Salon Artjog
Perhelatan seni tahunan bernama Artjog berjalan di luar pakem. Sang penggagas, Heri Pemad, semula berniat menggelar art fair yang disebut Jogja Art Fair. Dua tahun kemudian, berubah wujud menjadi Artjog yang memotong alur ”perniagaan” antara seniman-galeri-pameran-kolektor.
Perhelatan seni tahunan bernama Artjog berjalan di luar pakem. Tahun 2008, Heri Pemad meniatkan menggelar art fair yang kemudian ia sebut sebagai Jogja Art Fair.
Dua tahun kemudian, perhelatan ini berubah wujud menjadi Artjog (2010), yang memotong alur ”perniagaan” antara seniman-galeri-pameran-kolektor.
Artjog memutus alur karena Heri sebagai pencetusnya langsung bekerja sama dengan para seniman, tanpa melibatkan galeri. Tentu saja ini berjalan di luar kebiasaan ”tata niaga” seni rupa kontemporer di dunia.
Ketika Art Basel Swiss digelar oleh pemilik galeri bernama Ernst Beyeler tahun 1970, ia melibatkan 90 galeri dari 10 negara di dunia, yang kemudian mendatangkan lebih dari 16.000 pengunjung.
Bahkan, ketika art fair yang diyakini sebagai yang terbesar di dunia ini berkembang ke Miami Beach, Florida, Amerika Serikat, tahun 2003 menjadi Art Basel Miami, dan kemudian berkembang lagi menjadi Art Basel Hong Kong tahun 2013, pameran ini tetap melibatkan galeri.
Galeri menjadi unsur penting dari art fair dalam skala dunia. Sebab, selain menerapkan kurasi yang ketat, biasanya kelangsungan hidup sebuah art fair disokong oleh galeri.
Nadi Gallery yang berpusat di Jakarta tak kurang menghabiskan biaya lebih dari Rp 1 miliar untuk menyewa booth di Art Basel Hong Kong setiap tahun. Biantoro, pemiliknya, lalu mengundang kurator untuk memilih seniman-seniman yang layak diboyong ke Hong Kong.
Art Basel Hong Kong memiliki dewan kurator yang bertugas menyeleksi galeri-galeri di kawasan Asia Pasifik untuk kemudian diperkenankan berpameran dengan sejumlah persyaratan yang ketat.
Ketika Artjog benar-benar dirilis tahun 2010, Heri Pemad tidak berpikir menyelenggarakan sebuah kurasi, yang menjadi wahana pertanggungjawaban kualitas seni secara akademis. Ia hanya ingin menggelar keramaian dengan mempertemukan berbagai pihak yang terlibat dalam ”pasar” seni rupa kontemporer di Tanah Air.
”Saya ingin pelukis ketemu galeri, ketemu kurator, dan ketemu kolektor karena jembatan ini yang sudah lama tidak ditangani secara baik,” kata Heri.
Ketiadaan kurasi membuat penyelenggaraan tahun-tahun pertama Artjog diserbu seniman. Tahun 2010 ia tidak kurang menerima aplikasi lebih dari 500 seniman. Selain itu, ketiadaan kurasi membuat Artjog tak beda jauh dari pasar seni.
Seluruh karya yang masuk kepada penyelenggara diberikan ruang untuk berpameran. Cara ini seolah-olah menempatkan Artjog lebih mengutamakan interaksi jual-beli ketimbang mempresentasikan pencapaian artistik dari para seniman.
Belum lagi pandangan sebelah mata dari para pemilik galeri yang melihat Artjog sebagai ”pelanggaran” etika penyelenggaraan sebuah art fair.
Dianggap beda, misalnya dengan Art Basel Hong Kong, yang meskipun beriorientasi pada ”omzet”, perhelatan ini tetap memberikan komitmen bahwa karya-karya yang dipamerkan adalah karya-karya terbaik.
Heri mendapatkan cibiran karena dirinya seolah-olah memindahkan keriuhan Pasar Seni Sukawati, Bali, dalam forum yang diisi para perupa kontemporer. Belum lagi pandangan sebelah mata dari para pemilik galeri yang melihat Artjog sebagai ”pelanggaran” etika penyelenggaraan sebuah art fair.
Setelah beberapa tahun berjalan, Artjog menjelma menjadi forum kesenian yang mendekati sebuah festival. Heri mempekerjakan beberapa kurator yang ditugasi mengurasi karya-karya seniman.
Hasil kurasi itu kemudian dipamerkan dalam ruang yang sangat terbatas, hanya meliputi 30-50 seniman setiap tahun. Pada Artjog MMXIX, misalnya, ruang pameran utamanya hanya memajang karya 39 seniman yang dinilai lolos kurasi.
