Kedewasaan Politik Jeremy Hunt
Situasi krisis seringkali melahirkan pemimpin yang berani mengambil keputusan jelas dan memberikan harapan, bahkan yang terkadang tidak realistis. Mengusung strategi yang lebih realistis dan terukur dalam kampanye, Jeremy Hunt tampil sebagai calon ketua Partai Konservatif Inggris di waktu yang kurang tepat.
Dalam pemilihan ketua Partai Konservatif Inggris 2019, Jeremy Hunt menjadi kandidat yang bertarung hingga akhir melawan Boris Johnson, politisi populer pro-Brexit. Selama kampanye, Jeremy Hunt mengusung materi yang lebih realistis dan terstruktur terkait Brexit.
Di sisi lain, Boris Johnson menyebarkan harapan untuk segera melepaskan Inggris dari krisis Brexit yang tak berkesudahan. Hasilnya, Boris Johnson berhasil mengungguli Jeremy Hunt dengan kemenangan mutlak, 92 ribu melawan 46 ribu suara. Sebagai ketua Partai Konservatif terpilih, Johnson sekaligus menjabat Perdana Menteri karena partainya merupakan penguasa di Majelis Rendah Parlemen.
Kemenangan Boris Johnson memang sudah diramalkan oleh beberapa pihak terutama karena Boris Johnson selama ini terkenal sebagai salah satu politisi yang piawai menarik simpati publik. Mulai dengan konsistensi mendukung Brexit, pidato-pidato yang berapi-api, hingga berani tampil dengan gestur-gestur lucu demi menarik simpati publik.
Tawaran jabatan di pemerintahan tidak mudah membelokkan prinsip dan ideologi politisi Inggris.
Berbagai survei internal Partai Konservatif hingga survei lembaga independen pun menunjukkan keunggulan Boris Johnson. Dalam salah satu survei yang dirilis oleh Hansard Society pada April 2019, diketahui harapan publik terhadap calon pemimpin bagi Inggris.
Hasil penyelidikan tersebut menyebutkan bahwa 54 persen responden menginginkan pemimpin yang kuat dan berani menghantam aturan. Sedangkan, 66 persen lainnya berpendapat bahwa seorang politisi harus berani mengatakan gagasannya.
Baca juga: Masa Depan Inggris di Bawah Boris Johnson
Hasil survei tersebut menegaskan kesimpulan bahwa di tengah krisis Brexit yang tak berkesudahan, publik Inggris mendambakan sosok pemimpin yang tegas atau bahkan gila. Hal ini buah dari memuncaknya kejenuhan dan kegelisahaan rakyat Inggris terhadap kondisi politik negaranya, terutama krisis Brexit.
Jika dilihat dari hasil survei ini, citra Hunt kurang sesuai dengan PM Inggris yang didambakan. Jeremy Hunt lebih dikenal sebagai sosok yang lembut ketimbang keras. Kerap dijuluki “Affable Lummox”, atau kurang lebih “si kikuk yang ramah”, sebagai salah satu kandidat PM, Hunt hadir di waktu yang kurang tepat. Bagaimana jejak politik Jeremy Hunt di Inggris sehingga dianggap sebagai tokoh yang hadir di waktu yang tidak tepat?
Jejak Hunt dalam Pemerintahan
Jeremy Hunt sesungguhnya bukanlah figur baru di panggung politik Inggris. Setidaknya, ia telah muncul di Pemerintahan Inggris semenjak tahun 2005. Sejak 14 tahun silam, ia telah dipercaya sebagai menteri bayangan, menteri tandingan dari partai oposisi, untuk kaum difabel. Berjalan dua tahun, ia pun didapuk sebagai menteri bayangan bidang kebudayaan dari Partai Konservatif Inggris.
Setelah Partai Konservatif berhasil menduduki kursi kepemimpinan Inggris pada 2010, Hunt dilantik menjadi Menteri Kebudayaan. Pada masa kepemimpinannya yang hanya berumur dua tahun, ia pun turun menyukseskan Olimpiade London. Menariknya, keberhasilan Olimpiade London 2010 salah satunya merupakan hasil kerja sama Jeremy Hunt dengan Walikota London saat itu, Boris Johnson.
