Run to Care, Berlari dan Berbagi untuk Peduli
Berlari kini bukan lagi terbatas sebagai gaya hidup sehat atau prestasi. Olahraga yang tengah digandrungi masyarakat itu juga menjadi sarana untuk berbagi dan peduli kepada sesama. Sejumlah ajang lari amal digelar berbagai organisasi untuk mengumpulkan dana untuk berbagai kegiatan sosial.
Salah satunya adalah lari ultra Run to Care (RTC) sepanjang 150 kilometer di Bali yang diselenggarakan SOS Children’s Villages Indonesia, pada Jumat hingga Minggu, 26-28 Juli 2019. Sebanyak 300 pelari dari 90 komunitas bahu-membahu mencoba mengumpulkan dana hingga Rp 2,1 miliar lebih.
”Punya semprotan pain killer atau obat gosok gak, Bah?” tanya Santih Gunawan kepada Kompas di sekitar Kilometer 12 menjelang Water Station (WS) 1 jalur Run to Care (RTC) di Warung Sari Oka, yang bersebelahan dengan SMA Negeri 1, Mengwi Bali pada Jumat (26/7/2019) malam.
Pelari ultramaraton salah satu peraih podium Lintas Sumbawa 320K, April lalu itu, sejak Kilometer 8 terlihat agak terpincang-pincang. Rupanya otot kakinya memang bermasalah, tetapi dia tetap bertekad menyelesaikan misinya berlari di kategori full Run to Care 150K.
Malam itu, tepatnya pukul 22.00 WIT, para pelari yang mengambil bagian dalam ajang RTC baru saja lepas dari garis start di Lapangan Lumintang, Denpasar. Selepas lokasi start itu, para pelari berlari sejauh 150 kilometer melewati tanjakan tajam sejak Baturiti menuju Bedugul dengan suhu yang menusuk kulit hingga sepanjang pantai di Singaraja dan berakhir di Tabanan.
Santih dan 300 pelari lainnya tidaklah sekadar berlari seperti pada race-race lainnya. Namun, mereka mengambil bagian dalam aksi berlari untuk mengumpulkan donasi sebagai salah satu gerakan sosial yang digagas oleh SOS Children’s Villages Indonesia. Acara yang berlangsung untuk ketiga kalinya ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam membantu dan memenuhi hak-hak anak melalui olahraga lari.
Mereka yang bergabung berlari di RTC tidak hanya para pelari yang sudah terbiasa ultra termasuk Hendri Siswanto, pemecah rekor Lintas Sumbawa 2019, tetapi juga banyak di antaranya tampak pelari yang mulai mencoba berlari ultra. Selain menyediakan kategori full 150K, para pelari lainnya bergotong royong menyelesaikan jarak tersebut dengan kategori relay (estafet) empat orang atau setengah porsi alias relay dua.
Lari amal ini memang bukan lomba lari di mana setiap pelari siap ugal-ugalan gas pol dengan pace kencang masing-masing, tetapi lari yang lumayan dengan batas waktu yang bersahabat. Jarak 150 kilometer bisa diselesaikan dengan waktu 38 jam, atau relay 4 dengan jarak masing-masing sekitar 40-an kilometer bisa diselesaikan dengan waktu sembilan jam.
Jarak maraton sejauh 42.195 kilometer biasanya harus ditempuh dengan waktu 42 jam. Namun, sejumlah pelari umumnya telah menetapkan target waktu untuk menyelesaikan waktu di bawah COT. ”Target, sih, 20 jam finis, biar cepat selesai,” kata Hendra Siswanto yang akhirnya finis sekitar 23 jam untuk kategori full.
Walaupun dengan COT yang bersahabat, sejumlah pelari sepertinya masih membutuhkan latihan lebih baik lagi untuk mengikuti ajang seperti ini. Hal ini terlihat ketika di WS 2 Perean Tengah, sejumlah pelari tampak agak penyok kepayahan.
”Enggak ada fisioterapis, ya?” tanya seorang pelari. Jarak WS tersebut dari garis start baru 26,8 kilometer. Beberapa pelari lainnya mencoba melakukan peregangan sendiri atau dibantu oleh rekannya.
”Tanjakannya bikin termehek-mehek,” ujar seorang pelari.
Peserta RTC kali ini bukan saja dihadapkan pada tantangan tanjakan, terutama selepas CP 1 dari Kantor Camat Baturiti di Kilometer 39 (875 mdpl) menuju WS 3 Pancasari sepanjang 13,7 kilometer berikutnya dengan elevasi 1227 meter di atas permukaan laut melalui Bedugul.
Cuaca dingin pada malam hari yang menyengat kulit juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa peserta mengalami gejala hipotermia, bahkan seorang di antaranya mengalami hipotermia dan dibawa ke rumah sakit, tetapi tertangani dengan baik. Gears mandatory (perangkat wajib) dibawa oleh peserta seperti emergency blanket atau jaket banyak membantu peserta.
Keunikan berlari di Bali yang juga menjadi perbincangan para peserta adalah banyaknya anjing di sepanjang lintasan. Binatang peliharaan khas Pulau Dewata menjadi ”teror” tersendiri bagi pelari yang takut anjing. Gonggongan anjing menjadi teman para pelari di sejumlah tempat, terutama malam hari. Sementara pada siang hari, panas yang menyengat juga sangat menyerap energi para pelari.
