Kekuatan terbesar untuk melawan adiksi internet, media sosial, dan gawai terletak pada niat setiap individu. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan diet digital dan detoks digital.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Pengguna internet di Indonesia ada 171,17 juta jiwa pada 2018. Artinya, ada ratusan juta orang yang bisa mengintip dunia hanya dengan ngendon di dalam kamar. Mereka juga orang-orang yang punya kesempatan untuk lebih produktif, lebih terampil, dan lebih yang lain. Namun, belum semua pengguna internet ternyata paham akan kekuatan internet dalam genggaman tangannya.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet tadi sama dengan 64,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 264,16 juta orang. Jumlah pengguna meningkat 10,12 persen dibandingkan dengan data pada 2017. Bukan tidak mungkin jumlah pengguna internet naik lagi pada 2019.
Internet ini bagai pedang bermata dua. Jika paham dan bijak menggunakannya, internet bisa jadi media untuk menambah wawasan, menjalin relasi, memperkaya kualitas diri, ekspansi usaha, kampanye positif, hingga self-branding.
Para selebritas media sosial pasti paham soal kekuatan internet dan media sosial tersebut. Sebut saja Arief Muhammad, Evita Nuh, Raditya Dika, Elizabeth Christina (dikenal dengan nama Lizzie Parra), Kadek Arini, dan masih banyak lagi.
Mereka yang disebut Youtuber, Instagrammer, blogger, dan sebagainya ini tidak hanya rajin membagikan konten kreatif. Mereka juga terkadang berbagi tips menggunakan media sosial untuk mengembangkan diri. Tidak sedikit yang terinspirasi dari aksi para selebritas media sosial ini.
Sayang, tidak semua paham dan tergerak untuk menjajal sisi internet yang satu ini. Masih banyak orang yang lebih suka scrolling tanpa tujuan. Hasilnya ialah waktu terbuang percuma.
Penghasil produk kecantikan Marina di bawah PT Barclay Products menggelar survei terkait isu ini. Ada 1.000 responden perempuan yang terlibat. Semuanya merupakan pengguna media sosial.
Dari survei tersebut, 82 persen mengaku penggunaan media sosial membuat mereka tidak produktif. Selain itu, 58 persen responden memilih mengakses media sosial daripada bersosialisasi di dunia nyata.
”Perempuan di usia 15-20an tahun itu cenderung cocok dengan media sosial karena mereka sedang mengeksplorasi diri. Mereka bisa menemukan banyak hal di media sosial,” kata psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Ini disampaikan pada diskusi yang mengangkat tentang tantangan perempuan muda Indonesia pada era digital bersama Marina. Selain Vera, turut hadir sebagai pembicara Brand Ambassador Marina Mawar De Jongh, Senior Manager Brand Investment and Consumer Engagement Marina Elfia Rahma, serta Co-Founder dan Credit Marketing Officer Storial.co Aulia Halimatussadiah.
Berdampak buruk
Menurut dia, penggunaan internet dan media sosial berlebih bisa berdampak buruk. Pengguna bisa mengalami gangguan tidur, menurunnya konsentrasi, produktivitas, hingga adiksi. Jika scrolling tidak dibarengi dengan kontrol diri, efeknya bisa fatal.
Para pengguna internet yang berlebih juga rawan mengalami gangguan kesehatan mental. Vera mengatakan, pengguna internet berusia muda rentan membandingkan dirinya dengan orang-orang di dunia maya. Ini salah satunya terjadi karena mereka ada di usia tanggung: bukan anak-anak, bukan pula orang dewasa. Di usia ini mereka masih sibuk menggali jati diri.
”Ini bisa berpengaruh ke menurunnya kepercayaan diri seseorang. Dalam hal ini, setiap orang harus menyadari bahwa dirinya berbeda dengan orang lain,” kata Vera.
Adiksi
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, pertengahan April 2019, ada seorang lelaki yang menjadi sorotan media karena mengalami gangguan jiwa. Ia didiagnosis mengalami gangguan jiwa karena kecanduan gawai.
Tatapan matanya kosong dan ia tidak bicara. Kedua tangannya terangkat ke depan dengan jempol yang terus bergerak. Postur dan gerakannya seperti tengah memegang ponsel pintar sambil scrolling.
Kisahnya hanya secuil gambaran dari penggunaan gawai berlebih yang kini telah menjadi fenomena global.
Menurut data Global Web Index pada 2017, rata-rata penggunaan internet dalam sehari di 34 negara ialah 6,5 jam. Penggunaan internet mencapai 8-9 jam sehari di Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Di Brasil, penggunaannya bisa lebih dari sembilan jam per hari (Kompas, 6/1/2019).
Internet juga berhubungan dengan fenomena gim daring. Ada beberapa orang yang akhirnya kecanduan main gim daring. Efeknya beragam. Ada yang sampai tidak bisa mengontrol emosi, berlaku impulsif, hingga ada yang mengonsumsi sabu dan metamfetamin (Kompas, 23/7/2018).
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendaftarkan kecanduan gim sebagai salah satu gangguan kesehatan jiwa. Ini diresmikan dalam International Classification of Disease edisi ke-11, September 2018.
Kendali diri
Salah satu upaya menghindari adiksi adalah menyeimbangkan kegiatan daring (online) dan luar jaringan (offline). Sebagai contoh, pengguna internet aktif bisa mencari kegiatan lain berbasis komunitas sesuai dengan kesukaan. Namun, sebelum sampai di sana, perlu kendali diri yang baik dan konsisten.
Co-Founder dan Credit Marketing Officer Storial.co Aulia Halimatussadiah berbagi soal pengalaman mengendalikan diri itu. Ia tidak menyentuh gawai selama 1-2 jam sejak bangun tidur. Ia hanya membuka gawai untuk melihat jam.
Ia menolak mengecek dan membalas pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Sebab, itu bisa membuat tubuhnya ”dikomando” untuk terikat dengan gawai sejak pagi. Setelah bangun, ia biasanya melakukan banyak hal, termasuk meditasi dan menulis.
”Energi saya biasanya meluap pada waktu-waktu itu. Makanya, saya gunakan untuk melakukan hal produktif. Kalau dari awal bangun sudah pegang ponsel, nanti maunya akan pegang ponsel terus,” kata Aulia.
Menurut dia, upaya pengendalian seperti itu bisa berpengaruh ke banyak aspek kehidupan. Aulia mencontohkan, ia tidak lagi tergoda untuk makan camilan karena telah terbiasa mengontrol tubuh dan keinginannya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi adiksi memang dengan diet digital dan detoks digital. Artinya, penggunaan gawai dibatasi dan bahkan ditinggalkan sama sekali selama beberapa saat.
Menurut survei oleh Global Web Index pada Agustus 2018, sejumlah orang sudah tergerak untuk menjajal diet dan detoks digital. Survei ini dilakukan pada 4.438 responden. Dari survei itu, 19 persen telah menjalani detoks digital, 51 persen menjalani diet digital. Sisanya belum peduli pada diet dan detoks digital (Kompas, 13/6/2019).
Kekuatan terbesar untuk melawan adiksi internet, media sosial, dan gawai sesungguhnya terletak pada niat setiap individu. Tidak peduli seberapa besar kampanye untuk menjadi seorang internet savvy. Jika tidak dimulai dari diri sendiri, internet bisa disalahartikan sebagai ancaman generasi masa depan.