Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat atas Wilayah Udara Kepri
›
Sudah Saatnya Indonesia...
Iklan
Sudah Saatnya Indonesia Berdaulat atas Wilayah Udara Kepri
Wilayah informasi penerbangan (flight information region) Singapura masih mengontrol wilayah udara di Kepulauan Riau sejak 1946 hingga saat ini. Untuk itu, soliditas pemerintah secara internal mendesak diperlukan guna mengambil alih otoritas atas wilayah udara Indonesia di Kepulauan Riau.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah informasi penerbangan atau flight information region Singapura masih mengontrol wilayah udara di Kepulauan Riau sejak 1946 hingga saat ini. Untuk itu, soliditas pemerintah secara internal mendesak diperlukan guna mengambil alih otoritas atas wilayah udara Indonesia di Kepulauan Riau.
Sudah saatnya Indonesia berdaulat penuh atas wilayah udara di atas Kepulauan Riau (Kepri). ”Dalam menghadapi masalah keudaraan, Pemerintah Indonesia perlu segera membentuk badan think tank kedirgantaraan atau Dewan Penerbangan Nasional untuk mengkaji berbagai masalah strategis kerdigantaraan,” kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Chappy Hakim, di Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
Chappy menyampaikan persoalan ini dalam peluncuran bukunya yang berjudul Flight Information Region di Kepulauan Riau Wilayah Udara Kedaulatan NKRI. Melalui bukunya, Chappy berharap agar masyarakat memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang masalah flight information region (FIR) di Kepri.
Adapun pembahas yang hadir dalam peluncuran buku ini, antara lain, Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 Makarim Wibisono, Ketua Dewan Penasihat Bali International Arbitration and Mediation Center Ida Bagus Rahmadi Supancana, dan Kolonel Penerbang (Pnb) Supri Abu.
Menurut Chappy, think tank diperlukan agar dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, dalam kebijakan yang berkait dengan kepentingan nasional dapat diambil secara tepat. Hal ini untuk mencegah terjadinya kembali pemahaman yang kurang mendalam tentang wilayah kedaulatan negara di udara.
Apabila wilayah sebuah negara dikelola negara lain, dapat dipastikan hal itu merupakan keinginan sang pemilik wilayah atau karena sebab lain yang menyulitkan pemilik wilayah dalam mengelola. Namun, tidak demikian dengan wilayah Kepri yang dikelola Singapura.
”FIR di Kepri sampai saat ini dikelola oleh Singapura bukanlah karena keinginan Indonesia sebagai pemilik wilayah. Bahkan, tahun 1946, negara Republik Singapura pun belum ada dan Indonesia belum menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO/Organisasi Penerbangan Sipil Internasional),” ujar Chappy.
Dalam keadaan itu, ICAO mendelegasikan otoritas penerbangan saat itu kepada pemerintah kolonial Inggris di Singapura. Namun, keputusan ini hanya bersifat sementara, bukan keputusan permanen.
Dengan begitu, sudah semestinya ketika Singapura berdiri sebagai sebuah negara, secara etika patut mengembalikan atau menyerahkan kembali wilayah udara Kepri kepada Indonesia. Sayangnya, wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara malah berada di bawah kekuasaan Singapura.
”Keengganan Singapura mengembalikan FIR di Kepri selain karena adanya keuntungan besar secara finansial, Singapura juga menggunakan wilayah udara tersebut sebagai wilayah kawasan latihan angkatan perang,” ucap Chappy.
Keengganan Singapura mengembalikan FIR di Kepri selain karena adanya keuntungan besar secara finansial, Singapura juga menggunakan wilayah udara tersebut sebagai wilayah kawasan latihan angkatan perang.
Terlebih lagi, Singapura bahkan telah menentukan ”Danger Area” yang tidak boleh digunakan negara lain bagi keleluasaan angkatan perangnya berlatih. Hal ini menjadi janggal karena pada akhirnya Indonesia menghadapi kesulitan untuk berlatih melakukan operasi angkatan perang di wilayah rumahnya sendiri.
”Lebih aneh lagi karena Indonesia sendiri mendiamkan saja hal tersebut berlangsung. Maka, urgensi saat ini adalah bagaimana pemerintah memiliki persepsi yang sama dalam negeri ini untuk berunding dalam mengambil kembali wilayah udara Kepri,” ucap Chappy.
Soliditas
Supri Abu menyampaikan, ditargetkan pada akhir 2019, FIR di Kepri sudah dapat kembali di bawah otoritas Indonesia. Hingga saat ini, negosiasi terus diupayakan, menjelaskan bahwa yang diingini Indonesia adalah wilayah miliknya.
”Kita terus menjelaskan kepada Singapura bahwa kita hanya mau mengelola wilayah sendiri. Kalau wilayah internasional, mari kita atur bersama. Tentu ini sebenarnya tidak akan merugikan Singapura,” kata Supri.
Senada dengan itu, Ida Bagus Rahmadi Supancana menyampaikan, dalam negosiasi tersebut, pihak internal Indonesia pun harus menunjukkan bahwa mereka solid dalam memainkan peran untuk bersama-sama mengambil alih FIR di Kepri. Namun, masih ada perbedaan perspektif yang menghambat tercapainya kesepakatan.
”Masih ada yang menganggap ini hanya persoalan teknis (keselamatan), bukan persoalan kedaulatan. Perspektif ini yang harus disamakan, bahwa FIR di Kepri menyangkut kedua hal tersebut dan Indonesia mampu mengelolanya,” ujar Supancana.
Makarim Wibisono pun berpendapat demikian. Dengan posisi Indonesia yang sudah masuk kategori 1 peringkat keselamatan penerbangan dari Badan Penerbangan Federal (Federal Aviation Administration) Kementerian Transportasi Amerika Serikat, hal itu menunjukkan Indonesia mampu mengelola FIR di Kepri secara mandiri.
”Persoalannya tinggal bagaimana ada keyakinan bahwa Indonesia cakap dalam mengelola FIR di Kepri. Perlu kesepakatan dari Pemerintah Indonesia untuk mewujudkannya,” kata Makarim.