Semua ada waktunya. Ada waktu berdebat, ada juga waktu untuk bekerja.
Posisi paling lama yang diemban Hunt dalam Pemerintahan Inggris adalah sebagai Menteri Kesehatan. Menjabat selama 7 tahun, beberapa kebijakan yang ia buat menimbulkan pro dan kontra. Salah satu kebijakannya yang paling dikritik adalah terkait dengan National Health Service (NHS).
Semenjak dibentuk, pembiayaan Pemerintah Inggris untuk kesehatan rata-rata mengalami peningkatan sebesar empat persen di atas inflasi tiap tahunnya. Melihat hal ini, pemerintah yang dipimpin oleh Partai Konservatif pun ingin memangkas biaya kesehatan Inggris, yang berarti juga memotong pembiayaan NHS.
Celakanya, tren penggunaan NHS dalam rentang tahun 2005 hingga 2015 justru meningkat sebesar 30 persen. Tidak hanya itu, mereka yang menggunakan layanan darurat (emergency) rumah sakit pun didominasi oleh kelompok masyarakat berumur 85 tahun ke atas. Oleh karena itu, menurut Office for Budget Responsibility (BPK Inggris), kebutuhan anggaran untuk NHS meningkat sebesar 4,6 persen tiap tahunnya.
Penghematan anggaran ini terbukti berdampak buruk. Selama Hunt memimpin program jaminan sosial nasional inggris ini, layanan gawat darurat di rumah sakit Inggris anjlok. Pada 2018, hanya 85,3 persen dari pasien gawat darurat yang dapat ditangani, terpaut jauh dari target nasional yang sebesar 95 persen. Capaian ini pun menjadi yang terburuk selama NHS didirikan semenjak tahun 1948.
Tidak hanya itu, ia juga dikritik oleh para dokter muda di Inggris. Hal ini disebabkan oleh rencananya pada 2020 yang akan mengubah kontrak kerja dokter muda Inggris menjadi 7 hari kerja. Ia beranggapan bahwa para dokter muda ini harus mengabdi kepada masyarakat sehingga bekerja lembur serta bekerja penuh 7 hari dalam seminggu sudah menjadi kewajiban bagi mereka.
Tak ayal, kemarahan dokter-dokter muda yang tak terbendung ini mengantarkan mereka untuk turun ke jalan dan berdemo pada tahun 2016. Akibatnya, selama 2 hari aksi mogok kerja, rumah sakit beberapa wilayah Inggris pun lumpuh.
Proposal Brexit dan Jalan Menuju No. 10
Walau kebijakannya menuai pro dan kontra, karier politik Jeremy Hunt naik perlahan. Pada pemilihan Ketua Partai Konservatif 6-8 Juli lalu, ia berhasil melewati lima ronde pemungutan suara dan berakhir pada posisi ke dua setelah Boris Johnson. Setidaknya, hal ini masih membuktikan pengaruhnya di Pemerintahan Inggris, terutama di tubuh Partai Konservatif.
Selama kampanye pemilihan silam, tidak dapat dimungkiri bahwa Brexit menjadi topik yang paling utama. Publik membutuhkan pemimpin yang dapat menangani krisis Brexit dengan selamat, baik secara “Deal atau No-Deal”. Walau tidak mempromosikan solusi sekeras Johnson yang kukuh dengan No-Deal Brexitnya, solusi yang ditawarkan Jeremy Hunt sesungguhnya lebih realistis, terukur dan terarah.
Walau pada awalnya Hunt adalah seorang Remainer, pihak yang menolak Brexit, Hunt bukanlah seorang yang anti-Brexit. Dalam kampanyenya, berkali ia sebutkan bahwa Brexit adalah sebuah keniscayaan dan mengkhianati Brexit sama saja mencederai referendum yang merupakan bagian dari konstitusi. Maka, ia pun menawarkan solusi jalan tengah.
