Indonesia Butuh Pendapatan Tinggi dari Ekspor dan Investasi
JAKARTA, KOMPAS – Untuk mempercepat pembangunan, Indonesia butuh pendapatan lebih tinggi yang bersumber dari ekspor dan investasi langsung. Sumber pendapatan baru akan tercipta jika transformasi ekonomi dari negara agraris ke industri terealisasi.
Namun hingga kini struktur ekonomi Indonesia masih belum kuat karena masih bergantung pada komoditas dan investasi portofolio yang didominasi pemodal asing. Hal itu tergambar dari Neraca Pembayaran Indonesia yang pada triwulan II-2019 justru berbalik dari surplus menjadi defisit.
"Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Tentu pertama, perlu ada kebijakan kuat yang keras dan tegas untuk mengubah ekonomi," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan seminar nasional Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Kalla mengatakan, Indonesia sejatinya sudah menjalankan transformasi ekonomi, tetapi belum cukup. Hal itu tercermin dari ekspor unggulan yang masih didominasi komoditas mentah, seperti batu bara dan karet.
Ekspor komoditas mentah harus beralih ke produk bernilai tambah agar pendapatan negara juga naik. Proporsi pendapatan ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini sekitar 20 persen, sementara Singapura 200 persen dan Malaysia 150 persen.
"Pendapatan ekspor per PDB Indonesia juga di bawah Thailand dan Vietnam. Hilirisasi penting untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor," kata Kalla.
Menurut Kalla, hilirisasi industri juga tak terlepas dari penanaman modal asing. Kehadiran investor asing tetap diperlukan untuk mendorong daya saing dan meningkatkan pendapatan.
Namun, kedatangan investasi asing jangan mematikan industri domestik. Untuk itu, kebijakan diarahkan untuk mendorong efisiensi industri.
“Suku bunga harus rendah. Kami punya target menyaingi suku bunga kredit Thailand sebesar 7 persen, sementara Indonesia saat ini berkisar 10-11 persen,” kata Kalla.
Baca juga: Perbankan Butuh Waktu Penyesuaian Suku Bunga Kredit
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, arah kebijakan pemerintah bukan lagi transformasi struktural, tetapi transformasi ekonomi dengan mengoptimalkan infrastruktur yang ada. Transformasi menitikberatkan pada kegiatan ekonomi yang lebih modern dan murah.
Arah kebijakan pemerintah bukan lagi transformasi struktural, tetapi transformasi ekonomi dengan mengoptimalkan infrastruktur yang ada.
Selain transformasi ekonomi, arah kebijakan pemerintah dalam lima tahun ke depan fokus pada pemerataan melalui reformasi agraria, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
"Transformasi ekonomi itu juga termasuk mengurangi porsi investor asing dalam surat utang pemerintah berdenominasi rupiah, serta konfigurasi investasi langsung berorientasi ekspor," kata dia.
Perdagangan titik lemah
Lemahnya kontribusi ekspor dan dominasi investasi portofolio oleh pemodal asing tercermin dari Neraca Pembayaran Indonesia. Hal itu sebagai imbas dari ketidakpastian ekonomi global dan juga struktur ekonomi Indonesia yang masih belum kuat.
Bank Indonesia (BI) mencatat, Neraca Pembayaran Indonesia berbalik dari surplus 2,419 miliar dollar AS pada triwulan I-2019 menjadi defisit 1,977 miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Pembalikan itu ditenggarai defisit transaksi berjalan yang melebar dari 6,966 miliar dollar AS atau 2,6 persen PDB pada triwulan I-2019 menjadi 8,443 miliar dollar AS (3,04 persen PDB) pada triwulan II-2019. Pelebaran defisit dipengaruhi faktor musiman akibat peningkatan repatriasi deviden dan pembayaran bunga utang luar negeri.
Defisit transaksi berjalan itu belum bisa ditutup surplus transaksi modal dan finansial. Neraca transaksi modal dan finansial juga menurun dari 10,053 miliar dollar AS pada triwulan I-2019 menjadi 9,929 miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Menurut Darmin, perdagangan jadi titik lemah paling utama dalam Neraca Pembayaran Indonesia. Peningkatan ekspor diupayakan bukan hanya dari daya saing produk, tetapi efisiensi industri. Pembangunan moda transportasi akan lebih terintegrasi sehingga biaya logistik bisa turun.
“Kalau kinerja ekspor melengkapi dua motor lain (konsumsi rumah tangga dan investasi), pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi,” kata Darmin.
Perdagangan jadi titik lemah paling utama dalam Neraca Pembayaran Indonesia. Kalau kinerja ekspor melengkapi dua motor lain (konsumsi rumah tangga dan investasi), pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi.
Di sisi lain, kata Darmin, surplus neraca modal dan finansial didorong melalui peningkatan investor domestik dalam instrumen portofolio. Neraca pembayaran Indonesia kerap mengalami defisit karena porsi investor asing mencapai 40 persen. Porsi investor asing itu akan dikurangi bertahap melalui pendalaman pasar keuangan.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, prospek aliran modal asing tetap besar didorong persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia. BI akan memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk meningkatkan ketahanan eksternal, termasuk mendorong peningkatan investasi langsung.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Terendah dalam Delapan Triwulan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menambahkan, upaya menarik investasi langsung juga dihadapkan pada tantangan dinamika perekonomian global. Adapun di dalam negeri, masalah tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah juga belum teratasi.
“Padahal, kita sebetulnya tinggal menunggu pembalikan dari vietnam, kapasitas investasi mereka sudah penuh, sementara peluang relokasi investasi dari China masih ada,” kata Hariyadi.
Pemerintah disarankan meninjau ulang 16 paket kebijakan ekonomi yang sudah diterbitkan. Ada beberapa paket yang belum efektif dan solutif, seperti paket ke-16 terkait biaya logistik. Beban pengusaha kini bukan lagi di pelabuhan, tetapi jalan menuju pelabuhan. Efisiensi biaya jadi komponen terpenting agar industri berdaya saing.