Menjaga Harmoni Ketersediaan dan Penyaluran Aliran Listrik
Memiliki panjang jaringan transmisi 53.278 kilometer sirkuit (kms) dan panjang jaringan distribusi 953.459,51 kms di seluruh wilayah Indonesia membuat jaringan listrik yang dikelola PT PLN tidak luput dari gangguan.
Memiliki panjang jaringan transmisi 53.278 kilometer sirkuit (kms) dan panjang jaringan distribusi 953.459,51 kms di seluruh wilayah Indonesia membuat jaringan listrik yang dikelola PT PLN tidak luput dari gangguan. Dua gangguan yang kerap muncul pada jaringan listrik PT PLN adalah gangguan transmisi dan gangguan distribusi.
Gangguan transmisi tenaga listrik terjadi pada penyaluran tenaga listrik dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem. Adapun gangguan distribusi tenaga listrik muncul pada penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke konsumen.
PT PLN mencatat, jumlah gangguan transmisi pada 2018 mencapai 707 kali dengan lama gangguan sebesar 1.781 jam. Jumlah gangguan transmisi ini meningkat dari tahun sebelumnya. Pada 2017, setidaknya terjadi 453 kali gangguan. Namun, walaupun jumlah gangguannya meningkat, lama gangguan mengalami penurunan. Pada 2017 lama gangguan mencapai 2.150 jam.
Sementara gangguan distribusi pada 2018 mencapai 40.875 kali dengan panjang jaringan yang terganggu mencapai 393.000 kms. Jumlah gangguan ini menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2017, gangguan distribusi mencapai 106.142 kali dengan panjang jaringan yang terganggu sebesar 401.000 kms.
Gangguan tersebut tidak jarang diikuti dengan padamnya listrik. Aliran listrik yang mati (black out) pernah terjadi pada 13 April 1997 di sebagian besar Jawa-Bali.
Padamnya listrik terjadi secara mendadak dalam waktu hampir bersamaan, yaitu pukul 10.15 WIB selama 10 jam. Penyebab padamnya aliran listrik ini adalah rusaknya peralatan proteksi (main protection) pada saluran penghantar sirkuit 1 Suralaya-Gandul.
Aliran listrik mati mendadak terulang kembali pada 18 Agustus 2005 di sebagian besar Pulau Jawa. Akibat padamnya listrik selama 3 jam, sekitar 3,2 juta pelanggan terkena dampak, terutama di daerah Jakarta dan Banten. Penyebabnya, malfungsi sistem proteksi directional earth fault (DEF) yang terjadi pada Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Cibinong-Saguling.
Listrik kembali padam di wilayah Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah selama lebih dari 5 jam pada 17 Maret 2009. Listrik mati disebabkan sistem kelistrikan Jawa-Bali kehilangan daya hampir 1.200 megawatt setelah terjadi korsleting (hubungan pendek arus listrik) di Gardu Induk Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya.
Gangguan pada Gardu Induk PLTU Suralaya sekitar pukul 11.39 WIB itu mengakibatkan PLTU Suralaya, yang terdiri atas tujuh unit pembangkit dan memiliki kapasitas total 3.400 MW, tidak bisa memasok daya ke sistem kelistrikan Jawa-Bali.
Di luar Jawa-Bali, listrik padam juga dialami pelanggan listrik di Sumatera Selatan dan Lampung pada 10 Maret 2002. Aliran listrik padam total hingga lebih dari 6 jam. Bahkan, di sejumlah tempat, listrik padam sampai 14 jam. Penyebabnya, terjadi gangguan jaringan interkoneksi Bukit Asam ke Lahat.
Kasus terbaru padamnya listrik terjadi pada 4 Agustus 2019. Listrik padam lebih dari 6,5 jam di hampir seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta sebagian wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Aliran listrik padam akibat gangguan pada sistem transmisi Ungaran dan Pemalang berkapasitas 500 kilovolt (kV). Gangguan menyebabkan energi dari timur ke barat gagal ditransfer sehingga terjadi gangguan ke semua pembangkit di sisi tengah dan barat Pulau Jawa.
Kebutuhan
Listrik sudah menjadi bagian penting bagi masyarakat modern. Berbagai alat elektronik dari ranah domestik hingga industri harus secara terus-menerus dipasok listrik.
Sebanyak 66 juta rumah tangga dilayani oleh PLN pada 2018. Selain itu, terdapat 5,8 juta pelanggan dari sektor lain, yakni industri, bisnis, sosial, gedung kantor pemerintahan, dan penerangan jalan umum. Sektor rumah tangga mendominasi konsumsi listrik, yaitu sebesar 72 persen dari total pelanggan PLN.
Melihat angka pelanggan PLN tahun 2018, rasio elektrifikasi atau jangkauan listrik terhadap masyarakat sebesar 97,05 persen. Angka ini terus ditingkatkan tiap tahunnya menuju elektrifikasi 100 persen.
Ketersediaan listrik Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik. Beban puncak listrik Indonesia tahun 2018 sebesar 38.770 MW yang dilayani dengan daya mampu 51.343 MW. Di atas kertas, pasokan daya listrik Indonesia sudah mencukupi kebutuhan.
Capaian ini menunjukkan peningkatan dibandingkan 49 tahun lalu. Harian Kompas edisi 31 Maret 1970 mengulas perbandingan antara kapasitas listrik negara Indonesia dan kota Tokyo, Jepang.
Saat itu, kapasitas terpasang listrik di Indonesia pada 1970 sebesar 650.000 kilowatt (kW), sedangkan di Kota Tokyo mencapai 750.000 kW. Daya listrik ibu kota Jepang lebih besar daripada negara Indonesia. Tingkat elektrifikasi Indonesia pada 1968 pun hanya 12,6 persen.
