logo Kompas.id
Jatuh Cinta Berjuta Rasanya,...
Iklan

Jatuh Cinta Berjuta Rasanya, Patah Hati Tanya Didi Kempot

Hanya ada dua tema besar dalam lagu pop dari zaman ke zaman, yaitu jatuh cinta dan putus cinta. Karena tema itu pula, Didi Kempot dijuluki ”The Godfather of Broken Heart”.

Oleh
Frans Sartono, Wartawan Kompas 1990-2019
· 6 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/T0znwQagzxL1ZtL1H49n13pNfMU=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20190731WEN10_1564795904.jpg
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2019). Hampir dua pekan ini nama Didi Kempot menjadi perbincangan warganet. Lirik dan musik Didi Kempot yang bertema cinta dan patah hati seperti mewakili kisah anak-anak muda.

Hanya ada dua tema besar dalam lagu pop dari zaman ke zaman, yaitu jatuh cinta dan putus cinta. Dari tema tersebut lahir ribuan lagu, dengan beragam bahasa dan genre musik. Karena tema itu pula, Didi Kempot dijuluki ”The Godfather of Broken Heart”.

Musik industri di mana pun dari masa ke masa berputar-putar pada dua kutub itu: jatuh cinta dan putus cinta. Plus tema-tema varian di antara kedua tema besar tersebut.

Jatuh cinta melahirkan ”When I Fall in Love” sampai ”Can’t Help Falling in Love”. Putus cinta memopulerkan deretan lagu seperti ”The End of the World” dari Skeeter Davis, ”Bye Bye Love” milik Everly Brothers, ”Misery”-nya Beatles, ”Good Bye” versi Air Supply sampai ”Goodbye”-nya Rihana, plus puluhan lagu patah hati Didi Kempot.

Lagu jatuh cinta ditulis dengan lirik berbunga-bunga. Kata Titiek Puspa, ”jatuh cinta berjuta rasanya”, seperti yang dipopulerkan Eddie Silitonga pada paruh kedua era 1970-an. Akan tetapi, menurut Titiek Puspa pula, cinta itu ”Keeejaaaam, oh kejammm, pediiih oh pedih…”, seperti pada lagu ”Cinta”.

https://cdn-assetd.kompas.id/1Sgwo7cbY0eoIFpZALQvj-L1Or4=/1024x649/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FBW-19850627-II-20-ARR001_1564795982.jpg
KOMPAS/KARTONO RYADI

Memperingati HUT ke-20, harian Kompas, Kamis (27/6/1985) malam, menyelenggarakan resepsi di Flores Room, Hotel Borobudur. Berlangsung meriah, resepsi dihadiri sejumlah menteri, diplomat, kaum cendekiawan, serta para undangan lainnya. Titiek Puspa memeriahkan acara dengan melantunkan beberapa lagu.

Begitu pula dalam lagu-lagu Koes Plus. Saat kasmaran, Koes Plus menyerahkan ”setangkai mawar bunga”, bahkan bersedia ”menyerahkan semua milik-(ku)”. Akan tetapi, ketika putus cinta, suasana berubah menjadi muram. Terdengar lolongan anjing di tengah malam hujan yang ”sederas hujannya air mataku”. Dan, itu terjadi ”sejak cintamu tlah berlaluuu…”.

Putus cinta pada titik cukup ekstrem bahkan diibaratkan sebagai akhir dunia alias kiamat dalam ”The End of the World” gubahan Arthur Kent dan Sylvia Dee. Lagu itu direkam Skeeter Davis pada 1962 dan disukai orang dari masa ke masa sampai hari ini.

Orang-orang tidak mengerti bahwa ada seseorang yang hatinya remuk redam dan air mata bercucuran. Mereka tidak mau tahu bahwa bagi mereka yang putus cinta, dunia sudah berakhir. ”Why does my heart go on beating?/Why do these eyes of mine cry?/Don’t they know it’s the end of the world?/It ended when you said goodbye...”.

Begitulah putus cinta dalam lagu. Terlalu kelabu, memelas, dan sendu.

https://cdn-assetd.kompas.id/oFIeFjgsJuK4eoF8SDPLZEEanwg=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F20190215_KOES-PLUS_N_web_1550239841.jpg
KOMPAS/HARIADI SAPTONO

Meskipun hujan deras, Koes Plus tetap menghibur massa saat kampanye Golkar di Jakarta, Selasa (26/5/1992).