Setidaknya terdapat 10 rencana aksi yang telah ia kumandangkan selama masa kampanyenya. Kesepuluh rencananya ini didasarkan pada kesadaran bahwa ada kemungkinan di mana kesepakatan antara Pemerintah Inggris dan UE tidak tercapai hingga tenggat waktu 31 Oktober. Tujuannya adalah agar jika Inggris tetap selamat meski harus keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Jika disarikan, kesepuluh rencana Hunt ini dapat dikelompokkan dalam empat isu. Pertama, kesiapan pemerintah dalam menghadapi No-Deal Brexit. Ia menekankan bahwa pekerjaan Inggris, jika No-Deal Brexit benar benar terjadi, akan berat. Bahkan, Hunt berjanji untuk membekukan seluruh cuti, selama masa perundingan dan transisi Brexit, yang diajukan pegawai pemerintah jika nantinya terpilih.
Untuk mempersiapkan kabinetnya, ia pun berencana membentuk Satgas Brexit yang akan ia pimpin sendiri. Satgas ini direncanakan sebagai pusat koordinasi dan komando terkait langkah pemerintah dalam hal Brexit. Secara spesifik, satuan tugas ini akan difokuskan pada penanganan industri dan proyek infrastruktur yang terdampak oleh Brexit.
Selain dari segi sumber daya manusia, Hunt juga akan segera mempersiapkan biaya cerai Brexit. Ia berjanji akan segera menyiapkan Kementerian Keuangan Inggris untuk pembiayaan mahar cerai No-Deal Brexit, di mana ia berikrar tidak akan membayar lebih dari nilai yang memang telah disepakati dari awal.
Kedua, mengupayakan Brexit dengan kesepakatan. Walau telah bersiap atas terjadinya kemungkinan terburuk, Hunt berjanji untuk tetap mengupayakan kesepakatan dengan UE. Maka ketika ia terpilih, Hunt berencana untuk berkeliling negara-negara anggota UE dan bertemu pemimpinnya sebagai upaya “jemput bola” atas tercapainya kesepakatan.
Ketiga, mitigasi dampak No-Deal Brexit bagi dunia usaha di Inggris. Hunt sadar betul bahwa No-Deal Brexit akan berdampak pada jalannya bisnis di negaranya. Sebagai bantuan bagi para pengusaha yang terdampak, Hunt pun memberikan fasilitas pemotongan pajak korporasi sebesar 12,5 persen, meringankan pajak bagi lebih dari 90 persen UMKM, dan meningkatkan insentif pemerintah hingga di angka lima juta poundsterling.
Selain itu, Hunt juga memerintahkan Kementerian Keuangan Inggris untuk menjalankan program No Deal Relief Programme, di mana enam juta poundsterling akan digelontorkan pada para pelaku industri perikanan dan pertanian yang dianggap paling terdampak dari skema No-Deal Brexit.
Terakhir, menyelesaikan persoalan perbatasan. Salah satu isu yang menghantui Brexit adalah tentang perbatasan negara Inggris pasca-Brexit, terutama dengan Irlandia Utara. Berangkat dari isu ini, ia berencana untuk membentuk tim negosiasi untuk berunding dengan Irlandia Utara dan Skotlandia. Selain itu, ia juga menyampaikan komitmennya untuk mendanai upaya penyelesaian persoalan perbatasan.
Berbicara perbatasan tidak hanya soal garis batas negara di peta, tetapi juga terkait dengan keluar masuknya arus barang serta perdagangan. Maka, dalam rencana Brexit Hunt, ia akan membentuk Komisi Logistik Nasional yang bertugas untuk memastikan keluar masuknya logistik dari dan ke Inggris jika No-Deal Brexit terjadi.
Selanjutnya, Hunt berjanji untuk mengkalibrasi tarif pabean, terutama agar para pelaku industri kecil dan menengah tidak terlalu kaget dengan perubahan tarif impor-ekspor yang berubah pasca No-Deal Brexit. Terakhir, ia juga akan memastikan bahwa Inggris akan tetap terbuka dengan dunia Internasional, bahkan jika Brexit terjadi tanpa adanya kesepakatan.
Beda Pandangan Partai Konservatif
Bukan merupakan sebuah rahasia lagi jika Brexit memicu perpecahan dalam Partai Konservatif. Setidaknya hingga saat ini, terdapat dua kubu yang bertambat pada sosok Theresa May dan Boris Johnson.
