Kekeringan yang melanda Indonesia lebih dipengaruhi oleh lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera. Fenomena yang dikenal sebagai Indian Ocean Dipole positif ini telah meningkatkan jumlah titik panas dan risiko kebakaran hutan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekeringan yang melanda Indonesia lebih dipengaruhi oleh lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera. Fenomena yang dikenal sebagai Indian Ocean Dipole positif ini telah meningkatkan jumlah titik panas dan risiko kebakaran hutan.
”IOD (Indian Ocean Dipole) positif lebih berperan memicu kekeringan selatan dan barat Indonesia, sedangkan untuk El Nino tidak lagi berperan karena beberapa data menunjukkan sudah berakhir,” kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto, di Jakarta, Kamis (8/8/2019).
IOD (Indian Ocean Dipole) positif lebih berperan memicu kekeringan selatan dan barat Indonesia, sedangkan untuk El Nino tidak lagi berperan karena beberapa data menunjukkan sudah berakhir.
Fenomena IOD diidentifikasi dengan indeks dipole mode yang menyatakan beda suhu muka laut di Samudra Hindia bagian barat atau sebelah timur Afrika dan bagian timur, yaitu barat Sumatera bagian selatan. Siklus IOD mirip El Nino dan La Nina di Pasifik, masing-masing punya anomali positif dan negatif. ”IOD positif menandakan suhu muka laut barat Sumatera lebih dingin dibandingkan bagian lain di timur Afrika,” katanya.
Menurut Siswanto, IOD positif menyebabkan upwelling atau gerak air laut dari bawah ke permukaan di selatan Jawa lebih kuat sehingga air permukaan laut menjadi lebih dingin. Dinginnya permukaan laut ini mengakibatkan kurangnya uap air dan potensi terjadinya hujan sehingga memicu kekeringan di sebelah selatan dan barat Indonesia.
”Ada kaitan IOD positif dengan upwelling kuat selatan Jawa dan peningkatan jumlah titik panas di Sumatera pada tahun 2015. Waktu itu kekeringan juga diperparah karena adanya El Nino kuat. Kali ini, El Nino lebih lemah,” ujarnya.
Titik panas meluas
Data BMKG menunjukkan, sebaran titik panas saat ini terus meluas. Tak hanya di wilayah Indonesia, fenomena ini juga terjadi di negara tetangga. Berdasarkan pemantauan pada 25 Juli-5 Agustus 2019, BMKG mengidentifikasi adanya 18.895 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Niugini.
Deputi Meteorologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo menambahkan, informasi titik panas itu dianalisis BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua (Lapan) dan Satelit Himawari (JMA Jepang). Pada 25 Juli terpantau sebanyak 1.395 titik panas di wilayah ASEAN dan meningkat menjadi 2.441 pada 28 Juli.
Titik panas mulai menurun pada 29 Juli menjadi sebanyak 1.782 titik, dan menjadi 703 titik pada 1 Agustus. Jumlah titik panas meningkat kembali menjadi 3.191 pada 4 Agustus. Titik panas tersebut terkonsentrasi di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, selain di Serawak (Malaysia), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Filipina.
Peningkatan jumlah titik panas ini, menurut Mulyono, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga tanaman menjadi mudah terbakar.
”Kondisi tersebut perlu diperhatikan agar tidak diperparah dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian dengan cara membakar,” ujarnya.
Fenomena IOD positif, menurut Mulyono, menyebabkan musim kemarau tahun ini lebih kering dibandingkan tahun 2018. Akibatnya, kondisi lahan, khususnya gambut, menjadi lebih mudah terbakar.
Pada musim kemarau, pola angin dominan berasal dari arah tenggara. Hal ini mendorong arah penyebaran asap melintasi perbatasan wilayah Indonesia hingga ke negara tetangga. Kondisi itu telah diantisipasi dalam bentuk informasi peringatan dini berupa monitoring sebaran asap dan prediksi zona kemudahan terbakar, dengan menggunakan fire danger rating system (FDRS) sampai tujuh hari ke depan untuk wilayah ASEAN.
Hingga 12 Agustus 2019, wilayah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, dan sebagian kecil Myanmar, Vietnam, Laos masuk kategori diprediksi ”sangat mudah” terjadi kebakaran.