Ragunan yang Gersang Pesona Hewan
Berkunjung ke Ragunan, terlebih saat libur panjang seperti masa Lebaran, membawa orang serasa masuk ke ajang uji nyali. Keruwetan dan ketidaknyamanan lebih terasa ketimbang menikmati obyek wisata di selatan Jakarta tersebut.
Kompas mengunjungi Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan pada masa libur Lebaran tahun ini. Sembari berwisata, Kompas juga menggali sisi sejarah, perubahan, hingga berbagai masalah yang pernah terjadi di Ragunan.
Berkunjung ke Ragunan, terlebih saat libur panjang seperti masa Lebaran, membawa orang serasa masuk ke ajang uji nyali. Keruwetan dan ketidaknyamanan lebih terasa ketimbang menikmati obyek wisata di selatan Jakarta tersebut.
Sebelum berangkat, gambaran tentang kemacetan lalu lintas, antrean panjang, kesulitan mendapatkan tempat parkir, hingga suasana penuh sesak pengunjung menggelayut di kepala. Namun, kuatnya hasrat berwisata berhasil menepikan gambaran di kepala.
Benar saja, gambaran itu tidak terbukti, atau setidaknya belum terbukti. Perjalanan memasuki area kebun binatang melalui pintu barat berjalan cukup lancar. Hanya ada sedikit kemacetan di pintu depan (pintu utara ), lokasi yang sama dengan park and ride bus Transjakarta.
Sejumlah petugas, dibantu sukarelawan Pramuka, dengan sigap mengatur antrean mobil plus parkir masuk dengan sistem parkir elektronik. Sistem parkir elektronik ini mulai diterapkan Taman Margasatwa Ragunan pada Juni 2017. Tempat parkir yang tersedia cukup luas. Lahan parkir tambahan untuk parkir mobil. Tak hanya beristirahat, mereka juga membuka bekal dan makan siang di area tersebut.
Konservasi dan rekreasi
Gambaran sejumlah pengunjung yang memanfaatkan Ragunan sebagai tempat berpiknik agaknya tak bisa dilepaskan dari proses sejarah taman margasatwa ini. Awalnya, cikal bakal Ragunan berlokasi di Cikini, Jakarta Pusat, di sekeliling rumah seniman Raden Saleh. Luasnya hanya 10 hektar. Awalnya bernama Planten en Dierentuin saat diresmikan oleh pemerintah Batavia pada 19 September 1864, kemudian berubah menjadi Kebun Binatang Cikini.
Sarana ini pindah ke Ragunan pada lahan seluas 30 hektar. Gubernur Ali Sadikin meresmikannya menjadi Taman Margasatwa Ragunan (TMR) pada 22 Juni 1966. Dalam perkembangannya, lahan kebun binatang berkembang menjadi 147 hektar yang dihuni 2.009 satwa.
Ada hal penting dalam perjalanan waktu yang dialami rumah satwa ini. Misi dan fungsinya mengalami perubahan meski sekilas tampak sama.
Saat diresmikan Gubernur Ali Sadikin, TMR dinyatakan sebagai sarana pelengkap Ibu Kota bidang kepariwisataan. Termasuk di dalamnya rekreasi umum, koleksi binatang seluruh Tanah Air, pendidikan dan riset, tempat melindungi binatang yang terancam musnah, sekaligus tempat pembiakan dan perawatan.
Tahun 1981, fungsi tersebut ditekankan lagi, yaitu sebagai sarana rekreasi, konservasi, dan pelestarian hewan. Pada 1987, Wagub DKI Anwar Ilmar menyatakan, bukan aspek rekreasi yang penting, melainkan kesehatan serta pelestarian satwa.
Ketika dipimpin oleh drh Linus Simanjuntak (1990-an), ia menyayangkan fungsi TMR baru sebatas rekreasi. Menurut dia, (kebun binatang) yang ideal adalah tempat pelestarian, pendidikan, dan penelitian binatang.
