Tak Ada Evaluasi, Efektivitas Pendidikan Karakter Belum Terukur
›
Tak Ada Evaluasi, Efektivitas ...
Iklan
Tak Ada Evaluasi, Efektivitas Pendidikan Karakter Belum Terukur
Hingga kini, belum ada sistem evaluasi mengenai penerapan Program Penguatan Karakter bagi siswa sekolah dasar. Alhasil, efektivitas dan tingkat keberhasilan program cenderung masih belum terukur.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini, belum ada sistem evaluasi mengenai penerapan Program Penguatan Karakter bagi siswa sekolah dasar. Alhasil, efektivitas dan tingkat keberhasilan program cenderung masih belum terukur.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memulai gerakan Program Penguatan Karakter (PPK) pada 2016 sebagai upaya dalam revolusi karakter bangsa. PPK mendorong agar pendidikan nasional memperhatikan olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga.
Wakil Kepala SDN 3 Menteng Ihal menyatakan, selama ini PPK telah dijalankan secara berkelanjutan lebih dari dua tahun. Hanya saja, hingga kini belum ada sistem pengadministrasian yang baik secara internal mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
”Mungkin karena kami menganggap penguatan karakter itu hal yang sudah lama kita terapkan, jadi pencatatan secara administratif belum kami lakukan,” kata Ihal saat ditemui di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Padahal, melalui evaluasi, efektivitas PPK bisa terukur. Menurut Ihal, keberhasilan PPK di SDN 3 Menteng hanya bisa digambarkan jika ia membandingkan dengan sekolah tempatnya mengajar sebelumnya.
”Siswa di sini lebih sadar tentang kebersihan dan patuh kepada guru. Saat berbaris di depan kelas, mereka akan diam jika guru sudah berbicara,” ucapnya.
Ihal menyebutkan, kegiatan-kegiatan di sekolah disesuaikan dengan karakter yang menjadi fokus dalam PPK, yakni religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan bertanggung jawab. SDN 3 Menteng bahkan memberikan porsi 75 persen untuk pendidikan karakter.
Untuk membentuk siswa yang religius, setiap pagi siswa Muslim diajak untuk berdoa dan tadarus Al Quran bersama di lapangan sekolah. Siswa kelas 5 dan 6 bergantian memimpin doa harian untuk adik kelas mereka. Selain itu, sekolah memberikan kebijakan istirahat pertama sebanyak 30 menit lantaran separuhnya digunakan siswa Muslim untuk shalat Duha.
Siswa di sini lebih sadar tentang kebersihan dan patuh kepada guru. Saat berbaris di depan kelas, mereka akan diam jika guru sudah berbicara.
Siswa yang beragama selain Islam juga menggelar ibadah di dalam ruangan setiap pagi. Hal yang sama mereka lakukan saat siswa Muslim menunaikan shalat Jumat. Adapun saat siswa Muslim menunaikan shalat Duha berjemaah, mereka beristirahat seperti biasa.
”Antarsiswa Muslim saling mengingatkan jika sudah masuk waktu shalat Duha,” kata Ihal.
Sementara itu, untuk membentuk karakter yang nasionalis, siswa juga diajak menyanyikan lagu-lagu nasional setiap pagi. Pada peringatan hari besar nasional, siswa akan mengikuti sejumlah lomba.
Setiap Rabu, sekolah mengadakan senam bersama dan kerja bakti membersihkan lingkungan dalam dan luar sekolah. Diharapkan, dari kegiatan tersebut, sikap gotong royong siswa bisa terbentuk selain pelaksanaan piket kebersihan di kelas.
”Saat piket juga mereka sudah bisa membagi tugas sendiri tanpa harus diarahkan guru,” kata Ihal.
Adapun untuk melatih kemandirian, sebelum pulang sekolah, siswa diajak untuk menuliskan agenda yang akan dilakukan setelah pulang sekolah hingga keesokan harinya. Dalam program ini, keterlibatan orangtua sangat dibutuhkan untuk mengecek agenda tersebut.
”Agenda tersebut termasuk tugas sekolah. Dari situ kejujuran siswa juga diuji. Siswa yang mengaku tidak mengerjakan tugas akan diringankan sanksinya,” ujar Ihal.
Kompas berkesempatan melihat kegiatan shalat Jumat di SDN 3 Menteng yang diikuti siswa dan siswi kelas 3-6. Sekitar 10 menit sebelum dimulai, siswa dan siswi kompak menggelar karpet di halaman mushala dan sebagian lapangan sekolah. Begitu pula seusai shalat Jumat, mereka juga berinisiatif menggulungnya.
”Setiap Jumat, siswa Muslim mengenakan baju muslim dari sekolah. Untuk siswa Kristen mengenakan seragam batik,” kata Ihal.
Saat khotbah Jumat diberikan oleh salah satu guru, sayup-sayup terdengar nyanyian dari salah satu ruangan di lantai dua sekolah. Di sana, kurang dari 10 siswa Kristen melaksanakan kegiatan ibadah mereka.
”Dari semua kelas, siswa beragama Kristen jumlahnya ada 11. Setiap pagi kami membaca firman, berdoa, dan bernyanyi. Siswa bergantian memimpin,” tutur Guru Agama Kristen SDN 3 Menteng, Lisda Butar Butar.