Bangun Desa dan Beri Akses Pendidikan
KUPANG, KOMPAS - Pembangunan infrastruktur di desa dan akses pendidikan untuk warganya jadi satu-satunya cara memberantas perdagangan anak di Indonesia
Kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah membuat remaja dan anak-anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Indramayu Jawa Barat mudah tergiur iming-iming pekerjaan mudah dan gaji besar di luar negeri atau luar daerahnya, tanpa tahu bahwa mereka sedang diperdagangkan.
Liputan investigasi Harian Kompas sepanjang 3-27 Juli di TTS dan Indramayu menemukan, anak-anak di kedua daerah tersebut kerap diperdagangkan menjadi TKI ilegal dan bekerja di tempat prostitusi. Sebagian berakhir dengan kehilangan nyawa.
Di Kabupaten TTS warga umumnya bertani, namun lahan yang ada kurang produktif. Pertanian warga hanya mengandalkan suplai air hujan. Di Desa Tuppan Kecamatan Batu Putih, meski mayoritas warganya bertani, namun tak tersedia saluran irigasi untuk menunjang produksi pertanian warga.
Di Kabupaten TTS warga umumnya bertani, namun lahan yang ada kurang produktif. Pertanian warga hanya mengandalkan suplai air hujan
Sumur yang ada airnya digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di musim kemarau, penggunaannya tak bisa terus-menerus, karena suplai air sumur bakal menyusut dan habis.
Warga kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Jagung dan ubi yang jadi andalan memenuhi kebutuhan pangan tak bisa tumbuh. Menurut Benedikta Klau (34), ibu dua anak dan mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Desa Tuppan, selama musim kemarau, kesulitan hidupnya dimulai. “Kalau sudah musim panas begini, tak ada jagung lagi,” tuturnya.
Karena tak produktifnya lahan pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Benedikta harus mencari kayu bakar untuk dijual. Pilihan lainnya adalah bekerja sebagai tenaga angkut air di desanya. Hasilnya tak terlampau besar, sekitar Rp 10.000 sampai Rp 20.000 untuk satu pekerjaan.
Warga setempat lainnya, Dewi Maubanu (30) menuturkan, di musim kemarau makanan yang dikonsumsi kerap kali hanya jagung atau nasi, tanpa lauk. Praktis tak ada sayuran yang bisa tumbuh, maka makanan yang disantap pun terbatas nasi yang disiram air panas. “Makan nasi kosong saja. Siram air,” ucapnya.
Dari Desa Tuppan inilah, Yusrinda Selan berasal. Yusrinda adalah korban perdagangan orang yang tewas di Malaysia tahun 2016. Yusrinda memutuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas 1 SMK di Kecamatan Batu Putih. Yuliana (46), orangtua Yufrinda mengungkapkan, anaknya memutuskan tak melanjutkan pendidikan karena merasa membebani orangtua. Sementara sekolahnya juga jauh dari rumah.
Baca juga : Anak-anak Indonesia Diperdagangkan
Yuliana harus mengeluarkan ongkos transportasi setiap harinya sebesar Rp 20.000 agar Yufrinda bisa ke sekolah. Jarak rumah ke sekolahnya lebih dari 10 kilometer. Sementara ayah Yufrinda hanya bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tak tentu.
Kondisi serupa dijumpai di Desa Meusin, Kecamatan Boking TTS. Warga di sana masih mengandalkan hidup dari pertanian namun sarana produksi pertanian tak ada. Tak ada hasil pertanian yang dapat dijual ke daerah lain. Akses menuju Desa Meusin dikepung jalan rusak parah.
Kepala Desa Meusin, Paulus Silla mengatakan, tahun ini dana desa yang ada baru digunakan untuk membangun jalan antarkampung. Sementara untuk pertanian, tengah disiapkan anggaran untuk irigasi tetes, metode irigasi yang menghemat air dengan cara meneteskan air melalui selang ke tanaman. Irigasi tetes dipilih karena suplai air terbatas.
“Air sangat dibutuhkan untuk pertanian. Hingga kini, belum tersedia sarana mengairi air ke pertanian kami. Namun warga juga butuh akses jalan, sehingga kami buat jalan dulu,” jelasnya.
Desa Meusin tempat dua remaja putri, Desi Payon (17) dan Ori Kamlasi menjadi korban perdagangan anak. Desi diberangkatkan secara ilegal ke Malaysia tahun 2018 dan sampai sekarang tak diketahui nasib dan keberadaannya. Sementara Ori diberangkatkan ke Malaysia di usia 14 tahun pada tahun 2012 dan hingga kini juga tak diketahui keberadaannya.
Baca juga : Kalau Begini Terus, Pasti Mati
Pendeta Emmy Sahertian, aktivis anti-perdagangan orang di NTT, mengungkapkan, akar masalah perdagangan manusia di NTT adalah kemiskinan. Salah satu penyebabnya karena pertanian kurang produktif akibat suplai air yang terbatas.
