Cerita BUMN untuk Negeri
Beban utang yang terus meningkat dan problem tata kelola mewarnai kisah ”BUMN Hadir Untuk Negeri”. Di tengah maraknya temuan kasus korupsi di tubuh BUMN, rata-rata nilai utang BUMN di luar DPK meningkat 23,7 persen tiga tahun belakangan.
Beban utang yang terus meningkat dan problem tata kelola perusahaan mewarnai kisah ”BUMN Hadir Untuk Negeri”. Di tengah maraknya temuan kasus korupsi di tubuh BUMN, rata-rata nilai utang BUMN di luar dana pihak ketiga meningkat 23,7 persen tiga tahun belakangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, BUMN memiliki peran sebagai agen pencipta nilai dan agen pembangunan. Tujuan pendirian BUMN ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Agen pencipta nilai dimaksudkan bahwa BUMN bertujuan untuk mengejar keuntungan. Keuntungan diperoleh untuk menjaga agar usaha terus tumbuh serta berdaya saing lokal dan global.
Sedangkan agen pembangunan mengarah pada tujuan BUMN untuk memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara. Selain itu, BUMN juga bertugas menyediakan barang atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kemudian, BUMN juga merintis usaha yang belum dilakukan swasta dan koperasi serta mendukung ekonomi kerakyatan.
Dalam perkembangannya, jumlah perusahaan BUMN yang dinaungi kementerian BUMN kian ramping. Tahun 2009, jumlahnya berkurang menjadi 141 perusahaan yang terdiri dari 14 perum, 112 persero, dan 15 persero Tbk. Jumlah perusahaan BUMN terus menurun menjadi 119 pada tahun 2014. Jumlah tersebut terdiri dari 14 perum, 85 persero, dan 20 persero Tbk. Sampai triwulan III-2018, jumlah perusahaan BUMN tersisa 114 perusahaan.
Menurunnya jumlah perusahaan BUMN tersebut disebabkan beberapa hal. Pertama, perubahan status badan hukum perusahaan. Misalnya, BPJS, yakni PT Askes dan PT Jamsostek. Kedua, pembentukan holding sektoral, yakni perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan. Misalnya, pada periode 2013-2014, terdapat 14 BUMN perkebunan yang menjadi 1 holding BUMN Perkebunan.
Perubahan status badan hukum dan holding sektoral BUMN perlu dilakukan untuk menjamin pendanaan mandiri yang berkesinambungan. Artinya, pada tataran ideal, BUMN tidak lagi bergantung pada APBN. Selain itu, BUMN lebih berdaya melakukan penguatan sektoral dan menyelaraskan kegiatan operasionalnya.
Tuntutan BUMN
Seiring dengan pembentukan BUMN dan perubahan status badan hukumnya, proyek-proyek strategis pemerintah, seperti utilitas publik dan infrastruktur, dilimpahkan kepada BUMN melalui skema penugasan. Dengan program Nawacita yang diajukan Jokowi-Kalla, peran BUMN sebagai agen pembangunan semakin besar.
Dengan tanggung jawab dan peran yang besar, kinerja yang dihasilkan BUMN tentunya semakin besar. Di sektor infrastruktur jalan, pembangunan jalan tol baru merupakan proyek utama yang ditugaskan pemerintah. Dari 2015 sampai 2018, terbangun 782 kilometer jalan tol baru.
Di sektor infrastruktur energi melalui PT PLN, program pembangkit listrik 35.000 megawatt diluncurkan pada 4 Mei 2015 untuk memenuhi kebutuhan listrik yang semakin meningkat. Dengan program tersebut, angka perbandingan antara jumlah rumah tangga berlistrik dan seluruh rumah tangga terus meningkat. Rasio elektrifikasi tahun 2014 sebesar 81,70 persen. Angka ini berhasil ditingkatkan menjadi 97,05 persen pada 2018 (Kompas, 6/8/2019).
Pada sektor komunikasi, PT Telkom Indonesia telah mengusahakan pemerataan pelayanan digital di seluruh pelosok Nusantara. Jaringan fiber optik milik Telkom Indonesia telah mencapai 161.000 kilometer. Jaringan fiber optik Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) menjadi pencapaian BUMN di bidang komunikasi ini untuk membangun infrastruktur Indonesia sampai ke Indonesia timur.
Baca juga: Jokowinomics dan Peringatan IMF
Sementara di sektor perekonomian, pemerintah melalui BUMN perbankan memberikan bantuan kredit usaha rakyat (KUR). KUR diberikan untuk meningkatkan akses sumber pembiayaan usaha. Penyaluran KUR Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menunjukkan tren yang terus meningkat. Tahun 2015, nilai penyaluran KUR baru mencapai Rp 22,7 triliun, kemudian meningkat lebih dari empat kali lipat menjadi Rp 113,9 triliun tahun lalu.
Proyek-proyek pemerintah dibiayai oleh pihak pemerintah, BUMN, dan swasta. Hanya saja, mendorong masuknya investor swasta bukanlah perkara mudah kendati pemerintah menunjukkan komitmen konkret mendukung investasi.
Di sektor infrastruktur, misalnya, pemerintah sebenarnya memerlukan anggaran Rp 4.769 triliun untuk program pembangunan periode 2015-2019. Dana tersebut, menurut rencana, diserap oleh APBN/APBD sebanyak 41 persen, BUMN (22 persen), dan swasta 37 persen.
