Kebijakan itu sebenarnya menunjukkan era gaya pembangunan nasional Presiden Jokowi atau Jokowinomics sudah di jalur yang tepat. Namun, gerak transformasi ekonomi justru digerogoti oleh persoalan-persoalan di dalam negeri.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Selama dua pekan, berbagai rentetan peristiwa politik, hukum, dan ekonomi menarik mewarnai perjalanan Indonesia. Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang melemahkan ekonomi domestik, beberapa kejadian di ketiga lini mencuat dan menggerogoti Indonesia dari dalam.
Kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin mendatang menjadi perbincangan hangat. Banyak yang mengincar posisi menteri dengan berbagai motif. Entah itu sebagai imbal atau balas jasa, mengakomodasi kepentingan tertentu, ataupun mencari ”jalan aman” setelah pertemuan Jokowi dan Prabowo Subianto. Bahkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah meminta jatah lebih dari 10 menteri.
Di sektor hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus dugaan suap pengurusan izin impor bawang putih. Kasus itu melibatkan anggota DPR dan 11 importir bawang putih. KPK telah menetapkan I Nyoman Dharmantra, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, sebagai tersangka. Nyoman diduga menerima uang Rp 2 miliar untuk mengurus surat persetujuan impor.
Selain Nyoman, Mirawati Basri, orang kepercayaan Nyoman dan Elviyanto sebagai pihak swasta, juga ditetapkan tersangka sebagai pihak penerima suap. Adapun tiga tersangka lain sebagai pihak pemberi suap ialah Chandry Suanda, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar.
KPK juga tengah menelusuri keterkaitan kasus itu dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Hal itu mengingat rekomendasi impor bawang putih merupakan wewenang Kementerian Pertanian, sedangkan izin impor dikeluarkan Kementerian Perdagangan.
Di sisi lain, peristiwa gangguan listrik di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta sebagian wilayah Jawa Tengah juga menjadi catatan tersendiri. Di Jabodetabek, listrik padam hampir selama 7 jam. Lalu lintas pun menjadi kacau karena lampu pengatur lalu lintas tidak berfungsi. Moda raya terpadu (MRT) dan kereta rel listrik (KRL) tak dapat beroperasi. Kawasan-kawasan industri pun terganggu.
Selain meresahkan masyarakat, termasuk pelaku usaha, kejadian itu juga berpotensi memengaruhi investor yang akan menanamkan modal di sektor riil Indonesia. Selain kemudahan usaha dan infrastruktur, investor juga mempertimbangkan pasokan energi bagi kelangsungan bisnis.
Sementara dari sisi makroekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2019 tak sesuai target. Neraca Pembayaran Indonesia yang semula surplus berbalik menjadi negatif karena lemahnya sektor perdagangan.
Badan Pusat Statistik mencatat, perekonomian Indonesia pada triwulan II-2019 tumbuh 5,05 persen terendah dalam delapan triwulan terakhir. Pertumbuhan ekonomi terhambat kinerja ekspor yang melemah. Pada triwulan I-2019, perekonomian RI tumbuh 5,07 persen. Dengan demikian, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada semester I-2019 sebesar 5,06 persen.
Selang empat hari setelah rilis pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia merilis Neraca Pembayaran Indonesia. Neraca Pembayaran Indonesia berbalik dari surplus 2,419 miliar dollar AS pada triwulan I-2019 menjadi defisit 1,977 miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Pembalikan ditengarai defisit transaksi berjalan yang melebar dari 6,966 miliar dollar AS atau 2,6 persen PDB pada triwulan I-2019 menjadi 8,443 miliar dollar AS (3,04 persen PDB) pada triwulan II-2019. Pelebaran defisit dipengaruhi faktor musiman akibat peningkatan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri.
Defisit transaksi berjalan itu belum bisa ditutup surplus transaksi modal dan finansial. Neraca transaksi modal dan finansial juga menurun dari 10,053 miliar dollar AS pada triwulan I-2019 menjadi 9,929 miliar dollar AS pada triwulan II-2019.
Neraca pembayaran menunjukkan struktur ekonomi Indonesia masih belum kuat, terutama saat terjadi ketidakpastian perdagangan dan finansial global. Struktur ekonomi Indonesia masih rapuh karena masih bergantung pada komoditas mentah dan investasi portofolio yang didominasi pemodal asing.
Proporsi pendapatan ekspor terhadap PDB Indonesia saat ini sekitar 20 persen, jauh dari Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 200 persen dan 150 persen. Dari sisi kepemilikan portofolio, porsi investor asing mencapai 40 persen.
Transformasi ”bumi-manusia”
Pesan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan seminar nasional Kementerian Koordinasi Perekonomian di Jakarta, Jumat (9/8/2019), sangat menarik. Kalla menyatakan, Indonesia memang telah menjalankan transformasi ekonomi, tetapi itu belum cukup.
”Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Tentu, pertama, perlu ada kebijakan kuat yang keras dan tegas untuk mengubah ekonomi,” katanya.
Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Tentu, pertama, perlu ada kebijakan kuat yang keras dan tegas untuk mengubah ekonomi.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menegaskan, arah kebijakan pemerintah bukan lagi transformasi struktural, melainkan transformasi ekonomi dengan mengoptimalkan infrastruktur yang ada. Transformasi menitikberatkan pada kegiatan ekonomi yang lebih modern dan murah.
Arah transformasi dalam lima tahun ke depan itu berfokus pada pemerataan melalui reformasi agraria dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Transformasi ekonomi itu juga termasuk mengurangi porsi investor asing dalam surat utang pemerintah berdenominasi rupiah serta konfigurasi investasi langsung berorientasi ekspor.
Kebijakan itu sebenarnya menunjukkan era gaya pembangunan nasional Presiden Jokowi atau Jokowinomics sudah di jalur yang tepat. Namun, gerak transformasi ekonomi justru digerogoti oleh persoalan-persoalan di dalam negeri. Sejumlah wakil rakyat, pejabat pemerintahan pusat dan daerah, kader partai politik, serta pelaku usaha berperilaku dan bermoral buruk. Mereka menggerogoti dan merusak bangsa.
Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Bumi Manusia, menuliskan, ”Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”. Meminjam istilah Pramoedya tersebut, membangun Indonesia tidak sekadar fisik dan demi kepentingan tertentu, tetapi lebih pada membangun tierra (bumi) Nusantara dan humana (manusia).
Membangun manusia yang tidak menggerogoti bumi Nusantara dan bangsa. Membangun manusia yang bermoral baik, yang bersama-sama membangun berbagai sektor yang masih lemah. Transformasi ekonomi perlu diikuti dengan transformasi ”bumi-manusia”. (KARINA ISNA IRAWAN)