Intinya, anggota parlemen yang di belakang Theresa May adalah mereka yang masih ingin mengupayakan kesepakatan dengan Uni Eropa. Sedangkan mereka yang mendukung Boris Johnson memilih untuk keluar dari UE tanpa kesepakatan daripada harus merendahkan harkat martabat Inggris di hadapan pemimpin negara UE lainnya.
Tak ayal, setelah Johnson terpilih, lebih dari separuh kabinet Pemerintahan Theresa May dipecat atau mengundurkan diri. Salah satu yang mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum pemenang ketua Partai Konservatif ditetapkan adalah Menteri Keuangan Philip Hammond dan kemudian Jeremy Hunt sendiri sebagai Menteri Luar Negeri.
Pengunduran Philip Hammond sebagai Menteri Keuangan sebenarnya bukan menjadi sebuah kejutan lagi karena sedari awal ia telah menyatakan keinginannya untuk mundur jika Boris Johnson terpilih. Hal ini karena ia sangat tidak setuju dengan skema No-Deal Brexit yang digadang-gadang oleh Johnson.
Yang justru mengherankan justru keputusan dari Jeremy Hunt untuk mundur dari kabinet. Jika ditarik mundur, Hunt merupakan seorang yang setia pada pekerjaan dan gigih bekerja di kabinet. Hal ini terbukti saat masa kepemimpinan Theresa May.
Saat itu, Hunt tetap bertahan di kabinet meskipun ia adalah seorang Remainer. Setelah Johnson terpilih, ia justru segera menawari Hunt posisi baru sebagai Menteri Pertahanan. Namun, tawaran ini segera ia tolak dan kemudian mengumumkan pengunduran dirinya dari kabinet.
Alasannya, Hunt merasa bahwa sudah saatnya untuk turun gelanggang dan membantu dari balik belakang layar. Walaupun terdengar klise, hal ini merupakan sebuah pernyataan sikap oposisi yang jantan. Bahkan, hubungan Hunt dengan rivalnya pada pemilihan silam pun baik. Dalam sebuah wawancara, ia menuturkan kekecewaannya, tetapi tetap menghormati keputusan partai dan siap membantu Johnson jika dibutuhkan.
Sikap serupa juga ditunjukan oleh Philip Hammond. Walau terlihat panas, hubungannya dengan Johnson tetap hangat. Ia menyatakan sendiri bahwa di luar pemerintahan, terutama perkara Brexit, ia tidak memiliki permasalahan apa pun dengan Johnson. Bahkan, ia menambahkan bahwa Johnson sejatinya merupakan orang baik, ramah, dan suka membuat orang lain tertawa.
Kedewasaan Politik
Perbedaan pandangan dan ketegasan sikap para politisi Inggris di atas dapat menjadi cermin bagi politisi di negara lain, termasuk Indonesia.
Pertama, perdebatan di antara para tokoh politik di Inggris merupakan perdebatan menyangkut cara dalam mewujudkan tujuan bersama, yaitu kesejahteraan yang lebih baik untuk rakyat Inggris. Oleh karena itu, dalam koridor yang sama, semua ada waktunya. Ada waktu berdebat, ada juga waktu untuk bekerja.
Setelah selesai bertanding dalam memperebutkan kursi Ketua Partai Konservatif, baik Boris Johnson maupun Jeremy Hunt segera menghentikan konfrontasi dan segera bekerja.
Jika dilihat dari hasil survei , citra Hunt kurang sesuai dengan PM Inggris yang didambakan.
Kedua, walau terlihat panas, persoalan yang ada di antara para politisi ini tidak bersifat personal. Oleh karena itu, di luar gelanggang, perdamaian dan sikap bersahabat tetap dijunjung tinggi oleh para politisi walau beda pandangan politik.
Ketiga, prinsip dan ideologi politik perlu dipertahankan dan dibuktikan dengan sikap politik yang teguh. Tawaran jabatan di pemerintahan tidak mudah membelokkan prinsip dan ideologi politisi Inggris.
Boris Johnson mundur dari jabatan Menteri Luar Negeri di masa May karena beda pendapat. Demikian juga Jeremy Hunt tidak mengiyakan tawaran menteri pertahanan dari Boris Johnson karena beda pandangan politik walau masih berada dalam gerbong Partai Konservatif yang sama. (LITBANG KOMPAS)