Patah hati

Ketika musik pop Indonesia mulai menggeliat pada awal 1960, tema patah hati sudah menjadi menu utama. Salah satu lagu yang fenomenal adalah ”Patah Hati” gubahan Rachmat Kartolo yang dibawakan sendiri oleh penciptanya. Lagu direkam di Studio Irama pada 1962.

Beberapa ungkapan ”wajib” lagu patah hati antara lain, ”air mata berlinang”, kemudian ”derita menanggung rindu”, serta ”musnah harapanku”.

Lagu ”Patah Hati” kemudian dibuat versi jawaban oleh perempuan penyanyi  Wilsa Thyssen. Dalam lagu itu, ternyata sang kekasih pun tidak kalah galau dan nelangsa. Itu sudah tampak dari judul ”Hatiku Pun Risau”. Bukan hanya risau, akan tetapi hidup pun menjadi ”hampa belaka…”.

https://cdn-assetd.kompas.id/iLUr66l6Z8MIN_CYqgPAb1yTKtc=/1024x847/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2FRACHMAT-KARTOLO-01-02_1564796326.jpeg
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Penyanyi Rachmat Kartolo

Lebih nestapa lagi adalah lagu Rachmat Kartolo, ”Pusara Tjinta”, gubahan Imam Kartolo. Jika dalam ”Patah Hati” hanya terjadi perpisahan, dalam ”Pusara Tjinta” sang kekasih sudah pergi ke alam baka.

Ia pun merintih ”Hatiku sengsara tak terkira/Karena cintaku yang musnah/Kau pergi untuk selama-lamanya kini hanya tinggal pusara”. Muncul lagi ungkapan ”berlinang air mata” dan ”hidup hampa belaka”.

Dan lagi-lagi, lagu ini pun dibuat satu paket dengan jawaban. Lirik dalam versi jawaban menggambarkan sang kekasih dalam posisi di alam baka.”Relakan daku pergi slamanya/Bersama cintamu yang setya…”. Sungguh teramat nestapa, sudah meninggal, masih tetap patah hati pula.

https://cdn-assetd.kompas.id/So54Y3vOW0xWCghnRuLum5H3PXU=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20130308XAR01_1564796386.jpg
KOMPAS/FRANS SARTONO

Penyanyi Rinto Harahap, Maret 2013

Dengan segala ratapan, air mata, atmosfer memelas, dan nelangsa tersebut, pada era 1960-an muncul istilah lagu-lagu cengeng. Lagu sejenis itu berlanjut pada era setelah 1960-an.

Namun, julukan lagu cengeng tidak disukai oleh pencipta lagu seperti Rinto Harahap dan Pance Pondaag, yang produktif menggubah lagu cinta pada era 1970-1980-an. Rinto, yang antara lain menciptakan ”Jangan Sakiti Hatinya”, lebih suka menyebut lagu-lagu putus cintanya sebagai mellow daripada disebut mendayu-dayu atau cengeng.

Iklan

Langgam Jawa

Didi Kempot tumbuh dalam tradisi lagu pop semacam itu. Ditambah lagi dengan budaya langgam Jawa yang melingkupi hari-hari Didi sejak kecil di Solo dan Ngawi. Langgam Jawa tidak lepas dari ”kekuasaan” tema wuyung alias kasmaran dan putus cinta ditinggal kekasih.

https://cdn-assetd.kompas.id/R3gnjAsw2lKVzqaYYvTBnuIDUMY=/1024x668/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20081124KUMB_1564796467.jpg
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Penyanyi campursari Didi Kempot tampil memeriahkan penutupan Festival Budaya Nusantara 2008 di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu (24/11/2008) malam.

”Wuyung” karya Ismanto menjadi salah satu langgam Jawa populer tentang insan kasmaran. Adapun ”Jenang Gulo” karya Slameto adalah jenis lagu patah hati karena dikhianati pacar.

Lagu-lagu nelangsa putus cinta yang populer di genre langgam Jawa antara lain ciptaan Dharmanto, seperti ”Lara Branta” (sakit asmara) dan ”Kencono Katon Wingko” (emas tetapi tampak pecahan gerabah).

Begitu pula lagu karya Bambang Mustari, ”Timbangono Tresnaku” (pertimbangkan cintaku) dan ”Keranta-ranta” (tersiksa) adalah jenis balada memelas karena kekasih ingkar janji. Juga lagu ”Pamit” dari Gesang yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan dinyanyikan Broery.

Dapat dikatakan, itulah tipikal lagu patah hati era 1960-an yang memengaruhi tema-tema lagu genre langgam Jawa pada era berikutnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/CSH3IH6Pib2lG49pmT0e1RPeswE=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F20190731WEN16_1564796582.jpg
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2019).

