Meragukan Ragunan
Tiket masuk Taman Margasatwa atau Kebun Binatang Ragunan yang murah (Rp 4.000) berujung pada persoalan kekurangan dana. Kendati ada subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemeliharaan kebun binatang tetap butuh biaya besar.
Tiket masuk Taman Margasatwa atau Kebun Binatang Ragunan yang terbilang murah (Rp 4.000) berujung pada persoalan kekurangan dana. Kendati mendapatkan subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pemeliharaan kebun binatang tetap saja membutuhkan biaya lebih besar dibandingkan obyek wisata lain. Sudah idealkah anggaran yang ada untuk mengelola Ragunan?
Biaya untuk makan satwa saja paling tidak mencapai Rp 20 miliar. Biaya untuk gaji pegawai serta pemeliharaan sarana-prasarana dan kandang belum diperhitungkan. Kemungkinan besar bisa dua kali lipat biaya makan satwa.
Pendapatan dari tiket pada 2017 diperkirakan mencapai Rp 21,4 miliar, dengan asumsi 5,3 juta pengunjung membayar tiket dewasa seharga Rp 4.000. Pemprov DKI masih memberi subsidi sebesar Rp 113 miliar setiap tahun.
Di atas kertas total pendapatan tiket dan subsidi pemerintah tidak cukup untuk memenuhi biaya operasional kebun binatang. Namun, tak selamanya bisa mengandalkan subsidi dan pemasukan dari tiket.
Selama bertahun-tahun tercatat dalam pemberitaan Kompas, Ragunan selalu terbelit persoalan kekurangan biaya operasional.
Tahun 1988, total dana yang diperlukan saat itu sekitar Rp 2 miliar. Separuhnya terpakai untuk kebutuhan makan hewan, sementara pemasukan sekitar Rp 800 juta dari retribusi pengunjung sekitar 2 juta orang.
Dua tahun kemudian, dana operasional naik sekitar Rp 2,2 miliar. Ini digunakan untuk membayar biaya makan 4.000-an satwa dan gaji 400 karyawan. Sementara subsidi Pemprov DKI Jakarta Rp 1,2 miliar. Subsidi ini sempat naik menjadi Rp 2 miliar pada 1991.
Masalah kekurangan tambahan dana operasional mulai terbantu ketika Sahabat Satwa (SS) ikut menghimpun dana untuk TMR. Pada 1983, organisasi itu pernah menyalurkan bantuan pramuka Amerika Serikat yang menyumbang sekitar Rp 180.000. Lalu, mulai 1991, mereka juga mulai aktif mencarikan dana, baik dari perusahaan swasta maupun penjualan seperti kaus, kartu pos, dan poster bergambar hewan, pemutaran film, paket ulang tahun di TMR, jasa pemandu, hingga atraksi unik, seperti orangutan naik delman.
Sahabat Satwa juga mencoba menarik partisipasi masyarakat berupa paket menjadi anggota perhimpunan Sahabat Satwa dengan iuran per tahun Rp 20.000 untuk pribadi dan Rp 100.000 untuk keluarga. Partisipasi ini juga dimaksudkan untuk mendapat sukarelawan yang punya minat mendalam untuk satwa.
Tahun 1993, kebutuhan dana mencapai Rp 7 miliar, sementara pemasukan tiket pengunjung (2,3 juta orang) sebesar Rp 2 miliar. Ini pun dengan catatan sudah termasuk subsidi Pemprov DKI Jakarta Rp 2 miliar- Rp 2,5 miliar.
Tahun 1990, drh Linus Simanjuntak menyatakan, dana ideal TMR berkisar Rp 4 miliar-Rp 5 miliar. Ia mengatakan bahwa pengelola kebun binatang tak pernah cari untung, tetapi memelihara satwa jelas butuh biaya besar. Kekurangan dana melalui sumbangan dari dermawan ataupun sistem bapak angkat memang bisa saja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana membuat TMR lebih mandiri, tetapi bukan swastanisasi.
Status TMR pun kemudian menjadi Yayasan Kebun Binatang Ragunan (KBR). Perubahan ini mendapat respons yang baik karena melibatkan sejumlah tokoh dan pengusaha yang menjadi anggota dewan pendiri. Resmi berdiri pada 6 April 1993, drh Linus Simanjuntak menjadi Ketua Dewan Penyantun, yang kemudian digantikan oleh Dr Kartini Sjahrir.
Seperti organisasi SS, misi Yayasan KBR juga untuk mencari dana. Dana yang berasal dari para pengusaha dikelola secara independen. Hasilnya antara lain penyediaan tambahan pompa air untuk minum satwa, pembuatan kandang burung kasuari, rehabilitasi kandang, serta pembangunan hutan wisata (12 hektar), padang rumput (7 hektar), dan wetland area.
Selama bertahun-tahun tercatat dalam pemberitaan Kompas, Ragunan selalu terbelit persoalan kekurangan biaya operasional.
Bahkan ketika itu ada tambahan target, yaitu rumah sakit satwa sebanyak 14 bangunan yang dananya akan ditanggung pihak swasta. Mirip dengan SS, sekitar tahun 2003 juga ada Yayasan Satwa Indonesia yang mengajak masyarakat ikut berpartisipasi sebagai kakak asuh untuk TMR dengan cara menyumbangkan dana perawatan satwa.