Tahun 1993, Kartini Sjahrir yang menjabat Ketua Umum Yayasan KB Ragunan menyatakan bahwa tempat ini akan ditata dalam lima program. Program itu meliputi penataan fisik, operasi dan pemeliharaan, fasilitator, pendidikan, riset, peningkatan SDM, dan kegiatan kemasyarakatan. Sementara pada tahun 1997, Gubernur DKI Surjadi Soedirdja mengingatkan, kebun satwa ini harus berfungsi sebagai tempat pelestarian alam, termasuk resapan air, pendidikan, dan penelitian.
Sekarang, mengacu pada situs resminya (Ragunanzoo.jakarta.go.id), ada tujuh misi yang diemban kebun binatang ini. Pertama, meningkatkan kualitas kesejahteraan satwa. Selanjutnya untuk pendidikan lingkungan dan hubungan ilmiah dengan universitas, instansi terkait, dan lembaga konservasi.
Misi lain menyangkut profesionalisme sumber daya manusia, hubungan antarlembaga konservasi dalam dan luar negeri dalam program tukar-menukar satwa, kualitas pelayanan pengunjung, serta cinta satwa kepada masyarakat.
Bisa jadi tujuh misi itu adalah kelanjutan dari pernyataan Kepala TMR Marsawitri Gumay pada 2014. Menurut Gumay, TMR akan dikembangkan sebagai tempat pelestarian satwa endemis asli Indonesia. Konsep kebun binatang pun diarahkan dalam konsep kandang terbuka yang mirip dengan habitat asli satwa, termasuk penentuan zonasi kandang, seperti zona Afrika, Asia, peralihan, serta karnivora dan herbivora.
Tiket murah
Perjalanan berlanjut dengan membeli tiket. Harga tiket Ragunan terbilang sangat murah, hanya Rp 4.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk anak-anak.
Pembelian tiket dilakukan dengan kartu Jakcard yang dikelola Bank DKI. Kalau belum mempunyai kartu, pengunjung bisa langsung membelinya di gerbang pintu masuk. Kartu Jakcard juga bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti tiket masuk ke Monas dan sejumlah museum serta naik Transjakarta dan kereta komuter.
Harga tiket Ragunan yang sudah murah itu rupanya pernah juga mengundang persoalan. Belasan tahun lalu, kenaikan harga tiket sempat diprotes beberapa kali. Tahun 2000, tarif Rp 1.000 (dewasa) dan Rp 500 (anak-anak) akan dinaikkan menjadi Rp 3.000 (dewasa) dan Rp 2.000 (anak-anak). Ketika itu, menurut sejumlah warga, rencana kenaikan tidak sebanding dengan pelayanan dan koleksi satwa juga dianggap masih jelek.
Pada 2001, harga tiket masuk tetap dinaikkan menjadi Rp 2.000 (anak-anak) dan Rp 3.000 (dewasa). Bagi rombongan pelajar, mahasiswa, dan panti sosial ada diskon 75 persen.
Akhirnya, pada 2008, harga tiket pun naik sesuai harga sekarang, yakni Rp 4.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk anak-anak. Harga tiket yang sangat murah, diibaratkan seharga satu gorengan, memang membuat banyak pengunjung datang.
Namun, kontribusinya tidak berimbang dengan kebutuhan dana sesungguhnya. Tiket murah pun mencerminkan citra TMR hanya sebagai tempat rekreasi saja. Tahun 1977, Asisten Umum Direktur TMR Ismutomo mengakui bahwa TMR hanya sebatas untuk tamasya. Datang, lihat, dan pulang tanpa kesan apa-apa.
Tahun 1993, Gubernur DKI Jakarta Soerjadi Soedirdja malah menegaskan, Kebun Binatang Ragunan (KBR) tidak boleh berbisnis dan harus mengutamakan pelayanan pengunjung. Alasannya, sarana ini merupakan tempat rekreasi dan obat stres masyarakat kota.