Pemerintah kemudian mengupayakan peningkatan daya listrik nasional. Mengacu pada Repelita VI Buku III dari Bappenas, melalui program Repelita I sampai V, Indonesia mampu memiliki pembangkit listrik dengan daya terpasang 21.598 MW. Listrik tersebut dihasilkan oleh PLN 13.178 MW dan 8.420 MW non-PLN.
Menginjak milenium kedua, daya terpasang listrik terus meningkat menjadi 36.873 MW. Selisih 18 tahun kemudian, pada 2018, daya listrik terpasang sudah mencapai 62.600 MW. Dalam kurun tersebut terjadi pertambahan daya lebih dari 25.000 MW.
Walaupun suplai listrik terus ditambah, di sisi lain kebutuhan listrik juga terus tumbuh. Berdasar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) oleh PT PLN 2017-2026, peningkatan kebutuhan listrik per tahun sebesar 8,6 persen. Hal ini perlu diimbangi oleh pertumbuhan ketersediaan listrik.
Rata-rata pertumbuhan ketersediaan listrik dari tahun 2000 hingga 2018 sebesar 7,9 persen per tahun. Dengan demikian, terdapat selisih 0,7 persen antara pertumbuhan kebutuhan dan bertambahnya pasokan daya listrik nasional.
Program 35.000 MW
Adanya celah antara persediaan dan kebutuhan mengharuskan adanya tindakan khusus. Proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW merupakan salah satu program pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menjawab kebutuhan ini.
Program yang diluncurkan pada 4 Mei 2015 itu dalam pelaksanaannya menargetkan akan dibangun 291 pembangkit baru, 732 transmisi, dan 1.375 gardu induk. Pembangunan ini dilakukan setidaknya untuk mencapai tiga poin tujuan.
Pertama, memeratakan pasokan listrik ke daerah yang belum teraliri atau mendapatkan listrik. Kedua, menyediakan cadangan listrik sebesar 30 persen di atas beban puncak pada setiap wilayah di Indonesia. Ketiga, menjadikan listrik sebagai modal pendorong pertumbuhan industri dan perkembangan wilayah.
Lalu, bagaimana pelaksanaan dan capaian megaproyek listrik 35.000 MW? Tujuan pertama program tersebut dapat dilihat dari rasio elektrifikasi. Angka perbandingan antara jumlah rumah tangga berlistrik dan seluruh rumah tangga terus meningkat. Rasio elektrifikasi tahun 2014 sebesar 81,70 persen, angka ini berhasil ditingkatkan menjadi 97,05 persen pada 2018.
Gambaran ketersediaan daya listrik dan beban puncak sebagai indikator sasaran kedua juga menunjukkan hasil positif. Berdasar Buku Statistik PLN 2018, wilayah Jawa memiliki beban puncak 27.098 MW, sedangkan daya listrik terpasang sebesar 37.722 MW. Adapun daerah luar Pulau Jawa memiliki daya listrik terpasang 19.824 MW dengan beban puncak 11.672 MW.
Jika merujuk data tersebut, di atas kertas kondisi daya listrik di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dalam kategori aman. Selisih daya terpasang dengan beban puncak Jawa sebesar 28 persen, sedangkan daerah luar Jawa 41 persen.
Jaminan
Capaian rasio elektrifikasi dan ketersediaan daya listrik menjadi modal yang baik untuk memajukan industri dan mengembangkan wilayah. Namun, terdapat faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu kelancaran transmisi dan distribusi listrik. Hal ini merujuk pada jaminan kualitas aliran listrik.
Poin ini penting dicermati dalam kerangka peningkatan program kelistrikan nasional. Jangan sampai secara kuantitas terjadi pemerataan akses listrik, tetapi di sisi lain terjadi problem dalam kualitas penyaluran jaringan listrik.
Berkaca dari kejadian gangguan listrik padam pada 1997, 2005, dan 4 Agustus 2019, muncul gugatan adanya ketidakstabilan sistem jaringan interkoneksi Jawa-Bali.
Sebuah sistem jaringan interkoneksi terutama bertujuan membuat pasokan tenaga listrik di kawasan yang terliput jaringan itu tidak pernah terputus meskipun ada pembangkit yang tidak aktif. Ketidakaktifan pembangkit listrik bisa terjadi karena diistirahatkan, dalam perawatan rutin, atau rusak. Namun, semua itu seharusnya tidak menghentikan pasokan listrik ke konsumen.
Dengan tidak berfungsinya satu atau beberapa beban, seharusnya tidak akan mengganggu sistem karena pembangkit lain akan menggantikan kekurangan daya itu. Namun, pada kasus matinya listrik pada 1997, stabilitas sistem interkoneksi Jawa-Bali terganggu dan bahkan terputus akibat pasokan dari PLTU Suralaya terhenti secara mendadak.
Hal serupa juga terjadi pada saat listrik padam tahun 2005. Stabilitas sistem interkoneksi Jawa-Bali menjadi sorotan karena dua pembangkit besar berada di ujung barat dan timur Pulau Jawa, yaitu Suralaya dan Paiton, tetapi hanya ada satu sistem transmisi.
Terus berulangnya kasus listrik padam menjadi tantangan bagi pemerintah dan PT PLN untuk juga memperhatikan kualitas penyaluran listrik. Menjaga keterpaduan antara penyediaan dan penyaluran listrik menjadi pedoman untuk menekan potensi gangguan transmisi serta distribusi listrik yang merugikan masyarakat luas. (LITBANG KOMPAS)