Pemodal Asing Akan Menyerbu Indonesia
Pemodal asing akan menyerbu pasar Indonesia. Arus masuk modal asing sudah terjadi sepanjang 2019 dan akan bertambah. Ini efek penuruan suku bunga inti (prime rate) oleh Bank Sentral AS pada hari Rabu (31/7/2019).
Pemodal asing akan menyerbu pasar Indonesia. Arus masuk modal asing sudah terjadi sepanjang 2019 dan akan bertambah. Ini efek penurunan suku bunga inti (prime rate) oleh Bank Sentral AS pada hari Rabu (31/7).
Modal asing yang dimaksudkan khusus untuk kategori investasi portofolio, seperti surat-surat berharga, antara lain saham dan obligasi terbitan Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, sepanjang 2019 ini saja sudah masuk sekitar Rp 170 triliun investasi portofolio asing. Ini setara 12,6 miliar dollar AS dengan asumsi kurs rupiah 13.500 per dollar AS.
”Penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS membuka ruang bagi penurunan suku bunga domestik,” kata ekonom Bank Danamon, Wisnu Wardhana.
Penurunan suku bunga secara teoretis dan empiris mendorong investasi dan konsumsi. Selain menurunkan suku bunga, Bank Sentral AS juga cenderung akan memasok uang beredar (easy money policy) ke pasar. Ini akan mendorong penambahan jumlah uang beredar ke seluruh dunia.
”Hasil investasi di Indonesia yang menarik berpotensi mendorong asing membeli aset-aset berbasis rupiah,” kata Wisnu.
Pasar menarik
Hal senada dikatakan para analis dan pengelola dana-dana investasi portofolio asing. ”Situasi membaik muncul bagi pasar negara berkembang karena kebijakan Bank Sentral AS,” kata Hironori Sannami, pedagang valuta asing di Mizuho Bank Ltd (Tokyo).
”Aset-aset negara berkembang pemberi hasil lebih tinggi akan lebih menarik investor,” lanjutnya.
Bloomberg melakukan survei sepanjang 18-26 Juni 2019. Ada keyakinan 42 manajer, pedagang, dan ahli strategi investasi asing untuk memasuki pasar obligasi dan pasar valuta negara-negara berkembang.
Goldman Sachs Asset Management juga melihat potensi dari pasar Indonesia, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. ”Kita akan melihat kenaikan kepemilikan obligasi negara berkembang (oleh asing),” kata Angus Bell, seorang manajer investasi portofolio Goldman Sachs.
Goldman menjadikan aset Indonesia sebagai salah satu favorit di samping Rusia dan Brasil. Ini juga dengan alasan, ”Kerawanan dari rambu-rambu keuangan relatif terkendali,” kata Bell.
Fakta empiris
Ketika Bank Sentral AS mematok suku bunga rendah akibat resesi pada 2008 di AS, sejumlah negara berkembang ketiban arus masuk investasi portofolio. Data dari Bank Indonesia menunjukkan arus masuk pada 2012 sebesar 9,2 miliar dollar AS hingga 26,07 miliar pada 2014.
Penurunan arus masuk terjadi sejak Bank Sentral AS mulai menaikkan suku bunga pada 2015. Arus masuk anjlok menjadi 16,18 miliar dollar AS. Kenaikan arus masuk terjadi lagi pada 2016 dan 2017.
Ketika Bank Sentral AS mematok suku bunga rendah akibat resesi pada 2008 di AS, sejumlah negara berkembang ketiban arus masuk investasi portofolio.
Arus anjlok lagi menjadi 9,3 miliar dollar AS sebagai efek taper tantrum, sebutan bagi pelarian modal asing karena rentetan kenaikan suku bunga inti. Bank Sentral AS menaikkan suku bunga dari kisaran 0-0,25 persen pada 2015 menjadi kisaran 2,25-2,50 persen pada 2019.
Janet Yellen, mantan Gubernur Bank Sentral AS, menyebutkan, selama kariernya di Bank Sentral AS terlihat korelasi kuat antara pergerakan suku bunga di AS dan pertumbuhan di seluruh dunia. Penurunan suku bunga di AS memberi efek positif pada perkembangan ekonomi global dan sebaliknya.
Mencegah resesi
Pada hari Rabu (31/7/2019), Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell mengumumkan penurunan suku bunga inti menjadi sekitar 2 persen-2,25 persen. Alasannya, antara lain inflasi rendah dan naiknya pinjaman korporasi. Situasi global yang rawan turut mendorong penurunan suku bunga.
Pada laporan Juli 2019, IMF menyebutkan ekonomi dunia akan tumbuh lebih rendah pada 2019 menjadi 3,2 persen. Ini turun 0,1 persen dari perkiraan IMF pada April lalu. Masalah Brexit (julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa), perang dagang AS-China, perseteruan dagang AS dengan Uni Eropa, serta kemelut dagang AS dengan Kanada dan Meksiko berpotensi melesukan ekonomi global.
Ulah Presiden Donald Trump menjadi isu paling banyak dalam laporan IMF yang menekankan pesan soal potensi kelesuan global.
IMF menyebutkan, potensi kelesuan muncul akibat ketidakpastian sistem Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang telantar oleh AS. Perusakan sistem produksi dan pasokan dunia serta gangguan pada kolaborasi global di industri teknologi informasi global sedang terjadi. Ulah Presiden Donald Trump menjadi isu paling banyak dalam laporan IMF yang menekankan pesan soal potensi kelesuan global.
Oleh sebab itu, IMF meminta Bank Sentral global melunak dari sisi moneter dengan menurunkan suku bunga. Tentu IMF juga menyarankan semua negara di dunia meluncurkan kebijakan pendorong ekonomi sekaligus menjaga rambu-rambu keuangan karena dunia masih dibelit utang yang relatif tinggi.
Trump menorpedo
Bank Sentral AS mengikuti secara tak langsung saran IMF. Hanya saja, Trump kembali berulah. Pada hari Kamis dia mengatakan, penurunan suku bunga Bank Sentral AS kurang tinggi. Dia mengharapkan penurunan sebesar 0,5 persen, bukan 0,25 persen.
Tidak lama kemudian, Trump mengancam akan mengenakan tarif 10 persen atas 300 miliar impor dari China. Ini di luar 25 persen tarif yang sudah dikenakan Trump pada 250 miliar dollar AS impor dari China.
Trump telah menorpedo upaya pencegahan potensi resesi dengan aksi-aksi dan ucapannya. Penjabat IMF, David Lipton, pada hari Kamis (1/8/2019) meminta AS dan China segera mengatasi kemelut dagang.
Akan tetapi, tindakan blunder Trump itu juga berarti akan memaksa Bank Sentral AS menurunkan lagi suku bunga lanjutan. Mantan Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan dan Janet L Yellen; Mantan Wakil Presiden Bank Sentral AS Donald Kohn; serta mantan Presiden Bank Sentral AS Biro New York Bill Dudley mendukung penurunan suku bunga inti lanjutan hingga 1 persen.
Urusan AS dengan China dan segala kemelut akibat aksi Trump akan memengaruhi dunia. Akan tetapi, fakta empiris lain menunjukkan, Asia di tengah kekacauan ekonomi Eropa dan AS sekali pun tetap tumbuh.
Dengan demikian, intinya ke depan setidaknya hingga 2020, negara berkembang dalam masa keemasan soal arus masuk investasi portofolio asing, sebagai buah penurunan suku bunga lanjutan. (AP/AFP/REUTERS)