Lalu, tahun 1988, drh Linus Simanjuntak, yang pernah menjadi pemimpin TMR, mengatakan, Ragunan adalah tempat rekreasi golongan masyarakat bawah. ”Ragunan dicitrakan untuk low income dan ini membuat masyarakat menengah atas, yang secara ekonomi berpotensi mendukung dana kebun binatang, sama sekali tidak berminat berkunjung,” ungkapnya.
Rekreasi
Benar saja, tiket yang sangat murah tersebut memang menarik banyak pengunjung. Tercatat dalam Badan Pusat Statistik, selama periode 1997-2017, jumlah pengunjungnya terus meningkat. Sebagai gambaran, tahun 1997, Ragunan dikunjungi 2,7 juta orang. Dua puluh tahun kemudian, jumlah pengunjung meningkat dua kali lipat menjadi 5,3 juta pengunjung.
Kurun waktu 1997-2007, jumlah pengunjung meningkat 2,1 persen per tahun. Adapun dasawarsa waktu berikutnya, Ragunan rata-rata dikunjungi 4,7 juta orang tiap tahunnya.
Beruntung jika pengunjung masuk kebun binatang melalui akses pintu belakang (pintu barat) yang berbatasan dengan Kavling Polri. Dari pintu tersebut, pengunjung hanya perlu berjalan beberapa meter untuk bisa menjumpai sejumlah kandang hewan.
Kandang burung unta yang pertama dijumpai. Kandang ini merupakan kandang terbuka, dibatasi oleh pagar anyaman besi setinggi kira-kira 2,5 meter. Pagar tinggi ini untuk membatasi gerak burung unta yang tingginya sekitar 2,5 meter dan bisa melompat dan berlari kencang.
Meski banyak orang, pengunjung tetap masih bisa menikmati pemandangan burung unta. Jalan berpapasan pun masih ada jarak lengang antarorang.
Di sebelah burung unta ada kandang gajah. Berbeda dengan kandang unta yang berpagar tinggi, pagar kandang gajah relatif rendah, setinggi pinggang orang dewasa. Kandang gajah ini berbentuk lingkaran sehingga bisa dinikmati dari berbagai sudut.
Tak jauh dari pagar terhampar parit selebar lebih kurang 3 meter untuk menghalangi gajah keluar. Adanya pagar rendah ini membuat pengunjung bisa berinteraksi dengan gajah. Kandang gajah ini juga lebih besar karena ada tempat beristirahat gajah.
Berjalan di antara lalu lalang pengunjung menjadi pemandangan biasa selama mendatangi kandang-kandang hewan. Semakin ke dalam (tengah), suasana ramai lebih terasa, bahkan terlalu ramai.
Lama-kelamaan rasa ramai itu menjadi rasa tak nyaman. Masalahnya, jalur pejalan kaki—atau jalan utama—juga dilewati pesepeda, mobil wisata keliling, sepeda motor petugas TMR, dan delman.
Dari semua itu, delman—yang jumlahnya cukup banyak—terlihat mengganggu karena lajunya agak kencang dan sang kusir harus sering ”menghalau” pengunjung supaya menepi. Bahkan, sesekali ada petugas yang ”mengingatkan” pejalan kaki karena delman akan lewat. Ini masih ditambah lagi dengan maraknya pedagang makanan dan suvenir yang berjualan di luar area kios resmi TMR.
Bagaimana dengan pesona satwa itu sendiri ? Setelah melewati kandang beruang, komodo, burung, dan beberapa lagi di Pusat Primata Schmutzer, hal itu sepertinya tidak membuat pengunjung antusias.
Kandang terlihat kosong, papan informasi (petunjuk arah) kurang informatif, dan petugas jaga jarang terlihat (kecuali di dekat pusat informasi). Namun, tampaknya hal tersebut tak terlalu jadi masalah. Bagi pengunjung, yang penting bisa menggelar tikar untuk makan dan berleha-leha di mana pun.