Emmy pun berpendapat, pembangunan di desa seperti waduk dan embung menjadi solusi menyelesaikan kemiskinan warga. Apalagi warga tinggal di perbukitan yang jauh dari sumber air. “Dengan embung, masyarakat dikasih kesempatan tangkap air,” jelasnya.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mengungkapkan, pihaknya menyadari bahwa permasalahan mendasar munculnya TKI ilegal di NTT adalah kemiskinan. Sementara ketrampilan yang dimiliki warga juga belum memadai. Akibatnya dari 1.000 orang yang berangkat ke luar negeri, yang berhasil hanya 2-3 orang.
“Kita ingin agar dua hal ini diselesaikan. Yang pertama ketrampilannya ditingkatkan. Yang kedua, mendorong pertumbuhan ekonomi di desa sehingga masyarakat punya pilihan lain bahwa mereka tidak perlu keluar dari NTT. Mereka mampu bekerja untuk diri sendiri di NTT,” jelasnya.
Asisten Deputi Hak Perempuan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Destri Handayani menyampaikan, banyaknya warga NTT menjadi buruh migran lebih disebabkan kemiskinan di daerahnya.
“Terjadinya TPPO (tindak pidana perdagangan orang) disebabkan upaya masyarakat mencari uang dengan bermigrasi. Hal ini disebabkan tak ada sumber pendapatan di tempatnya, kurang lapangan kerja,” jelasnya.
Sekolah Terbatas
Selain kondisi ekonomi, terjeratnya anak-anak di NTT dalam perdagangan orang diduga karena masih terbatasnya akses pendidikan. Tingkat partisipasi sekolah untuk anak usia 16-18 tahun atau sederajat siswa SMA di Kabupaten TTS misalnya, baru 75 persen.
Selain kondisi ekonomi, terjeratnya anak-anak di NTT dalam perdagangan orang diduga karena masih terbatasnya akses pendidikan
Kondisi ini terjadi karena 0jumlah sekolah yang tersedia di Kabupaten TTS juga masih terbatas. Untuk satu kecamatan hanya tersedia 1 unit sekolah untuk SMA dan SMK, 5 SMP, dan 16 SD.
Minimnya ketersediaan sekolah ini akhirnya mengakibatkan banyak anak di Kabupaten TTS putus sekolah dan terdorong mengadu nasib sebagai TKI.
Sasaran perekrutan
Kemiskinan dan akses pendidikan yang sulit juga menyebabkan warga di Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sejak tahun 1995 silam menjadi sasaran perekrutan tenaga kerja untuk prostitusi di kota-kota besar.
Sebelum tumbuh gerakan anti-perdagangan orang yang didorong Yayasan Kusuma Bongas, ketersediaan sekolah di kecamatan ini sangat minim. Ketua Harian Yayasan Kusuma Bongas, Syarifudin mengatakan, hingga 2006 di Kecamatan Bongas hanya tersedia 28 SD. Namun untuk SMP, hanya tersedia 1 unit sekolah.
“Anak-anak kalau sudah tidak sekolah, mereka tumbuh dewasa dan membutuhkan aktivitas seperti bekerja. Akibatnya, dengan mudah mereka dijaring menjadi pekerja, seperti penghibur,” jelas Syarifuddin.
Baca juga : Melawan Perdagangan Orang
Pendidikan kemudian dijadikan senjata oleh Yayasan Kusuma Bongas memerangi perdagangan orang. Dimulai 2006, menurut Syarifudin, pihaknya mulai mendirikan SMP Terbuka Kusuma Bongas. Pendirian sekolah mendorong tumbuhnya sekolah lain. Hingga saat ini di Bongas tersedia 30 SD, 11 SMP, 2 SMA, dan 7 SMK.
“Lewat pendidikan, penyuluhan bahaya perdagangan orang dapat berjalan lebih efektif. Sejak dini, kami ajarkan anak-anak di desa kami untuk waspada terhadap perdagangan orang dibalik perekrutan TKI,” jelasnya.
Sementara menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengatakan, suburnya perekrutan TKI non-prosedural dikarenakan banyaknya calo tenaga kerja di perdesaan.
Calo-calo tenaga kerja itu tumbuh lantaran perusahaan yang menjadi pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) belum didukung oleh data potensi jumlah calon TKI secara nasional.
“Belum adanya data ketersediaan calon TKI secara nasional menyebabkan PPTKIS harus mencari sendiri calon TKI (lewat perekrut, sehingga tumbuh calo tenaga kerja). Sosialisasi yang minim terkait bahaya perekrutan TKI non-prosedural juga ikut berkontribusi (terhadap perekrutan TKI non-prosedural),” jelasnya.
Untuk meminimalkan terjeratnya anak dalam perekrutan TKI, Nusron mengatakan, pihaknya akan mengandalkan Kartu Prakerja yang tengah digagas oleh pemerintah saat ini. Menurutnya, kartu itu diharapkan dapat meminimalkan keterlibatan calo dalam rekrutmen calon TKI.
Dengan kartu prakerja, penduduk berusia produktif akan mendapat beasiswa pelatihan vokasi di balai latihan kerja (BLK). Dengan demikian, mereka juga akan terdata. Mata rantai calo pun akan terputus.
“Sehingga, untuk memenuhi permintaan dari Malaysia, PPTKIS cukup datang ke BLK untuk mendapat calon TKI. Selama ini BLK itu kosong sehingga PPTKIS harus cari ke bawah,” kata Nusron.