Meski begitu, bukan berarti Artjog makin mengecil. Tahun 2013, Heri Pemad meluncurkan apa yang ia sebut sebagai Jogja Art Week. Ia mempersilakan galeri-galeri dan ruang seni di Yogyakarta menggelar perhelatan seni selama Artjog berlangsung. Tak perlu waktu lama, lebih dari 200 peristiwa seni pendamping berjalan selama Artjog digelar.
”Hampir setiap hari ada pementasan seni di banyak tempat,” kata Heri.
Festival ini, tambahnya, berlangsung sampai dengan 25 Agustus 2019.
Begitulah selalu kota bernama Yogyakarta. Setiap hari selalu ada terobosan gagasan yang kemudian memecah kebuntuan kreativitas. Tidak perlu merujuk pada tingkat pendidikan untuk menerobos kemapanan.
Rakyat di pedesaan Jurang Tembelan atau Hutan Pinus Dlingo, Bantul, misalnya, membangun titik-titik penting untuk mewadahi nafsu narsistik para wisatawan.
Setiap hari selalu ada terobosan gagasan yang kemudian memecah kebuntuan kreativitas. Tidak perlu merujuk pada tingkat pendidikan untuk menerobos kemapanan.
Di Jurang Tembelan, rakyat membuat perahu di atas ngarai, rakyat juga membuat rumah hobbit, sebagai tempat untuk berswafoto. Sejak itulah, wisata selfie menjadi tren pasar wisata di Yogyakarta dan kemudian diikuti daerah lain di Indonesia.
Sesungguhnya rakyat telah menemukan konektivitas antara perkembangan teknologi digital lewat telepon selular dan tren gaya hidup yang melanda kalangan urban.
Bukankah Heri Pemad juga menemukan titik yang serupa? Ia menyambungkan keinginan para perupa kontemporer untuk bertemu langsung dengan buyers atau kolektor. Pertemuan itu menjadi penting bagi seniman untuk ”mem-branding” diri sebagai seniman-seniman muda yang siap menjelajah medan seni rupa dunia.
Alasan pelibatan seniman muda, bagi Heri, sungguh masuk akal. Buatnya, seniman-seniman tua, biasanya disebut old master seperti Affandi, Soedjojono, Basuki Abdullah, Jeihan Sukmantoro, Sri Soedarsono, Widayat, dan beberapa seniman lain, sudah tidak terjangkau lagi.
Selain nilai karyanya sudah dianggap mahal, umumnya mereka juga sudah terikat kontrak dengan para pemilik galeri. Belum tentu galeri mengizinkan mereka untuk berpameran di luar kontrak yang sudah disepakati.
Lepas dari berbagai cibiran yang sampai kini mewarnai Artjog, perhelatan ini dalam beberapa tahun saja telah melekat sebagai bagian dari ”keistimewaan” Yogyakarta. Tak hanya para kolektor dari banyak negara, masyarakat awam seni pun kemudian menjadikannya sebagai agenda yang wajib dikunjungi setiap tahun.
Baca juga: Penghayat Kata-kata
Ruang pamerannya kemudian menjelma menjadi titik-titik selfie yang dianggap menumbuhkan cita rasa artistik. Bahwa selfie di hadapan karya perupa kelas dunia seperti Sunaryo berjudul ”Bubu Waktu”, misalnya, bisa ”mem-branding” diri sebagai bagian dari warga dunia penyuka seni.
Seni dianggap memiliki konten cita rasa dalam rangka identifikasi diri. Dengan demikian, ketika muncul di media sosial, secara serta-merta kita menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki etika pergaulan dan gaya hidup kelas menengah ke atas.
Begitulah pula yang terjadi di Perancis tahun 1863 ketika salon Madame Geoffrin bernama Salon de’Apollon menjadi tempat berkumpulnya para seniman. Kebiasaan itu berlanjut pada selir Raja Louis XV Madame de Pompadour dengan ruang riasnya yang terkenal bernama Salon des Rufuses.
Salon-salon di masa itu digunakan sebagai ruang pameran dan pembacaan puisi dengan kurasi yang amat ketat. Lahirlah pelukis-pelukis kenamaan seperti Edouard Manet, Denis Didorot, dan Boudin. Selain kemudian melahirkan sistem kurasi dan kritik seni, salon-salon itu juga menjadi medium bertemunya para seniman dengan kaum bangsawan.
Baca juga: Fenomena Koma
Barangkali salon-salon itulah yang kemudian melahirkan kelas borjuasi seni, yang melahap seni untuk mendapatkan status sosial. Dalam versi berbeda, Artjog punya misi ”mem-branding” para seniman who you are menjadi this is me dan juga memberikan peluang kepada pengunjung yang bukan siapa-siapa, menjadi ”aku hadir karena itu aku ada”. Jika filsuf Rene Descartes menyebut ”cogito ergo sum”, maka para pengunjung Artjog serempak menyambutnya dengan mengatakan ”aku selfie karena itu aku eksis”.