Seperti biasa menjelang akhir musim dingin, matahari bersinar terik. Sinarnya memang memanggang kulit, tetapi tetap terasa dingin walau tubuh sudah berbalut jaket. Maklumlah, La Paz adalah ibu kota tertinggi di dunia.
Oleh
M Subhan SD
·4 menit baca
Sabtu, 3 Agustus 2019. La Paz, ibu kota Bolivia, siang itu bersuhu 13 derajat celsius. Seperti biasanya menjelang akhir musim dingin, matahari bersinar terik. Sinarnya memang memanggang kulit, tetapi tetap terasa dingin walau tubuh sudah berbalut jaket. Maklumlah, La Paz adalah ibu kota tertinggi di dunia.
Ketinggiannya kira-kira 3.600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ya, apabila mau dibandingkan, letak La Paz adalah setinggi Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Malam hari, udara bisa minus 3 derajat celsius.
Cuaca seperti itu tak menyurutkan saya menonton acara kolosal yang semarak, aneka warna, energik, dan meriah. Berbaur dengan ribuan orang yang sama-sama menikmati hiburan yang mengasyikkan itu. Namanya festival folklor universitas.
Festival tradisional ini bukan diadakan oleh pemerintah. Festival ini diselenggarakan para akademia dari universitas terkenal di La Paz, yakni Universidad Mayor de San Andres (UMSA). Acara ini merupakan gelaran rutin setiap tahun.
Sejak tahun 1988, acara ini menjadi atraksi umum yang menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Atraksi yang ditampilkan dalam festival itu diakui sebagai ekspresi budaya terhebat dari UMSA dan dianggap sebagai warisan budaya Bolivia. Dan, tentu saja, tidak diragukan lagi merupakan kebanggaan kota La Paz.
Atraksi yang ditampilkan dalam festival itu diakui sebagai ekspresi budaya terhebat dari UMSA dan dianggap sebagai warisan budaya Bolivia.
Sehari penuh acara itu digelar, yakni selama 12 jam. Jika acara dimulai pukul 10.00, festival akan berakhir pada pukul 22.00. Karena acara itu kolosal, arena yang dilewati pun ditutup total. Lokasinya di jantung kota La Paz, yaitu Jalan Avenida Ismael Montes-Avenida Mariscal de Cruz-Avenida Camacho-Avenida Simon Bolivar. Titik start di sekitar Avenida Montes dan berakhir di Avenida Bolivar di dekat Stadion Hernandes Siles. Kira-kira berjarak 3 kilometer.
Di sepanjang kiri-kanan jalan yang dilewati tersebut disediakan kursi untuk penonton. Mirip tribune penonton di stadion. Hanya saja, tribune itu bisa pasang-bongkar. Arena itu pun tertutup kain-kain sehingga tidak tampak dari luar.
Karena itu, penonton mesti merogoh kocek untuk dapat menyaksikan festival tersebut. Tarifnya macam-macam. Mulai 15 boliviano (Bs) di posisi belakang hingga 50 Bs di barisan depan. Kurs 1 Bs sekitar Rp 2.000. Setiap areal ada penjaganya. Setelah berkeliling ditemani Pablo Rene Taboada Orozco, menantu saya yang warga kota La Paz, kami akhirnya mendapatkan kursi seharga 20 Bs dengan posisi di bagian depan.
Sepanjang jalan tersebut terlihat atraksi dan tarian para peserta diiringi dengan musik yang energik. Para peserta mewakili fakultas yang masing-masing menampilkan tarian dengan tema berbeda. Mereka silih berganti seperti pawai atau parade, tetapi sambil menari. Dengan kostum yang didesain khusus dan unik serta aneka warna, festival itu begitu semarak. Merah, kuning biru, hijau, ungu, jingga, hitam, abu, putih menjadi pemandangan yang menyegarkan.
Para peserta menampilkan tarian tradisional, seperti caporales, morenada, tinku, saya, diablada, tobas, wititis, moceños, sicuris, ticca, tarian anting-anting, tupiceño, suar, potolos, chapaqueada, chacarera, pujllay, jula julas, dan calcheños.
Para penari begitu bersemangat dan energik. Mereka bisa larut menari dengan iringan musik yang menggema sepanjang acara. Namun, tak berarti mereka tak diganggu oleh penonton. Misalnya, mereka bisa berhenti saat asyik-asyiknya menari sewaktu tiba-tiba penonton mengajak swafoto alias selfie. Meskipun mereka menari dalam barisannya, kesan berbaur dengan penonton tiada sekat.
Pada festival itu, setidaknya 20.000 penari ikut berpartisipasi dan ada 72 komunitas persaudaraan yang turut serta. Mereka menampilkan kelompok musik, berbagai tarian dengan aneka koreografi, dan pakaian berwarna-warni yang menampilkan kekayaan budaya Bolivia. Para mahasiswa yang berpartisipasi mengatur sendiri dalam kelompok tari, terutama menampilkan tarian asli. Tujuannya untuk melestarikan dan mempromosikan warisan budaya Bolivia, khususnya La Paz.
Dengan jumlah peserta yang banyak dan jumlah penonton yang juga membeludak, festival itu mendapat penjagaan agar berlangsung lancar dan aman. Pemerintah Kota La Paz mengerahkan 670 aparat, sedangkan polisi/tentara yang diterjunkan sebanyak 1.000 orang. Mereka juga memonitor penjualan minuman beralkohol agar tidak membawa ekses negatif.
Apalagi, senyampang dengan festival tersebut juga diramaikan dengan pedagang kaki lima yang menggelar dagangan mereka. Karena itu, jalan-jalan di sekitar lokasi festival pun ditutup. Misalnya, Avenida de Julio yang merupakan pusat keramaian kota dipenuhi para pedagang kaki lima.
Festival folklor yang digelar UMSA itu membuat wajah kota La Paz begitu bewarna. Semua terlihat meriah. Tiada yang berkeluh kesah akibat penutupan jalan, misalnya. Penduduk kota La Paz justru menyambut acara yang memang rutin digelar setiap tahun itu. Apalagi, orang Bolivia suka menari. Dan, bagi turis asing, festival itu merupakan salah satu daya tarik La Paz.
Itulah the colorful of Bolivia atau colorido Bolivia. Seusai menonton, sambil menatap patung Simon Bolivar, pahlawan Bolivia dan negara-negara Amerika Latin lainnya, yang terletak di Avenida de Julio, saya membayangkan andai saja di negeri kita ada universitas yang menggagas acara kolosal tersebut, boleh jadi akan menjadi daya pikat unggulan di industri pariwisata sekaligus pelestarian budaya bangsa.