”Tanjakan dan cuaca dingin pada malam hari menjadi tantangan peserta,” ujar Pengarah Lomba (Race Director) RTC Lexi Rohi. Kompas mengamati, banyak di antara peserta kurang mengantisipasi hal tersebut. Kaus basah oleh keringat yang tidak segera diganti baju kering tidak menggunakan jaket atau wind breaker merupakan kelalaian sejumlah pelari.
Seorang pelari tampak berbalut sarung untuk menahan serangan suhu yang malam hari mencapai 15-16 derajat celsius. Namun, pemandangan indah, keunikan budaya, dan keramahan penduduk Bali menjadi penawar yang sangat menyenangkan bagi pelari.
Dukungan komunitas
Lari amal memang berbeda dengan lomba lari (race). Pelari di ajang seperti RTC, Nusantara Run, dan sejenisnya memberikan effort lebih dan mendapat kehormatan tersendiri. Mereka bukan saja bersiap diri dengan berlatih hingga berlari puluhan hingga 150 kilometer lebih, melainkan jauh sebelum itu per individu mereka sejak beberapa bulan sebelumnya bersusah payah mengumpulkan donasi dari teman, relasi, dan kerabatnya.
Medali finisher bukan lagi hanya raihan bagi mereka yang berhasil finis di bawah waktu yang ditentukan. Daya juang dan pengorbanan mereka lebih dari sekadar medali yang harus mereka pertanggungjawabkan kepada pada donatur. Mereka berhasil menggalang 6.400 orang untuk memberikan donasi terhadap aksi baik tersebut.
Dukungan komunitas pelari juga menjadi ciri utama keguyuban para pelari lintas komunitas. Sejumlah komunitas memberikan dukungan secara sukarela untuk menyediakan mobil-mobil pendukung pelari dari komunitasnya, maupun para pelari dari komunitas lain. ”Dari komunitas kami malah 38 orang menjadi volunter tim pendukung,” kata Bagas, founder komunitas lari RIOT.
Jumlah volunter itu lebih banyak dibandingkan peserta RTC dari RIOT sebanyak 28 orang atau jumlah ”delegasi” terbesar kedua setelah peserta dari komunitas Run for Indonesia (RFI) yang mengirim 42 orang pelari. Para pelari RFI yang berdatangan dari Jakarta, Bandung, Makassar, Kendari, dan daerah-daerah lainnya menginap di base camp mereka di The Tanjung Benoa Resort. Demikian juga dengan komunitas-komunitas lainnya. Tim Cibubur Runners (Burner) Jakarta malah sengaja menempuh perjalanan darat selama 17 jam untuk mencapai Bali dan tiba pada hari Kamis (25/7/2019).
”Kami gantian nyetir,” ujar Edoardo dari Burner. Jersey komunitas pun mewarnai sepanjang jalan dengan berbagai nama komunitas, seperti Bali Island’s Wolf Pack, Renon Runners, Fake Runners, Bandrex, Kopo Runners, Sidoarjo Runners, Kepala Batu atau Anak Monyet Berlari, hingga komunitas pelari kantoran seperti dari BNI Runners atau IdeaRun.
Keberadaan komunitas lari di ajang lomba lari amal menjadi penting. Selain menjadi kesempatan bagi para anggotanya untuk berkumpul dan berkegiatan bersama serta saling memberi dukungan, kehadiran tim support mereka juga menjadi khas. Suasana di lintasan menjadi semarak dan penuh semangat. Sejumlah pelari juga tampak membawa keluarganya dan menjadi tim pendukung mereka. Berbeda dengan marshal penyelenggara, tim support dari komunitas yang lebih mengenal para pelari menjadi booster tersendiri bagi peserta.
National Director SOS Children\'s Villages Indonesia Gregor Hadi Nitihardjo menyampaikan penghargaan kepada para pelari dan pendukungnya. ”Mereka luar biasa menjadikan event RTC juga sukses luar biasa,” katanya. Kehadiran mereka dari daerah-daerah di Bali membutuhkan usaha yang luar biasa.
Menurut Hadi, Run to Care bertujuan menggalang dana dengan berbagai cara dengan menggandeng sebanyak mungkin orang. Kepedulian terhadap anak-anak yang kehilangan orangtua dan membutuhkan pengasuhan diharapkan menjadi tinggi. ”Dengan demikian, hak-hak mereka untuk mendapatkan pengasuhan dan pendidikan terbaik itu bisa tercapai,” ujarnya.
Dana yang terkumpul sebanyak Rp 2,1 miliar lebih diperuntukkan bagi pengasuhan dan pendidikan anak-anak di bawah pengasuhan SOS Children’s Village Indonesia yang jumlahnya 5.500 anak di sejumlah daerah Indonesia. Organisasi sosial nonprofit yang berdiri sejak 1949 tersebut bergerak di bidang pengasuhan alternatif bagi anak-anak yang telah atau berisiko kehilangan pengasuhan orangtua.
Sejumlah peserta sudah mulai menebak-nebak rute RTC tahun depan, apakah Aceh, Nusa Tenggara Timur, atau Medan. ”Saya malah ada gagasan, bagaimana jika peserta mereka lebih suka memilih berlari di mana?” kata Hadi. Nah!