satu pintu atau PTSP oleh para kepala daerah masih menjadi ’main-mainan’ karena masih memberikan kesempatan dan peluang bagi mereka untuk memilih izin yang akan dimasukkan dalam PTSP,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng saat dihubungi Kompas, Senin (29/7/2019).
Padahal, pembentukan PTSP diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pada Pasal 350 Ayat (2) dikatakan bahwa dalam memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
Untuk itu, perlu ada sikap tegas dari pemerintah agar mewajibkan semua urusan perizinan ditangani PTSP. Sementara yang ditangani di luar PTSP harus dikategorikan ilegal.
”UU No 23/2014 sesungguhnya merupakan perangkat hukum yang sangat kuat. Sekarang tinggal soal ada enggak keberanian untuk mengeksekusi itu. Kepala daerah kita enggak bisa hanya diberikan imbauan. Pemerintah itu bukan untuk mengimbau, melainkan untuk memerintah,” kata Robert.
Sejumlah kasus korupsi, khususnya dalam perizinan, terus terjadi. Pada Maret 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan korupsi dalam kasus pemberian izin tambang bauksit di Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kepri).
Kemudian pada 10 Juli 2019, KPK menangkap Gubernur Kepri Nurdin Basirun karena diduga menerima suap dalam perizinan lokasi rencana reklamasi di Kepri.
Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi masih dilakukan oleh KPK. Terakhir ada tujuh orang, termasuk Wali Kota Batam Muhammad Rudi yang turut diperiksa untuk dimintai keterangan terkait dengan proses perizinan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK terus mendalami kasus suap itu.
Integrasi
Lebih lanjut mengenai PTSP, Robert menjelaskan bahwa PTSP merupakan izin yang wajib diterapkan oleh daerah sejak 2006. Namun, karena variasi PTSP beragam di setiap daerah, dikenalkan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS) pada 2018.
Meski begitu, dalam penerapannya, OSS hanya mengeluarkan nomor induk berusaha bagi pelaku usaha yang mau membuka usaha.
”Nomor induk berusaha itu seperti identitas atau tiket masuk, tetapi untuk bisa masuk ke dalam dan berusaha, balik lagi ke daerah dengan sistem PTSP,” tutur Robert.
Anggota Ombudsman RI Bidang Ketenagakerjaan dan Sumber Daya Alam, Laode Ida, mengatakan, tantangannya saat ini ialah mengintegrasikan OSS versi nasional dengan PTSP versi daerah. Untuk itu, tumpang tindih aturan harus segera dibenahi.
”Tumpang tindih peraturan itu menjadi masalah utama dalam proses pelayanan publik. Apalagi, kalau masih ada karakter transaksional dalam perizinan, tentu masih akan menjadi hambatan yang ujungnya tidak memberikan kepastian hukum lagi bagi pelaku usaha,” kata Laode.
Ombudsman juga menilai bahwa Kementerian Dalam Negeri tidak tegas dalam mewajibkan kepala daerah untuk menerapkan PTSP. Seharusnya ada sanksi tegas bagi kepala daerah agar tidak bisa ”bermain” lagi dalam memilah perizinan.
Menanggapi kritik tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo menyampaikan, pihaknya sudah berulang kali meminta pemda untuk membentuk PTSP, seperti yang diatur dalam undang-undang.
Pihaknya juga mengklaim rutin mengevaluasi sejauh mana pemda memfungsikan PTSP.
”Kami selalu melakukan evaluasi. Tentu bagi yang tidak menerapkan akan ada sanksi. Pertama teguran, kedua tentunya kita beri peringatan, untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban daerah,” ujar Hadi.