Seperti hukum ekonomi, untuk menambah minat pengunjung, kebun binatang di negara mana pun pasti mengandalkan koleksi (satwa)nya, apalagi kalau terhitung langka dan dilindungi. Dari tahun ke tahun, sejumlah upaya dilakukan, misalnya menambah koleksi satwa istimewa, seperti harimau putih, komodo, gorila, walabi, jerapah, atau semacam tukar guling satwa dengan kebun binatang (negara) lain.
Persoalan mencari tambahan dana untuk menutupi biaya operasional masih terus terjadi. Hingga pada Juni 2013 ada usulan dari pihak DPRD DKI Jakarta untuk membangun wahana melalui kerja sama dengan PT Pembangunan Jaya Ancol. Bagaimana kelanjutannya tak jelas. Yang pasti, setiap tahun TMR perlu dana pengelolaan sekitar Rp 55 miliar dan Rp 34 miliar merupakan subsidi Pemprov DKI Jakarta.
Awal Oktober 2013, dalam diskusi bertema ”TMR Menuju Ramah Satwa”, Pemprov DKI Jakarta menyatakan akan menyiapkan dana Rp 400 miliar-Rp 500 miliar untuk menjadikan TMR lebih baik. Saat itu, Joko Widodo, yang juga Gubernur DKI Jakarta, mensyaratkan agar pengelola (TMR) memprioritaskan fungsi konservasi dan edukasi, sementara rekreasi hanya ketiga.
Bagaimana kelanjutan masalah dana TMR? Juli 2017, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyatakan, tiap tahun Pemprov DKI Jakarta menyubsidi TMR sebesar Rp 20 miliar. ”Untuk pakan satwa saja Rp 20 miliar,” ungkapnya. Ia juga mengingatkan bahwa pemeliharaan satwa akan sulit kalau hanya bergantung pada pemasukan dari tiket pengunjung.
Kematian satwa
Hingga akhir tahun 2013, kondisi TMR memang memprihatinkan. Sejumlah kasus membuat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta kecewa setelah berkunjung ke sana. Banyak kandang yang tak layak pakai dan tak aman (untuk satwa), juga ada 22 kasus kematian satwa dan penggunaan anggaran yang dinilai menyimpang. Ini masih ditambah lagi dengan pasokan air dari sungai setempat yang tercemar limbah rumah tangga dan pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di mana-mana, termasuk di dekat kandang satwa.
Kasus kematian satwa itu banyak terkait dengan lemahnya pemeriksaan, distribusi, dan kualitas volume pakan satwa. Akibatnya, daya tahan satwa menurun dan kerap berakhir dengan kematian.
Sementara itu fasilitas di PPS juga banyak yang rusak. Begitu seriusnya kondisi ini sampai pihak Inspektorat Provinsi DKI Jakarta melakukan pengawasan khusus terhadap kinerja TMR. Selain buruknya pengelolaan, misalnya masalah pemberian makanan yang berdampak pada kematian sejumlah satwa langka, manajemen juga diduga tidak memberikan laporan keuangan secara transparan.
Dari penelusuran pemberitaan Kompas, soal kematian satwa ini telah terjadi sejak 1980 dan terakhir terjadi Desember 2013. Diawali dengan kematian tiga harimau sumatera karena penyakit cacing tambang, kemudian berturut-turut adalah kematian kuda nil, burung kasuari, kanguru, burung kuwau, badak sumatera, harimau putih, orangutan, jerapah, dan walabi.
Bahkan bukan hanya soal satwa yang mati. Sejumlah satwa dikabarkan hilang secara misterius. Seperti pada tahun 1974, seekor angsa hitam asal Australia hilang. Pada tahun 2000, tiga komodo sempat hilang, tetapi ditemukan kembali di depan rumah dinas Direktur Ragunan.
Melihat perjalanan sejarahnya hingga kini, apa yang sedang terjadi sebetulnya? Ini adalah sebuah situasi kombinasi, antara tiket murah, kurangnya reinvestasi untuk perbaikan (sarana), dan lemahnya pemahaman konsep pemeliharaan hewan (termasuk kebun binatang). Mengutip pernyataan Ian Singleton (National Geographic, awal Februari 2017), ”Kebun binatang pada akhirnya hanya menjadi sumber hiburan, sementara di negara-negara lain, misi utama (kebun binatang) adalah konservasi dan edukasi.”
Singleton, yang juga mantan pengelola kebun binatang di Inggris, yang pernah 25 tahun tinggal di Indonesia sebagai konservasionis orangutan ini, standar yang diterapkan kebun binatang di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Bukan hal baru jika banyak satwa hidup dalam kondisi sarana yang sangat buruk, sementara pengunjung dibiarkan memberi makan satwa dan pemeliharaan kesehatan hewan kurang kompeten. Akhirnya, kebun binatang lebih untuk mencari keuntungan semata, dengan dalih agar bisa dinikmati segala golongan ekonomi.
Dengan harga tiket yang lebih murah dari nasi bungkus, apa yang bisa diharapkan untuk sebuah pengelolaan kebun binatang yang baik? Bagaimana dengan biaya pelatihan staf hingga penyediaan sarana kandang yang lebih layak?
Mau tidak mau harga tiket harus dinaikkan. Mungkin sebesar Rp 20.000. Harga tiket yang tinggi ini tentu akan membatasi jumlah pengunjung. Hal ini akan memberi kesempatan Ragunan untuk berkembang sebagai kawasan konservasi. Selanjutnya, keuntungan dari pemasukan harus diinvestasikan untuk kebutuhan pengelolaan yang lebih baik. Semua harapan tersebut bertujuan supaya bom waktu di Ragunan tidak meledak. (LITBANG KOMPAS)