Komitmen Antikorupsi Direksi BUMN Masih Bermasalah
›
Komitmen Antikorupsi Direksi...
Iklan
Komitmen Antikorupsi Direksi BUMN Masih Bermasalah
Praktik korupsi dalam tubuh badan usaha milik negara masih terus terjadi. Selain karena pengawasan internal yang kurang, komitmen antikorupsi pada level jajaran direksi juga masih bermasalah.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik korupsi dalam tubuh badan usaha milik negara masih terus terjadi. Selain karena pengawasan internal yang kurang, komitmen antikorupsi pada level jajaran direksi juga masih bermasalah.
”Meski kementerian ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi sudah melahirkan banyak program pencegahan korupsi, faktanya praktik korupsi di BUMN masih terjadi silih berganti. Salah satu penyebabnya ialah tidak berjalannya sistem pengawasan atau pengendalian internal di BUMN itu sendiri,” kata Direktur Visi Integritas Ade Irawan, Jumat (8/2/2019).
Menurut Ade, keberadaan pengendalian internal merupakan hal penting. Dengan tujuan, agar pimpinan BUMN tidak membuat kebijakan atau keputusan yang melanggar hukum dan mengarah pada tindakan korupsi.
Dia menilai, tidak berjalannya fungsi pengawasan internal disebabkan banyak posisi pengawas di BUMN, khususnya komisaris yang rangkap jabatan instansi lain atau tidak berasal dari kalangan profesional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilihan komisaris BUMN masih diwarnai kepentingan politik dan sering kali mengabaikan kompetensi terkait dengan bidang usaha dari BUMN yang akan ditempati.
Pada sisi lain, komitmen antikorupsi ataupun integritas pada level pimpinan atau direksi BUMN juga banyak bermasalah. Demi memperkaya diri atau mempertahankan jabatan, tidak sedikit pejabat atau direksi di BUMN yang nekat melakukan praktik korupsi.
”Dengan ditempati oleh direksi yang bermasalah secara integritas, inisiatif program antikorupsi, bahkan pakta integritas yang ditandatangani oleh BUMN sering kali menjadi sia-sia atau hanya sekadar seremonial belaka,” kata Ade.
Praktik korupsi di BUMN masih terjadi silih berganti. Salah satu penyebabnya ialah tidak berjalannya sistem pengawasan atau pengendalian internal di BUMN.
Ade menyoroti bahwa kasus korupsi yang menimpa sejumlah BUMN sudah seharusnya menjadi momentum untuk melakukan beberapa langkah pemberantasan korupsi. Selain itu, mendorong kembali terwujudnya BUMN berintegritas.
PT Angkasa Pura II dan PT Inti
Dugaan masih ada korupsi di lingkungan BUMN tecermin dari operasi tangkap tangan KPK atas Direktur Keuangan PT Angkasa Pura (AP) II Andra Y Agussalam pada Rabu (31/7/2019) malam. Andra diduga menerima suap dari perusahaan BUMN lain, yakni PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti). KPK menetapkan Andra dan seorang anggota staf PT INTI, yaitu Taswin Nur, sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, KPK mengamankan uang sejumlah 96.700 dollar Singapura atau sekitar Rp 1 miliar. Uang itu diduga terkait dengan proyek baggage handling system yang akan dioperasikan PT Angkasa Pura Propertindo (APP) bernilai sekitar Rp 86 miliar.
Ade menyampaikan, penangkapan sejumlah petinggi pada kedua BUMN tersebut pada akhirnya memperpanjang daftar kasus korupsi yang melibatkan BUMN. Korupsi di BUMN umumnya adalah penyuapan, gratifikasi, dan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Mayoritas korupsi di BUMN terkait dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN.
Pada 2018, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan terdapat kerugian negara Rp 3,1 triliun dari kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh BUMN. Kasus korupsi ini melibatkan 19 BUMN di Indonesia dan 28 orang, baik direktur utama maupun karyawan BUMN.
Kasus korupsi yang melibatkan direksi aktif BUMN pernah ditangani KPK sebelumnya. Pada 2019, KPK pernah menetapkan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II dan mantan Direktur PT Pelabuhan Indonesia II sebagai tersangka kasus korupsi.
Penetapan tersangka kasus korupsi juga disematkan kepada mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan dan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir. Mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mantan Dirut PT PAL Indonesia Firmansyah Arifin, dan mantan Dirut PT Asuransi Jasindo Budi Tjahjono juga terjerat kasus korupsi.
Pelaku yang dijerat tidak saja individu, KPK pada tahun 2018 bahkan telah menetapkan sebuah BUMN, yaitu PT Nindya Karya, sebagai tersangka korporasi. PT Nindya Karya terjerat kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Sabang, Aceh, tahun anggaran 2006-2011 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 313 miliar.
Upaya pencegahan
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menilai bahwa langkah pemberantasan korupsi di BUMN penting dilakukan melalui upaya penindakan dan pencegahan. Sebagai upaya penindakan, KPK sebaiknya tetap memprioritaskan pengusutan dan penuntasan kasus korupsi di lingkungan BUMN. Sementara untuk pencegahan korupsi, setidaknya ada tiga langkah yang perlu menjadi prioritas.
Pertama, Presiden Joko Widodo sebaiknya memberikan perhatian atas merebaknya praktik korupsi di BUMN dan mengambil langkah untuk mencegah peristiwa memalukan ini kembali terjadi. Salah satu langkah yang dapat diambil Jokowi antara lain memerintahkan kepada Kementerian BUMN untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh dan memperkuat satuan pengawas internal di semua BUMN. Proses perekrutan pejabat, termasuk direksi dan komisaris BUMN, sebaiknya dilakukan secara ketat dengan lebih mengutamakan pada syarat profesional dan integritas.
”Kemudian, program BUMN profesional dan berintegritas (profit) yang dirancang oleh KPK sebaiknya diadopsi oleh semua BUMN sebagai bagian dalam upaya pencegahan korupsi. Agar berjalan optimal, harus ada monitoring dan evaluasi secara berkala, baik dari KPK, internal BUMN, maupun Kementerian BUMN,” kata Emerson.
Ketiga, Menteri BUMN sebaiknya menerbitkan peraturan menteri BUMN yang intinya mewajibkan setiap BUMN menerapkan kebijakan antisuap, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) 37001 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Agar efektif, harus ada sanksi yang keras, bahkan pencopotan kepada jajaran direksi BUMN yang tidak menerapkan aturan tersebut.