Pusat primata
Perjalanan lalu berlanjut ke Pusat Primata Schmutzer (PPS). Pusat primata ini lebih mudah dicapai dari pintu barat dan bisa ditemui setelah melewati kandang burung unta, gajah, dan komodo. Area ini cukup besar (13 hektar), kira-kira sepertiga kawasan Ragunan yang berlokasi di sisi selatan.
Masuk ke pusat primata ini, pengunjung tak perlu merogoh kocek dalam-dalam. Harga tiket per orang hanya Rp 6.000 pada Selasa-Jumat dan menjadi Rp 7.500 pada akhir pekan dan hari libur nasional. Pengunjung bisa menikmati keluarga primata, seperti owa, orangutan, simpanse, gorila, siamang, dan monyet ekor panjang.
Sebelum masuk lebih jauh ke pusat primata, mari menengok sejarah berdirinya konservasi primata tersebut. Agustus 1997 bisa dibilang menjadi salah satu momen penting bagi perjalanan TMR. Yayasan Pauline Schmutzer dan mitra lainnya resmi menyumbangkan bangunan kandang terbuka orangutan dan beberapa kandang primata lainnya.
Rupanya ini sebuah pengalaman baru yang dalam perjalanannya juga mengundang masalah baru. Tahun 2001, TMR berencana mendatangkan empat gorila jantan Afrika yang dikembangbiakkan di Kebun Binatang Inggris. Untuk dana pemeliharaannya ada subsidi Pemprov DKI Jakarta sekitar Rp 3,2 miliar setahun.
Hal ini kemudian memicu protes pihak DPRD karena nilainya melebihi usulan dana proyek DKI lainnya. Protes DPRD DKI juga terjadi ketika ada usulan untuk merehabilitasi WC TMR senilai Rp 18,7 miliar.
Agustus 2002, sarana ini resmi diserahkan kepada TMR. Walaupun berstatus milik TMR, penyandang dana masih berasal dari almarhum Ny Schmutzer dan Yayasan Gibbon (Inggris) selama tiga tahun ke depan. Bahkan, ketika itu pusat primata ini ditargetkan tak hanya berisi koleksi hewan primata, tetapi juga pusat pendidikan dan konservasi lingkungan hidup.
Hadirnya PPS awalnya sempat menambah pemasukan dari karcis pengunjung, tiap tahunnya Rp 600-an juta (2002), Rp 1,3 miliar (2003), dan Rp 2,1 miliar (2004). Sementara itu, tahun 2003 pernah ada kasus tunggakan utang TMR dengan KB Sri Lanka.
Pada April 2003 ada perjanjian kerja sama, yaitu KB Sri Lanka akan mengirim dua macan tutul dan sepasang beruang yang akan ditukar dengan sepasang orangutan TMR. Satwa dari Sri Lanka sudah datang, tetapi entah kenapa orangutan tak ada kabarnya lagi.
Pesona empat gorila rupanya mulai menurun. Ini terungkap dalam rapat kerja Direksi TMR dengan DPRD DKI pada Januari 2003 yang membahas pemasukan (karcis) PPS yang dianggap tak mencapai target. Padahal, selama ini, seluruh biaya operasionalnya ditanggung Yayasan Gibbon.
Masalah keuangan PPS sempat mencuat lagi ketika tahun 2005 pengelola TMR mengajukan dana pemeliharaan gorila senilai Rp 4 miliar setahun kepada Pemprov DKI Jakarta. Menurut Yayasan Gibbon, anggaran itu sebetulnya hanya sekitar Rp 20 juta setahun.
