Bakring, Sahabat Tuturuga dari Tapulaga
Melewati paginya, Bakring (56) bergegas menghabiskan sarapan. Sepiring mi instan dan seporsi nasi dilahapnya. Selepas tandas, ia menyambar sebuah ember berisi sekantung penuh ikan. “Untuk pakan ikan dan Tuturuga, penyu-penyu di keramba,” ucapnya nyengir.
Saiful Rijal Yunus
Matahari masih sembunyi di balik bukit Desa Tapulaga, Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (21/7/2019). Jalanan yang biasa ramai ketika akhir pekan oleh pelancong dari Kota Kendari, kosong melompong saat Bakring melintas menuju laut yang tepat berhadapan dengan rumahnya. Desa ini berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Kendari.
Ember hitam yang berisi sekantung ikan dari lemari pendingin dipegang erat. Sebuah sikat cuci tidak lupa dibawanya. Bergerak lincah, Bakring berjalan menuju sebuah sampan kecil berwarna kuning yang dibelinya beberapa tahun lalu.
Bodi atau sampan yang hanya muat dua orang ini berjalan pelan menuju laut. Bakring mendayung perlahan, lurus ke arah sero. Sero adalah sebuah perangkap ikan tradisional menggunakan kayu tancap dan jaring. Sayangnya, tidak ada ikan yang cukup besar pagi itu. Wajahnya tidak mampu menyembunyikan kekecewaan.
Ia kembali mengayunkan dayung, mengarahkan bodi menuju keramba apung miliknya, sekitar 70 meter ke arah kanan. Setibanya, kecipak air dari ratusan ikan di keramba serupa menyambutnya. Berbagai jenis ikan muncul ke permukaan di tiap-tiap sekat keramba. Selain ikan, juga ada lobster, dan beberapa hewan kesukaannya. Muram berganti senyum di wajahnya yang mulai penuh kerutan.
Di sebuah sekat keramba dengan ukuran paling luas, dari dasar laut yang berair jernih, empat buah mahluk dengan tempurung mengepakkan kedua tangannya. Mereka menjulurkan kepala ke permukaan, sembari mengapung pelan berenang berputar-putar.
“Mereka sambut saya, hehe,” ucap Bakring setengah kegeeran.
Bakring membuka bungkusan, lalu meraih ikan setengah beku yang beberapa hari lalu ditangkap dari Sero miliknya. Lahap, penyu-penyu itu memakan ikan yang dibuang ke tengan petak-petak keramba. Mereka berlomba bersama beberapa ikan kuwe dan kerapu yang juga berada dalam petak keramba.
Bakring lalu mengambil beberapa ekor ikan. Menjulurkan tangannya ke permukaan air, lalu menggoyang-goyang ikan. Seekor penyu berukuran kecil mendekat, lalu menyambar ikan. Berulang kali Bakring melakukan hal sama, agar tidak dimakan ikan lain di dalam keramba yang cukup agresif.
Setelah kelar, ia menjulurkan tangan, menggapai-gapai ke permukaan air. Saat seekor penyu mendekat, ia menangkap, dan menaikkan ke atas. Ia merogoh ember di dekatnya, mengeluarkan sikat cuci, lalu memulai membersihkan tempurung penyu yang penuh lumut.
“Biar cantik to’. Sudah empat bulan tidak disikat,” kata Bakring. Perlahan, tempurung penyu sisik berdiameter dua jengkal tangan terlihat. “Nah, kalau bersih kan enak juga dilihat. Mereka juga ringan kalau berenang.”
Penyu-penyu atau tuturuga, sebutan untuk penyu di Sultra juga berbagai daerah lain di Sulawesi, di keramba Bakring telah dipelihara sejak 2018 lalu. Namun, empat ekor penyu itu bukan hasil tangkapan. Ia membelinya dari masyarakat di dekat tempat tinggalnya. Satu ekor penyu rerata ia beli Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Ia membelinya dengan uang sendiri dari hasil menjual ikan atau berkebun.
Bakring bercerita, ia sengaja membeli penyu agar penyu itu tidak dibeli orang lain. Ketika berada di tangan pembeli lain, nasib penyu-penyu itu bisa dipastikan tidak akan bertahan lama.
“Kebanyakan (orang) mau makan itu penyu. Jadi saya beli. Tidak tega kalau lihat penyu itu dibunuh untuk dimakan. Saya lihat ada orang mau membeli, kalau tidak dilakukan itu pasti ada yang beli. Lihat matanya saja saya tidak tega,” tutur Bakring.
Pertama kali ia membeli penyu adalah pada 2015 lalu. Saat itu ia mengunjungi desa tetangga, Desa Mekar Jaya. Sudah sejak lama masyarakat di daerah ini terdengar sering mengambil penyu yang terperangkap di sero atau jaring saat menangkap ikan.