Namun, peran swasta terhadap pembiayaan infrastruktur menurun dari tahun ke tahun. Bank Dunia melaporkan bahwa pada periode 2010-2012 peran swasta mencapai 17 persen. Sementara pada periode 2011-2015 investasi swasta hanya 9 persen.
Sementara pada periode 2015-2019, kontribusi swasta terhadap pembangunan infrastruktur masih stagnan di angka 9 persen, jauh dari target, yaitu 37 persen. Karena itu, BUMN kini menjadi andalan pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan.
Mengendalikan utang
Di sisi lain, sebagai badan usaha, BUMN dituntut untuk menambah keuntungan. Maka, BUMN membutuhkan pembiayaan lain selain penyertaan modal negara, yaitu melalui utang.
Utang BUMN pada periode 2015-2018 terus meningkat. Pada 2018, utang BUMN mencapai Rp 2.394 triliun. Jumlah ini di luar dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 3.219 triliun. Pada 2015, utang BUMN di luar DPK mencapai Rp 1.299 triliun. Tercatat, 10 BUMN membukukan utang terbanyak, yakni BRI, Mandiri, BNI, PLN, Pertamina, BTN, Taspen, Waskita Karya, Telekomunikasi Indonesia, dan Pupuk Indonesia.
Baca juga: Infrastruktur dan Lonjakan Utang BUMN
Adapun 10 BUMN dengan utang terbanyak ini menjalankan beberapa program prioritas pemerintah yang membutuhkan biaya banyak. Misalnya, di BUMN Karya, Waskita Karya mengambil alih semua tol dengan membeli konsesi.
Kendati kemampuan membayar utang oleh BUMN masih terjamin, risiko depresiasi nilai rupiah masih mengancam. Pasalnya, sebagian utang BUMN adalah utang luar negeri yang nilainya rawan berfluktuasi seiring dengan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Tahun 2010, nilai tukar rupiah adalah Rp 9.078 per dollar AS. Kemudian, pada 2014, nilainya melemah menjadi Rp 11.885 per dollar AS. Nilai tukar rupiah paling lemah sepanjang delapan tahun terakhir terjadi pada 2018, yaitu Rp 14.267 per dollar AS.
Pada 2018, rupiah diperkirakan sulit kembali menguat ke level Rp 13.000-Rp 14.000 per dollar AS karena ketidakpastian perekonomian dan keuangan global masih akan berlangsung dua-tiga tahun mendatang.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2010, utang luar negeri BUMN mencapai 8.534 juta dollar AS. Jumlah tersebut meningkat sekitar 3,6 lipat menjadi 30.699 juta dollar AS pada 2014 dan pada 2018 mencapai 44.638 juta dollar AS.
Gambaran semakin besarnya nilai utang BUMN jika rupiah terdepresiasi, dapat dihitung berdasarkan perbandingan utang BUMN pada tahun tertentu dikalikan dengan nilai tertinggi dan terendah kurs rupiah di tahun bersangkutan.
Misalnya, kurs rupiah terhadap dollar AS terendah pada 2018 terjadi di bulan Januari, yaitu senilai Rp 13.413 per dollar AS. Jika dikalikan dengan utang BUMN pada 2018 senilai 44.638 juta dollar AS, maka dalam mata uang rupiah, utang BUMN mencapai Rp 599 triliun.
Namun, dihitung berdasarkan kurs rupiah terhadap dollar AS tertinggi di bulan Oktober 2018 senilai Rp 15.227 per dollar AS, maka utang BUMN meningkat menjadi Rp 680 triliun. Perbedaan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar Rp 1.814 saja meningkatkan nilai utang luar negeri BUMN sebesar Rp 80,97 triliun.
Tata kelola
Selain masalah utang, BUMN juga dihadapkan pada permasalahan tata kelola keuangan yang bersih untuk mencapai reformasi birokrasi, yaitu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) masih belum tercapai.
Pada April 2019, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) nonaktif Sofyan Basir ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU Riau-1. Sofyan disebut-sebut kerap bertemu Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Saragih, pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham untuk membahas PLTU Riau-1.
Kasus lain ditujukan pada korporasi, yakni BUMN PT Ninda Karya yang ditetapkan sebagai tersangka korporasi oleh KPK pada 2018 atas dugaan korupsi proyek pembangunan di Sabang, Aceh, tahun anggaran 2006-2011. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 313 miliar.
Baca juga: Infrastruktur dan Jaminan Pemerintah atas Utang BUMN
Kasus-kasus korupsi sebagian terjadi pada 10 BUMN yang mencatat utang terbanyak. Secara keseluruhan, jumlah kasus korupsi di tubuh BUMN cenderung meningkat pada periode 2015-2018, yaitu 11 sampai 13 kasus. Sebelum 2014, hanya berkisar dua hingga tujuh kasus (Kompas, 3/8/2019).
ICW mencatat kerugian negara hanya dari 19 kasus korupsi di BUMN mencapai Rp 3,1 triliun pada 2018. Kini, BUMN dihadapkan pada problem hadirnya kasus korupsi dan utang luar negeri yang bisa berujung merugikan negeri. (LITBANG KOMPAS)