Lirik lagu Didi Kempot, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh suasana lagu-lagu tersebut, mulai populer pada akhir era 1990-an. Lagu-lagu Didi juga merefleksikan situasi sosioekonomi pada zamannya.

Sebut saja maraknya buruh migran yang harus meninggalkan kampung halaman menuju luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Realitas sosial tersebut melahirkan lagu dengan lokus stasiun, terminal, dan pelabuhan. Meski dramatisasi tetap sama, yaitu nelangsa ditinggal pacar dengan lokasi ruang publik.

Simak lagu ”Stasiun Balapan” dan ”Terminal Tirtonadi” karya Haranto alias Ranto Edi Gudel, ayah Didi. ”Janji lunga mung sedelo/Malah sewulan ra ono/Pamitmu naliko semono ing Stasiun Bapalan Solo. Lali opo pancen nglali. Yen eling mbok enggal bali...”.

Terjemahan bebasnya: saat pamit di Stasiun Balapan Solo, kau berjanji hanya pergi sebentar, bahkan kurang dari sebulan. Kau lupa atau pura-pura lupa. Dan jika ingat, kembalilah.

https://cdn-assetd.kompas.id/Lruix7zN1kTphIGYKGtiBGv6RNs=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2FDSCF4192.jpg
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Seniman campursari Didi Kempot tampil di acara Harlah Ke-21 Partai Kebangkitan Bangsa di Jakarta, Selasa (23/7/2019). Ratusan penggemar yang dinamai ”Sad Bois” dan ”Sad Girls” antusias menonton idolanya tersebut.

Begitu juga dalam ”Terminal Tirtonadi”, terminal menjadi lanskap perpisahan kaum patah hati. Sang kekasih ditinggal pergi tidak hanya dalam hitungan bulan, tetapi tahun, bahkan bertahun-tahun.

Didi Kempot kemudian mengekspansi tempat wisata yang ramai dikunjungi warga. Lokasi tersebut menjadi semacam kanvas, di mana drama patah hati digelar. Tersebutlah antara lain ”Banyu Langit” yang seperti disebut dalam lagu berada di Nglanggeran, Gunung Kidul, DI Yogyakarta.

Dalam ”Terminal Tirtonadi”, terminal menjadi lanskap perpisahan kaum patah hati.

Seperti pada ”Terminal Tirtonadi”, di ”Banyu Langit” juga terjadi drama orang ditinggal pasangannya berbulan-bulan tanpa kabar.

Demikian pula di lokasi lain, seperti ”Pantai Klayar” (Pacitan, Jawa Timur), ”Dalan Anyar” (di Terminal Kertonegoro, Ngawi, Jawa Timur), dan ”Kreteg mBacem” (jembatan di atas Sungai Bengawan Solo, penghubung Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo). Semua lokasi itu menjadi panggung drama patah hati.

https://cdn-assetd.kompas.id/1U7_8bbRxG0sJEQCxqJpXl5lUc0=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F08%2F898477c0-6bd8-418a-a0be-1dcb2b29254d_jpg.jpg
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Penyanyi Didi Kempot (kiri) membawakan sejumlah lagu di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Penampilan Didi Kempot ini merupakan rangkaian pentas pergelaran wayang kulit dengan lakon Kresno Jumeneng Ratu dengan dalang Ki Manteb Sudarsono di halaman Istana Merdeka, Jakarta.

Dengan atau tanpa lokasi, patah hati dirayakan Didi Kempot dengan lagu. Termasuk dalam ”Bojo Anyar”, ”Kalung Emas”, dan ”Suket Teki”. Cara ungkap, metafora, idiom bisa berbeda-beda, tetapi inti lagu tetap sama: patah hati.

Dengan atau tanpa lokasi, patah hati dirayakan Didi Kempot dengan lagu.

Dengan permisalan khas kultur agraris, dalam ”Suket Teki”, Didi menggambarkan pengorbanan jiwa raga yang dibalas dengan ingkar janji. ”Tak tandur pari, jebul thukule suket teki”. Kutanam padi, tetapi tumbuh rumput liar….

Apakah pendengar menjadi cengeng dan menangis-nangis dengan lagu-lagu patah hati Didi Kempot? Tampaknya tidak. Dalam penampilan di sejumlah daerah, yang tampak adalah orang gembira, berjoget dan bernyanyi.

Sebuah pesta gembira dari kaum yang mungkin patah hati dan suka hati dalam pimpinan Lord Didi alias The Godfather of Broken Heart.

Editor:
haryodamardono
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000