Saat mendengar ada penyu yang kembali tertangkap, ia lalu datang. Bermodal uang simpanan, ia lalu membeli dua ekor penyu yang dibeli dengan harga Rp 50.000. Penyu itu dirawatnya dan dilepas dua tahun kemudian.
Total sedikitnya telah sepuluh penyu ia beli dan rawat. Empat ekor penyu yang saat ini ia pelihara rencananya akan dilepas liarkan tahun ini. Penyu itu dibawa dengan perahu beberapa jauh, lalu diturunkan ke laut.
“Kalau dilepas, sedih campur senang. Sedih karena berpisah, tapi senang mereka bisa kembali ke laut dengan sehat,” ucap Bakring menghela napas panjang. Meski demikian, ia mengaku bukan pahlawan bagi penyu. Ia hanya mencoba menolong, dan belajar banyak hal lewat hewan tersebut.
Seribu Mangrove
Menjadi sahabat dan penyelamat bagi penyu hanyalah satu dari kegiatan Bakring. Jauh sebelum itu, sejak 2002, ia telah berusaha melestarikan lingkungan yang rusak karena aksi bom ikan.
“Kalau bangun pagi, pasti ada suara bom. Saya yang waktu itu ngurus kebun, akhirnya bikin keramba juga biar saya ada alasan melarang orang buang bom di dekat situ. Beberapa kali saya ketemu yang mau bom ikan, tapi karena saya bilang saya punya keramba, akhirnya tidak jadi,” tutur anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Sejak saat itu, perhatiannya untuk lingkungan pun bertambah. Terlebih, ia mulai sering didatangi mahasiswa dari berbagai universitas. Mahasiswa menjadikan tempatnya untuk melakukan penelitian aktivitas laut.
Pengetahuan dan pengalaman pria lulusan Paket C ini pun bertambah. Melihat karang yang habis, ikan yang kurang, ia lalu berinisiatif mengangkat karang kecil dari tempat yang potensial untuk di bom, ke dekat kerambanya. Kima dan beberapa jenis hewan laut lain juga dibawa. Ia ingin membuat sebuah lingkungan laut yang asri, dan bisa menjadi tempat riset, serta wisata.
Bersama beberapa warga di kampungnya, ia mengkoordinir kelompok konservasi. Laut seluas satu hektar berusaha dijaga untuk kelestarian karang, ikan, dan ekosistem di dalamnya.
Beberapa kali godaan datang ke padanya. Ada yang datang menawarinya uang agar bisa melakukan pemboman di daerahnya, atau bermaksud membeli penyu yang dipelihara. Akan tetapi, ia tidak goyah. Meski hanya mengandalkan hasil kebun dan laut, ia tidak merasa kekurangan.
Kegiatannya malah semakin bertambah. Sejak 2017, ia juga mulai menanam mangrove di pesisir kampung. Sudah sejak lama mangrove hilang di daerahnya. Bibit tanaman penahan ombak ini diambil dari desa tetangga. Ia menanamnya sedikit demi sedikit.
Pembibitan mangrove juga ia lakukan. Bibit ini ia kembangkan, dan beberapa dijual. Hasil penjualan digunakan kembali untuk keramba, pakan penyu, atau membeli penyu yang ditangkap warga.
“Saya dulu cita-citanya 100 mangrove dalam satu tahun. Saya tidak punya apa-apa sekarang. Tapi kalau saya meninggal ada yang orang lihat. Daripada tinggalkan mobil, ada sesuatu yang diingat orang.”
Di pesisir pantai, rimbun Mangrove terlihat rindang. Mangrove ini ditanamnya sendiri, sebagai pelindung kampung, juga sarana edukasi.
“Sudah diusahakan, tapi mungkin tidak cukup. Banyak kegiatan lain, hehe,” ucap Bakring.
Kegiatan Bakring yang padat, sejak pagi hingga sore, memang menyita waktu. Belum lagi kesehatannya yang menurun dua tahun belakangan. Maag akut dan hipertensi menghambat kegiatannya beberapa kali. Makan yang tidak teratur dan terjaga, membuatnya sering sakit. Ia lebih sering mengurus penyu, ikan, karang, hingga mangrove dibanding dirinya.
Meski demikian, ia terus menjalankan aktivitas. Selain mengurus keramba, mangrove, dan kebun, ia juga rutin mendampingi mahasiswa yang datang penelitian, juga KKN, terus ia lakukan.
"Saya bukan pegiat lingkungan. Biasa-biasa saja. Setelah ini, impian saya lagi ingin tapulaga bebas sampah. Bukan lagi banyak ikan sekarang, tapi banyak sampah. Kita bikin penyadaran, bikin tempat sampah di laut,” katanya.
Bakring
Lahir: Konawe, Sulawesi Tenggara, 21 Mei 1963
Pendidikan: Tamat SMA paket C
Aktivitas: Ketua Kelompok Nelayan Lestari