Sementara pihak TMR berdalih dana Rp 4 miliar itu adalah kebutuhan keseluruhan, termasuk PPS. Kasus ini kemudian dianggap kekeliruan komunikasi antara pihak DPRD DKI Jakarta dan pengelola TMR karena dimaksudkan untuk anggaran tahun 2006 dan antisipasi jika terjadi pemutusan kerja sama dengan Yayasan Gibbon. Semua aset PPS senilai Rp 44 miliar akhirnya diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta pada Mei 2006 dan Yayasan Gibbon tetap menjadi tenaga ahli untuk pengelolaan PPS.
Kondisi pusat primata ini sekilas lebih bagus dibandingkan kandang hewan lainnya. Sebagian merupakan kandang kaca dan pengunjung bisa melihat hewan dari atas. Pengamanan juga lebih ketat. Pengunjung harus menitipkan tas, tidak boleh bawa makanan dan minuman.
Namun, begitu masuk ke dalam, kelihatan beberapa fasilitas kandang kurang terawat. Kaca kandang ada yang pecah. Papan informasi petunjuk hewan pun tidak lengkap sehingga tidak mengetahui asal-usul primata dan berapa jumlahnya.
Hanya ada satu primata yang terlihat di tiap kandang. Pemandangan itu berujung pada pertanyaan di kepala, berapa sebenarnya jumlah gorila dan simpanse yang ada di kebun binatang ini?
Kaki lima
Sebagai sarana publik, lumrah jika pedagang kaki lima (PKL) juga dilibatkan untuk meramaikan suasana TMR. Saat Ragunan sedang ramai, PKL asongan memilih untuk mendatangi pengunjung saat menawarkan dagangan.
Namun, di luar libur Lebaran, PKL lebih tertib. Penjual suvenir dan makanan terkonsentrasi di wilayah parkir (luar kandang-kandang satwa) dan di lokasi khusus pedagang makanan/suvenir).
Kehadiran PKL sempat menjadi persoalan yang kerap juga mengundang pro dan kontra. Pada 1981, misalnya, Pemprov DKI Jakarta menyediakan tambahan lahan untuk PKL di pinggir jalan dekat TMR menjelang libur Lebaran.
Sementara itu, pengelola TMR juga menyewakan sejumlah kapling yang strategis untuk pedagang. Akhirnya kondisi ini memicu protes keras para pedagang karena harga sewa itu terlalu mahal.
Eksistensi pihak luar, semacam PKL yang berjualan di TMR, tak selalu berjalan mulus. Tahun 1985, misalnya, muncul ide membangun Pasar Seni dan Industri Kerajinan (PSIK) berupa sejumlah kios untuk menampung para perajin di Jakarta Selatan sebagai sarana pemasaran suvenir bertema satwa.
Rupanya pembangunan sarana ini tidak sepengetahuan DPRD DKI Jakarta sehingga kelanjutannya tak jelas. Padahal, PSIK ditargetkan bisa memberi tambahan keuntungan TMR.
Hingga Mei 1987, dari 102 kios yang sudah berdiri, hanya empat yang terisi. Maret 2002, pengelola TMR akhirnya membongkar PSIK dan pedagang yang sudah berjualan harus pindah ke bangunan bekas karantina monyet.
Upaya menambah kemeriahan berwisata ke Ragunan juga pernah berakhir dengan kegagalan. Itu terjadi ketika berlangsung Ragunan Fair (Mei 1989) yang rupanya belum mengantongi izin Pemprov DKI Jakarta.
Saat itu, Ragunan Fairmenghadirkan ingar bingar pentas dangdut yang mengundang protes warga sekitar dan pihak pengelola TMR sendiri. Akhirnya pada Juni 1989 diputuskan berbagai perizinan, termasuk Ragunan Fair, dicabut dan segala kegiatan menjadi tanggung jawab pimpinan TMR. Tak bisa dimungkiri, pada akhirnya Ragunan selayaknya mengemban fungsi kawasan konservasi, tempat pemeliharaan dan perkembangbiakan hewan, bukan sebatas tempat rekreasi. (LITBANG KOMPAS)